Antara Sejarah dan Sastra : Akankah Tumpah Tindih?

Kedekatan antara sejarah dengan sastra dapat kita lihat dari berbagai macam produk-produk karya sastra. Peristiwa sejarah seringkali menjadi latarbelakang dari peristiwa yang diungkapkan oleh karya sastra semacam novel, puisi, cepen, naskah/lakon  dll. Lebih lanjut jarak sejarah dengan sastra disampaikan oleh Arthur Koestler dalam The Act of Creation : A Study of the Conscious and Unconscious in Science and Art. Koestler menunjukkan kedekatan-kedekatan antar disiplin sebagai berikut : Kimia, Biokimia, Biologi, Kedokteran, Psikologi, Antropologi, Sejarah, Biografi, Novel, Epik dan Lirik (Kuntowijoyo, 2006 : 172).
Pernyataan diatas mengindikasikan bahwa jarak disiplin keilmuan sejarah dengan sastra sangat tipis. Akan tetapi tetap ada perbedaan yang mutlak antara sejarah dengan sastra. Secara tegas, Kuntowijoyo mengatakan bahwa sejarah itu bukan sastra. Sejarah itu kenyataan, faktual. Biarpun fakta-fakta yang didapatkan sudah terolah dalam subjektifitas sejarawan. Sedangkan sastra merupakan hasil imajinasi pengarang. Di dalam kesimpulannya, sastra bisa berakhir dengan sebuah pertanyaan. Berbeda dengan sejarah yang harus memberikan informasi yang tegas, lengkap dan tuntas dalam kesimpulannya (Kuntowijoyo, 2005 : 12). Disisi lain, A. Teeuw juga berpendapat “syukurlah ada sastra serta ilmu sejarah sebagai dua ragam pengungkapan persepsi manusia tentang dirinya !” (Teeuw dalam Alfian dkk, 1987 : 33).
Sastra dan sejarah sifatnya empiris, sastra lalu sejarah begitu juga dengan mitos merupakan arena pewarisan pengalaman masa lalu. Bedanya, sastra dan mitos penuturannya secara subjektif. Sedang sejarah, penyampaiannya condong inter subjektif (Kuntowojoyo, 2002 : 38-39). Pembahasan mengenai perbedaan sastra dan sejarah, secara gamblang disampaikan oleh Kuntowijoyo. Perbedaan tadi terletak pada struktur dan substansi (Kuntowijoyo, 2004).
Akhir-akhir ini ilmu sejarah dipengaruhi oleh postmodernisme. Postmodern memberikan pengaruh linguistic turn (kembali ke linguistik). Epistemologi tadi memasuki ranah teori sejarah. Perhatian sejarawan mulai merujuk pada kajian postmodernisme, semacam masalah bahasa, identitas, simbol dan kosntruksi-konstruksi sosial. Bahasa (mungkin makna) menjadi bagian dari kajian ilmu sejarah (Sjamsuddin, 2007 : 339-340).
Dalam tulisannya mengenai sejarah sosial di Jakarta, Bambang Purwanto mengajukan sebuah pendekatan baru. Merebaknya kajian postmodern (linguistic turn) dianggap membantu penulisan sejarah. Citra, simbol, makna atau arti, wacana, perasaan dll dianggap mampu memberikan warna baru dalam tradisi penulisan sejarah. Karena menurut beliau, sampai sekarang model penulisan sejarah di Indonesia dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial/multidimensional dianggap masih kurang. Dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai pendekatan tersebut dan sering disalah artikan (Purwanto dalam Nordholt dkk, 2008 : 274-276).
Bambang Purwanto juga menyarankan agar sejarawan Indonesia mulai memakai karya sastra sebagai sumber untuk menulis sejarah sosial, sejarah masyarakat, daily life history, tanpa mengabaikan sumber inkonvensional tentunya (Purwanto dalam Nordholt dkk, 2008 : 246). Memang sastra merupakan refleksi kultural serta sosial atas kehidupan sehari-hari. Sastra sendiri imajinatif, sementara sejarah berbicara kenyataan atau fakta. Biarpun fakta sendiri sudah mengandung subjektivitas, begitu juga dengan imajinasi.
Pada tulisannya yang lain, Bambang Purwanto berpendapat mengenai pembedaan sastra itu fiksi, sedang sejarah itu fakta. Dasar dari tulisan beliau berawal atas pandangannya dengan kacamata dekonstruktif. Dimana posisi sastra dan sejarah tidak dapat dibedakan secara mentah, antara kandungan fiksi dan fakta. Bahkan sebagai realitas, posisi sejarah dan sastra itu sama. (Purwanto, 2001 : 29). Di sisi lain, penolakan-penolakan terhadap dekonstruksionisme dan postmodernisme juga deras. Karena paham-paham tadi menolak narasi sejarah yang dianggap tidak mampu menyajikan masa lampau seperti apa adanya (Alfian dalam Lubis, 2001 : 4).
Memang sedikit membingungkan apabila kita membicarakan apa itu postmodern, linguistic turn, dekonstruktif. Karena saya sendiri dalam perkuliahan S1 jurusan Ilmu Sejarah UGM, hal-hal tersebut belum saatnya diajarkan. Apalagi jika ditambah pengaruhnya terhapa sejarah. Karena oleh Helius Sjamsuddin dikatakan, dengan pendekatan postmodernisme akan mengakibatkan sejarah seperti sastra. Karena linguistic turn tadi, atau juga narrative turn (Sjamsuddin, 2007 : 10). Namun tidak ada salahnya apabila kita ingin sedikit mengetahui mengenai perkembangan-perkembangan keilmuan yang katanya sedang fashionable itu.

Taufiq Nur Rachman

No comments: