Trunojoyo, Berjuang Sampai Titik Darah Penghabisan"
Sore
itu saya melewati gedung Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik
Indonesia. Gedung itu begitu megah dan kokoh, di mana tempat para
petinggi kepolisian RI bertugas. Dan di tempat ini pula rakyat
mengharapkan adanya penegakan hukum (law enforcement) sebagai wujud
terciptanya keadilan dan kebenaran. Segala bentuk kejahatan dan oleh
siapa pun harus dihilangkan paling tidak diminimalisir. Dan perjuangan
mewujudkan hal itu memang tidak mudah, tetapi wajib dilaksanakan oleh
siapapun apalagi yang menyandang aparat penegak hukum. Dan segenap
masyarakat menggantungkan harapan itu, di gedung yang berada di Jalan Trunojoyo.
Hery Supriyanto
Menyebut nama
Trunojoyo, akan teringat tokoh yang berani melawan kejaliman,
ketidakadilan yang terjadi pada masa silam yang dilakukan oleh penguasa
dan penjajah waktu itu, yang banyak merugikan rakyat. Perjuangan itu
teramat berat sebab tidak saja melawan kolonial Belanda (VOC) tetapi
harus berhadapan pula dengan saudara, teman, dan bangsanya sendiri yang
dirasa banyak menyimpang.
Sekitar tahun 1677
sampai 1669 Trunojoyo melakukan perlawanan lebih tepatnya pemberontakan
terhadap penguasa saat itu, Amangkurat I. Raja mataram yang bertindak
sewenang wenang terhadap rakyatnya sendiri. Sikap Amangkurat ini sangat
jauh berbeda dengan ayahnya, raja sebelumnya, Sultan Agung yang begitu
gigih mengusir kolonial Belanda dari tanah Jawa. Ketidaksukaan rakyat
dan beberapa tokoh pada waktu itu semakin menjadi-jadi karena Amangkurat
I menjalin hubungan dekat dengan pihak kolonial Belanda (VOC). Dan
Trunojoyo mengambil sikap melawan walau dengan raja sekalipun.
Sebenarnya Trunojoyo
adalah bagian dari bangsawan Mataram yang asal muasalnya dari bangsawan
Madura. Cakraningrat I adalah pejabat yang diangkat Mataram, untuk
memerintah di Madura. Dari perkawinan dengan selirnya yang juga
bangsawan Madura mempunyai putra salah satunya Raden Demang
Melayakusuma, yang kemudian mempunyai putra bernama Trunojoyo. Di
Mataram ini Tronojoyo lahir dan dibesarkan, pada waktu itu kekuasaan
sudah berada pada Amangkurat I.
Ketika Sultan Agung
berkuasa, tahun 1624 ia berhasil menaklukkan Madura. Menaklukkan Madura
tidaklah mudah karena mendapat perlawanan dari penguasa dan rakyat.
Mataram membawa kekuatan penuh untuk menaklukkan Madura yang akhirnya
banyak penguasa dan bangsawan yang gugur. Di antara yang tersisa adalah
Raden Praseno yang pada waktu itu masih belia, yang kemudian dibawa ke
Mataram untuk di asuh. Setelah dewasa Raden Prasena dinikahkan dengan
kerabat Sultan Agung dan diberi kekuasaan di Madura dengan gelar
Cakraningrat I.
Setelah Sultan Agung
wafat, maka Mataram dilanjutkan oleh Amangkurat I. Berbeda dengan
ayahandanya, ia bertindak sewenag-wenang, banyak tokoh yang dihukum mati
karena menentangnya. Kebanyakan para tokoh Mataram tidak suka dengan
sikap Amangkurat I itu, bahkan putra mahkota Pangeran Adipati Anom pun
bersikap demikian. Ia berniat untuk melawan ayahnya itu tetapi tidak
punya keberanian. Atas saran dari tokoh dan kerabat Mataram yaitu Raden
Kanjoran (Panembahan Rama), Adipati Anom diperkenalkan dengan Trunojoyo,
yang juga menantunya untuk mewujudkan misi dalam melawan Amangkurat I.
Dalam membangun
kekuatan Trunojoyo bergerak ke arah daerah timur, Surabaya dan Madura.
Ia banyak mendapat dukungan dari tokoh dan rakyat untuk melawan
Amangkurat I. Di Madura ia berhasil pengalahkan penguasa saat itu, dan
sejak saat itu Trunojoyo menyatakankan bahwa
Madura berdaulat berdiri sendiri lepas dari Mataram. Perjuangan
Trunojoyo juga mendapat dukungan dari orang Makasar yang dipimpin Kraeng Galesung yang menyingkar ke Jawa akibat terdesak oleh Belanda.
Perlawanan demi
perlawanan mulai menuai hasilnya, sedikit demi sedikit beberapa daerah
kekuasaan Mataram mampu di rebut Trunojoyo. Di luar dugaan pada 2 Juli
1677, Trunojoyo beserta pasukanya berhasil menyerang jantung pusat
kekuasaan Mataram, Plered. Akhirnya
Mataram dapat direbut Trunojoyo. Dan Amangkurat I berhasil menyingkir
dari kerajan untuk meminta bantuan VOC di Batavia.
Setelah Mataram
berhasil direbut Trunojoyo, rupaya Pangeran Adipati Anom yang semula
bersekutu berbalik arah mendukung ayahnya dan ikut mengingkir. Sebelum
sampai ke Batavia Amangkurat I wafat di daerah Tegal Arum. Sewaktu
hidup Amangkurat I masih sempat menyerahkan tongkat kekuasaan kepada
sang putera mahkota yang kemudian bergelar Amangkurat II. Dan akhirnya
Amangkurat II berhasrat kembali mengusasai Mataram yang direbut
Trunojoyo. Setelah memporakporandakan Mataram, Trunojoyo membangun
pemerintahan di Kediri dengan gelar Panembahan Maduretno.
Cara yang termudah
untuk menaklukkan Trunojoyo adalah bekerja sama dengan VOC yang
kepentingannya juga terganggu oleh ulah Trunojoyo. Pada
mulanya VOC mengajak secara damai kepada Trunojoyo untuk menyerah,
tetapi tolak mentah-mentah. Dan akhirnya Trunojoyo pun diserang dari
segala penjuru baik laut dan darat, kekuatannya pun tidak berimbang.
Sedikit demi sedikit daerah kekuasaan Trunojoyo dapat direbut. Trunojoyo
semakin terdesak, tetapi ia tetap gigih melawan.
Akhirnya kekuatan Trunojoyo semakin berkurang, karena beberapa pasukannya banyak juga yang menyerah. Trunojoyo
tetap betahan, ia menyingkri ke daerah pedalaman untuk menghindari
kejaran pihak Belanda, taktik perang gerilya yang dilakukan. Trunojoyo
semakin terjepit, tetapi tetap tidak menyerah. Setelah dikepung dari
berbagai penjuru dengan kekuatan yang semakin berkurang akhirnya
Trunojoyo berhasil ditanggap Belanda di lereng gunung Kelud, 27 Desember
1679.
Dan Trunojoyo pun
diserahkan Belanda kepada Amangkurat II. Tanggal 2 Januari 1680 dalam
kondisi tidak berdaya akhirnya Amangkurat II mengeksekusi sendiri tokoh
yang dianggap pemberontak itu, dengan menghujamkan kerisnya ke tubuh
Trunojoyo. Di situlah akhir perjuangan Trunojoyo dalam upaya
memperjuangkan keadilan dan mengusir penjajah dari tanah airnya.
Trunojoyo memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan.
Perjuangan Trunojoyo
memang cukup melegenda. Saat ini nama Trunojoyo banyak dijadikan nama
jalan di beberapa kota, nama bandara di Sumenep, nama universitas di
Bangkalan. Bahkan menjadi istilah informal untuk menyebut Kapolri, Trunojoyo I. Walaupun nama dan perjuangannya cukup dikenal, sayang sampai saat ini pemerintah belum menganugerahkan sebagai pahlawan nasional. Entah ini sebuah kelalaian atau ada pertimbangan lain yang bisa jadi menjadi sebuah perdebatan.
Memang perjuangan
Trunojoyo cukup mengundang polemik, sebagai pahlawan atau pemberontak.
Ketika melawan kompeni Belanda tidak adalah masalah, persoalan muncul
ketika Trunojoyo melakukan perlawanan kepada raja Mataram waktu itu,
yang kebetulan dekat dengan kompeni. Ini berbeda dengan tokoh Untung
Suropati yang fokus perjuangannya hanya melawan kompeni. Gelar pahlawan
nasional pun sudah disandangnya.
Terlepas dari itu semua, perjuangan Trunojoyo memang begitu berat, terutama yang
dilawan itu adalah dari kalangan yang boleh dibilang teman dan
kerabatnya sendiri. Betapapun beratnya dalam menegakkan keadilan dan
membasmi kejaliman harus terus dilakukan, walau nyawa sekalipun
dipertaruhkan. Dalam bahasa saat ini meminjam istilahnya ketua KPK,
Abrahan Samad, mewakafkan hidupnya untuk
perjuangan menegakkan hukum. Dalam hal ini melawan koruptor, musuh dan
kejahatan besar di negeri ini. Sama posisinya seperti kompeni di jaman
dulu.
Dalam konteks
perjuangan Trunojoyo saat ini masih cukup relevan dalam melawan
ketidakadilan dan kesewenangan hukum. Masih ingat dalam ingatan
bagaimana beratnya perjuangan Novel Baswedan penyidik KPK yang dari
kepolisian yang harus menangani kasus berat yang terjadi pada pejabat di
tubuh kepolisian itu sendiri, yang bisa jadi itu teman atau kerabatnya
sendiri. Upaya dalam menegakkan hukum bukannya mendapat dukungan dari
intitusi yang membesarkannya itu. Sikap Novel Baswedan pun mendapat
“perlawanan” dari kepolisian bahkan sampai hendak menangkapnya segala.
Dari fenomena ini, perjuangan Trujojoyo hendaknya dapat diambil spiritnya.
Bahwa perjuangan menegakkan keadilan harus terus dilakukan tanpa peduli
memandang siapa dan latar belakangnya. Hal ini ditujukan untuk
terciptanya rasa keadilan di masyarakat, serta untuk kepentingan bangsa
dan Negara. Tugas ini adalah kewajiban semua pihak. Terutama bagi
aparatur negara yang menandang sebagai penegak hukum, yang memang itu
menjadi tugasnya. Saat ini perjuangan itu begitu
berat karena aparat yang seharusnya menyelesaikan masalah hukum justru
menjadi bagian dari masalah itu. Dalam hal ini dibutuhkan figur yang
berani, tegas, dan mempunyai integritas tinggi. Dan bila Mabes Polri itu berada di Jalan Trunojoyo, mudah-mudahan bukan sebuah kebetulan belaka.
Hery Supriyanto
No comments:
Post a Comment