Inggit Ganarsih, Isteri Bung Karno;


Inggit Ganarsih, Isteri Bung Karno;




Potret Wanita Anti Poligami










“Oh, tidak, tidak ! Tidak mungkin bercerai. Tidak mungkin Kus menceraikan kamu, Enggit, Tidak mungkin.” “Ya, tetapi…”“Ya, tetapi bukankah bisa aku mengawininya, sementara kita tidak bercerai?” katanya (Soekarno, red) dengan suara seperti mau menangis. “Oh….. dicandung ? Ari kudu dicandung mah, cadu !” (Oh… dimadu ? Kalau mesti dimadu, pantang!), kataku (Inggit. Red) dengan keras.



Rangkaian kalimat di atas adalah penggalan dialog antara Soekarno dengan isterinya Inggit Ganarsih, ketika Soekarno mengutarakan niatnya kawin lagi alias berpoligami. Kisah itu ditulis oleh Ramadhan K H dalam buku “Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Inggit dengan Soekarno,” berdasarkan penuturan Inggit Ganarsih dan dua anak angkat Soekarno-Inggit, yakni Ratna Djuami alias Ny. Asmara Hadi dan Kartika.


Perjalanan kisah cinta Soekarno dan Inggit, memang penuh romantika. Bukan hanya karena banyak perbedaan yang dapat mereka pertemukan, tapi juga sarat dengan keindahan, pengorbanan, patriotisme, dan lebih penting lagi adalah keteguhan sikap karena cinta.


Saat itu, Soekarno adalah seorang perjaka muda, yang sedang mengalami pergolakan jiwa yang dahsyat. Di satu sisi, pada dirinya melekat budaya Jawa yang kental, sementara pada sisi lain pemikiran modern dengan deras merasuk ke dalam hatinya yang pada akhirnya menjadikan ia seorang tokoh intelektual yang disegani banyak kalangan. Sedangkan Inggit adalah seorang janda, 13 tahun lebih tua dari Soekarni, wanita asli kelahiran tanah Pasundan. Meski ia hanya menyecam pendidikan seadanya, namun hidup mandiri.



Dalam kesederhanaan hidupnya, bersemi ketulusan cinta yang dahsyat, yang sama dahsyatnya dengan keteguhan sikapnya tidak mau dimadu. Sikapnya yang teguh menolak permaduan itu dengan tegas diutarakan pada Soekarno, suaminya, antara lain pada dialog berikut:


“Tetapi kalau ia memadu aku, oh , itu tidak mungkin. Tidak mungkin ! Aku orang Banjaran, dari keluarga yang pantangannya adalah dimadu, di dalam keadaan bagaimanapun. Itu pantangan mutlak keluarga kami.


“Kus sudah tahu pendirianku,” kataku kemudian. “Sudah aku jelaskan, kalau mau mengambil dia, ceraikanlah aku ! Aku pantang dimadu !”


……………………….


“Kus mau teruskan dengan dia ?” tanyaku. Sejenak ia diam. Tapi kemudian ia membalas, “Ya, aku harus teruskan.” Tegas jawabannya. Dan tegas pula pendirianku. “Ceraikan aku! Sudahlah. Ceraikan aku ! Kita putuskan segala ini dengan baik-baik. Aku pulang. Pulangkan aku kembali seperti janjimu dahulu




Soekarno dan Poligami


Di masa perjuangan kemerdekaan, ketika para pemimpin bangsa terlibat dalam pergolakan pemikiran, Bung Karno dan H. Agus Salim, sudah sering berpolemik panjang lebar soal poligami. Pada beberapa tulisannya, Bung Karno tampak tidak setuju lelaki berpoligami karena dianggapnya sebagai perendahan harkat dan martabat kaum perempuan. Sebaliknya Agus Salim setuju karena pengertian beliau yang mendalam mengenai hal ini.


Namun, beberapa tahun kemudian, Bung Karno ternyata mengambil banyak istri banyak sementara Agus Salim tetap beristri satu.


Inggit Ganarsih, isteri Bung Karno yang luar biasa. Ia telah memberikan pengorbanan yang luar biasa demi perjuangan suaminya. Bahkan bila Bung Karno diibaratkan nyala api, maka Inggit Ganarsih adalah kayu bakarnya.


Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian, Inggit menjahitkan ketika kancing baju Soekarno lepas, Inggit hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan baik sebagai Ibu maupun teman. Namun, saat Soekarno kawin lagi, melangkah ke gerbang istana dan Inggit pulang ke Bandung, menenun sepi.


Dalam kamus hidupnya hanya ada kata memberi tak ada kata meminta. Inggit menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang untuk nafkah keluarga, sementara Soekarno seperti singa yang mengaum dari satu podium ke podium berikutnya, pikirannya tercurah untuk pergerakan, Inggit yang setia mencari uang. Inggit mencinta karena cinta, tanpa pamrih tanpa motivasi.



Suatu malam di jalan Jaksa, kedua pasang mata bertemu, Soekarno berkata “Aku cinta padamu”. Inggit tersipu menunduk dalam-dalam sambil mempermainkan ujung kebaya. Itulah cinta yang dibawakan Inggit dengan mesra, tanpa suara tanpa kata-kata, tanpa bahasa. Kejadian yang sangat lazim dan sederhana tetapi merupakan kejadian penting yang terlupakan oleh segenap bangsa. Inggit menemani Soekarno saat terlunta-lunta di pembuangan. Jauh di Pulau Ende lalu di Bengkulu, Inggit tetap menemani, merupakan sumber energi bagi kehidupan Soekarno yang menderita.


Tetapi di ujung masa penjajahan Soekarno berkata pada Inggit, “Euis, aku akan menikah lagi supaya punya anak seperti orang-orang lain.” “Kalau begitu antarkan saja aku ke Bandung!” jawab Inggit. “Tidak begitu, maksudku engkau akan tetap jadi istri utama. Jadi first lady seandainya kita nanti merdeka.” “Tidak, antarkan saja aku ke Bandung.” jawab Inggit lagi.


Akhirnya Soekarno mengantar Inggit ke Bandung. Kembali tinggal di jalan Tjiateul dan Soekarno balik ke Jakarta. Dalam kesepiannya Inggit selalu berdoa bagi kebaikan Soekarno. Inggit kembali menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang sebagai nafkah.


Dagangannya dititipkan di toko Delima. Inggit tidak mengeluh. tidak menangis. Demikianlah cinta Inggit pada Soekarno. Cinta semata-mata karena cinta. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti, tanpa pamrih tanpa motivasi.


Sebagai penghargaan atas jasanya, maka Jl. Ciateul yang sibuk dan panas, kini diberi nama Jl Inggit Garnasih. Disitu terdapat sebuah rumah, tempat Soekarno muda memadu cinta dengan seorang janda Inggit Ganarsih. Namun konon rumah yang dijadikan museum itu kosong melompong. Sebab Inggit memang tidak meninggalkan apa-apa selain satu pelajaran tentang cinta sejati.


(Paulus Londo)

No comments: