Antara Sa’i dan Keteladanan Siti Hajar

Pernahkah kita merasakan merasa terjepit keadaan hingga tiada tahu harus berbuat apa? Pernahkah kita merasakan keadaan begitu sulit seakan memaksa diri menyerah?
Dalam kehidupan saya, ada begitu banyak suri taudan yang tak terlihat…. kesabaran istri yang akhirnya berhasil menghantarkan kebahagiaan untuk keluarganya. Seorang istri yang semula dilarang sholat dengan hardikan oleh suaminya. Tak hanya itu, istri tersebut tetap dengan sabar mendampingi suaminya meski selama bertahun-tahun bersamaan dengan krisis moneter, suaminya tidak lagi bekerja. Menariknya, istri tersebut dengan air mata berlinang mengeluarkan perasaan penyesalannya karena dia tidak dapat menjadi istri sepenuhnya karena dia harus bekerja. Alhamdulillah, pasangan suami-istri tersebut berangkat bersama menunaikan rukun Islam ke-5 tersebut bersama di tahun ini.. Itulah yang membuat musim haji tahun ini terasa begitu istimewa dan semakin mendorong diri saya untuk semakin meningkatkan ikhtiar dengan menambah tabungan haji saya. Keikhlasan seorang istri dalam mengabdi semata-mata mengharapkan ridho Allah ta’alla telah menghantarkannya ke tanah suci bersama suami tercinta. Kebahagiaan yang terasa membuncah di hati, rasanya membuat saya makin tak sabar ingin menapakkan kaki di tanah suci.
Ibadah haji tak semata-mata merupakan ritual yang membanggakan. Bukan pula sekedar titel untuk menaikan derajat kita di masyarakat melainkan sebuah ibadah yang begitu sarat akan makna ketauhidan dan keikhlasan.Keikhlasan bermakna segala yang kita lakukan semata-mata mengharapkan ridha Allah akan selalu memberikan kekuatan jauh melebihi yang mampu kita bayangkan dalam batasan kita sebagai manusia. Bersabar dan selalu percaya akan datangnya pertolongan dari Allah itulah yang akan memberikan akhir yang membahagiakan dalam setiap kisah perjuangan.
Ketabahan dan kepercayaan akan datangnya pertolongan dari Allah ini pula yang terkandung dalam salah satu rukun haji yaitu Sa‘i. Mempelajari rukun haji begitu indah. Banyak kisah yang terkandung didalamnya salah satunya adalah kisah keteladanan Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah untuk meninggalkan istri dan anaknya di lembah gersang lagi sunyi yang kemudian dikenal dengan nama Mekah.Dari Syria, Nabi Ibrahim membawa Hajar dan Ismail, menyusuri padang pasir yang kering dan menyengat. Sepanjang perjalanan, tak ada pepohonan bahkan mata air sebagai syarat utama kehidupan. Tak hanya itu, Nabi Ibrahim pun sempat dilanda kecemasan bagaimana dia harus memberitahukan kepada istrinya akan perintah Allah tersebut ?
“Wahai suamiku, apakah aku akan ditinggalkan bersama anakmu di sini?”
Tanpa memandang wajah isterinya, Nabi Ibrahim hanya mampu menganggukkan kepala. “Oh… kiranya karena dosaku menyebabkan engkau bertindak begini, ampunkanlah aku. Aku tidak sanggup ditinggalkan di tengah-tengah padang pasir yang kering kerontang ini.”
Nabi Ibrahim menjawab: “Tidak wahai isteriku, bukan karena dosamu…”
Siti Hajar bertanya lagi: “Kalau bukan kerana dosaku, bagaimana dengan anak ini… Anak ini tidak tahu apa-apa. Tegakah engkau meninggalkannya?”
Kepiluan dan kesedihan Nabi Ibrahim, hanya Allah yang tahu. Katanya: “Tidak, bukan itu maksudku. Tapi apa dayaku… ketahuilah, ini semua adalah perintah Allah.”
Siti Hajar terdiam. Kecintaannya dan keyakinannya akan pertolongan Allah membuat Siti Hajar akhirnya berkata kepada suaminya: “Jika benar ia adalah perintah Allah, tinggalkanlah kami di sini. Aku ridho ditinggalkan.” Suara Siti Hajar mantap sambil menyeka air matanya.
Ditabahkan hatinya dengan berkata: “Mengenai keselamatan kami, serahkanlah urusan itu kepada Allah. Pasti Dia akan membela kami. Tidak mungkin Dia menganiaya kami yang lemah ini.”
Siti Hajar menggenggam tangan suaminya. Kemudian diciumnya, minta ridho atas segala perbuatannya selama mereka bersama. “Doakanlah agar datang pembelaan Allah kepada kami,” kata Siti Hajar.
Tak sanggup menahan peri sebagai seorang suami dan ayah, Nabi Ibrahim pun berdoa “Ya Rabb, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb, yang demikian itu agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizqi dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur,” (Q.S. Ibraahiim ayat 37)
Begitulah akhirnya Nabi Ibrahim pergi meninggalkan istri dan anaknya. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa Allah memerintahkan Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya begitu lama ? Begitulah Allah menguji keimanan Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Selesai berdoa, tanpa menoleh ke arah isteri dan anaknya, Nabi Ibrahim terus meninggalkan tempat itu dengan menyerahkan mereka terus kepada Allah. Tinggallah Siti Hajar bersama anaknya yang masih merah dalam pelukannya. Diiringi kepergian suaminya dengan linangan air mata dan syukur. Ditabahkan hati untuk menerima segala kemungkinan yang akan terjadi.
Tidak lama selepas kepergian Nabi Ibrahim, perbekalan makanan dan minuman pun habis. Air susunya juga kering sama sekali.
Anaknya Ismail menangis kehausan. Siti Hajar kebingungan. Di mana hendak diusahakannya air di tengah padang pasir yang kering kerontang itu?
Ketika dia mencari-cari sumber air, dilihatnya dari jauh seperti ada air di seberang bukit. Dia berlari ke arah sumber air itu. Tetapi apa yang dilihatnya hanyalah fatamorgana.
Namun Siti Hajar tidak berputus asa. Dari tempat lain, dia melihat seolah-olah di tempat di mana anaknya diletakkan memancar sumber mata air.
Dia pun segera berlari ke arah anaknya. Tetapi sungguh malang, yang dilihatnya adalah fatamorgana. Tanpa disadari dia bolak-balik sebanyak tujuh kali antara dua bukit, Safa dan Marwa untuk mencari sumber air.
Tubuhnya keletihan berlari ke sana ke mari mencari sumber air, namun tiada tanda-tanda dia akan mendapat air. Sedangkan anak yang kehausan itu terus menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya ke bumi. Tiba-tiba dengan rahmat Allah, sedang Siti Hajar mencari-cari air, terpancarlah air dari dalam bumi di ujung kaki anaknya Ismail.
Pada waktu itu gembiranya hati Siti Hajar bukan kepalang. Dia pun mengambil air itu dan terkeluar dari mulutnya, “Zam, zam, zam..” yang berarti, berkumpullah, berkumpullah. Seolah-olah dia berkata kepada air itu, “Berkumpullah untuk anakku.”
Begitulah asal usul salah satu rukun ibadah haji yang mengajarkan kita untuk selalu menyakini akan adanya pertolongan Allah. Perintah sa’i langsung diperintahkan oleh Allah sebagaimana tersurat dalam Al Baqarah 158 : “Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu adalah daripada syiar-syiar Allah jua. Maka barangsiapa yang naik haji kerumah itu atau umrah, tidaklah mengapa bahwa dia keliling pada keduanya. Dan barangsiapa yang menambah kerja kebaikan, maka sesungguhnya Allah ada­lah Pembalas terimakasih, lagi Maha Mengetahui.”
Dirangkum dari berbagai sumber :
 Handrini

No comments: