Situs Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto
Pelestarian Benda Cagar Budaya:
Refleksi Pemugaran Dan Pelestarian
Situs Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto
Tahun 1983-1995
Fandi Rahman
Abstract: The
activity that head to protect cultural preserve is a kind of activity to
protect and conserve the cultural preserve and the benefit will be aim
to improve the cultur nation that is nation cultur.
Key Words: Site, Conservation, Object of cultuural
Sejak awal kita telah mempelajari bahwa
kebudayaan dan masyarakat pendukungnya merupakan paduan yang tak
terpisahkan. Tak mungkin yang satu dengan yang lain berdiri sendiri
(Soekmono, 1973:124). Sejarah tidak selalu identik dengan
peristiwa-peristiwa penting atau tokoh-tokoh besar di masa lampau, namun
terkait dengan produk budaya material.
Menurut Soekmono pengertian dari
pelestarian Benda Cagar Budaya adalah 1) mencegah secara fisis tentang
kerusakan atau pemusnahan Benda Cagar Budaya serta mengupayakan agar
Benda Cagar Budaya tetap eksis dari bahaya kepunahan, dan 2)
mempertahankan serta mengupayakan agar nilai-nilai budaya positif yang
terkandung didalamnya dapat berkembang bahkan diwariskan secara terus
menerus dalam rangka memperkuat jati diri bangsa (Suprapta, 1996:86).
Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya pasal 15 menjelaskan mengenai larangan
merusak Benda Cagar Budaya (BCB) dan situs serta lingkungannya yaitu
merubah bentuk dan warna, memisahkan dari satu kesatuannya, membawa atau
memindah dari tempat asalnya, dan memperjual-belikan secara ilegal. Hal
itu merupakan pengertian dari vandalisme BCB yang menjadi sebab utama kerusakan atau musnahnya BCB. Vandalisme menunjukkan betapa rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap peninggalan BCB.
Masalah utama dalam upaya
pelestarian BCB adalah bersifat teknik arkeologis. Pelestarian Benda
Cagar Budaya harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Ilmu
Arkeologi yaitu pemugaran yang merupakan perbaikan dan pemulihan kembali
tanpa merubah bentuk dan bahan aslinya. Pemugaran meskipun sudah sesuai
dengan bentuk aslinya, namun tetap saja terdapat beberapa masalah yang
terjadi karena tidak semua bahan aslinya dalam keadaan utuh ataupun
dapat ditemukan kembali. Faktor ini jelas merupakan sebuah hambatan
dalam kaitannya dengan pelestarian BCB. Namun, perlu diingat bahwa
sesungguhnya pemugaran itu berhubungan dengan upaya untuk menyelamatkan
serta melestarikan apa yang masih tersisa dari suatu bangunan BCB
(Suprapta, 1996:87).
Pemugaran bukan akhir dari
upaya penyelamatan dan pelestarian BCB. Setelah pemugaran selesai maka
akan dilanjutkan dengan pemeliharaan pascapemugaran, pemugaran bertujuan
untuk merawat dan menjaga peninggalan BCB yang telah selesai dipugar
agar tidak mengalami kerusakan lagi. Namun, jika melihat secara langsung
apa yang terjadi saat ini sungguh ironis sekali sebab meskipun
perawatan rutin telah dilakukan tetapi pada beberapa bagian terlihat
kerusakan baru atau pada bagian lama yang rusak kemudian diperbaiki
mengalami kerusakan lagi.
Masalah seperti ini terjadi karena beberapa
sebab seperti keterbatasan sarana dan prasarana untuk perawatan akibat
minimnya anggaran dari pemerintah dan juga standarisasi dari seorang
juru rawat. Yang tak kalah penting adalah kurangnya kesadaran masyarakat
dalam upaya menjaga dan melestarikan BCB, sehingga hal seperti ini
patut mendapat perhatian lebih lanjut. Bahkan perlu dipupuk pula
kesadaran rumangsa andharbeni (rasa memiliki) yang tinggi dari masyarakat (Sujud, 2005:100).
Program Kerja Pemugaran Situs Bekas Kota Majapahit di Trowulan
Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 32 yang intinya adalah “Pemerintah Memajukan Kebudayaan Nasional”,
maka Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur mulai
melaksanakan pemugaran Situs Bekas Kota Majapahit di Trowulan. Sebagai
usaha untuk melindungi dan melestarikan Benda Cagar Budaya tersebut dari
kerusakan atau kemusnahan diadakannya penggalian serta pemugaran situs.
Situs Trowulan merupakan situs
ibukota kerajaan Majapahit, di situs ini terdapat banyak sekali
peninggalan-peninggalan Benda Cagar Budaya. Pelaksanaan pemugaran selama
kurang lebih dua belas tahun dan dari enam belas situs telah selesai
dipugar secara penuh lima situs, situs tersebut adalah situs Kolam
Segaran(1983/1984), situs Candi Tikus(1983/1985 sampai 1988/1989), situs
Gapura Bajang Ratu(1985/1986 sampai 1991/1992), situs Candi
Brahu(1990/1991 sampai 1994/1995), dan situs Gapura Wringin
Lawang(1991/1992 sampai 1994/1995). Kelima situs tersebut mulai
dilakukan pemugaran mulai tahun anggaran 1983/1984 sampai 1994/1995 yang
dimulai dengan perencanaan, pembebasan tanah, penanganan konservasi, dan pemeliharaan pasca konservasi.
Kegiatan pemugaran yang telah
dilakukan sejak tahun anggaran 1974/1975, untuk mengatasi segala bentuk
permasalahan kondisi keterawatan bahan bangunan yang digunakan secara
sinkronik dilakukan penanganan konservasi. Seperti yang diketahui bahwa
dengan diupayakan penanganan konservasi tidak berarti menghentikan
secara total proses pelapukan yang terjadi, melainkan hanya bersifat
menghambat. Sehingga upaya pemeliharaan secara rutin perlu dilakukan.
Pemugaran Situs Bekas Kota Majapahit di Trowulan
Sesuai dengan kaidah-kaidah
konservasi pada umumnya, maka sasaran kegiatan konservasi menyangkut
beberapa aspek yang meliputi yaitu:
1. Perencanaan
2. Pembebasan lahan
3. Penanganan konservasi
4. Pemeliharaan pascakonservasi
Guna mendapatkan gambaran yang secara jelas
mengenai upaya konservasi berikut ini adalah paparan data lengkap dari
hasil kegiatan konservasi yaitu:
1. Perencanaan
Perencanaan dilakukan secara sistematis dan
terintegrasi yang tertuang dalam bentuk “Rencana Induk Arkeologi Bekas
Kota Kerajaan Majapahit” yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Kebudayaan tahun 1985. Secara garis besar perencanaan tersebut meliputi:
deskripsi latar belakang, sosial-ekonomi dan budaya, kondisi
geotopografis, konsep dan metode penataan situs dan bangunan, rencana
penanganan bangunan dan penataan situs serta rencana jaringan jalan
wisata budaya. Inti dari kegiatan ini adalah pemugaran dan konservasi yang dilakukan secara sinkronik.
Masing-masing bangunan telah
dilakukan studi teknis yang dilakukan secara terperinci yang kemudian
digunakan sebagai acuan dasar dalam pelaksanaan kegiatan pemugaran dan
konservasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
perencanaan dalam rangka pelestarian dan perlindungan secara mendasar
telah dilakukan secara tepat waktu dan tepat guna.
- Pembebasan lahan
Pembebasan lahan beserta ganti rugi tanah dan
bangunan, dimaksudkan karena disekitar candi diduga masih terdapat
Benda Cagar Budaya lain yang masih terkubur atau masih tedapat bangunan
lain yang merupakan satu kesatuan dari bangunan yang pertama ditemukan.
Selain itu juga tujuan lain dilakukannya pembebasan lahan tersebut
adalah untuk menentukan batas-batas lindung Benda Cagar Budaya sebagai
usaha pelestariannya. Batas-batas tersebut adalah:
1. zona inti adalah zona cagar budaya atau situs
2. zona
penyangga adalah zona disekitar cagar budaya atau situs yang berfungsi
sebagai penyangga bagi pengembangan sekitar cagar budaya atau situs
3. zona
pengembangan adalah zona yang dapat digunakan untuk dikembangkan untuk
kepentingan sosial budaya sesuai prinsip pelestarian Benda Cagar Budaya.
Dengan demikian maka pelestarian
dan perlindungan benda cagar budaya dapat berjalan dengan baik. Namun
pada kenyataannya, ironis sekali karena berlangsungnya perluasan areal
pemukiman serta pembuat batu bata liar yang tersebar di beberapa titik,
tercatat sampai sekarang terdapat ± 4000 titik pembuat batu batu yang
tersebar merata di tempat yang diduga mengandung tinggalan arkeologis.
3. Penanganan konservasi
Penanganan konservasi banyak
macamnya yang didasarkan pada kondisi dan situasi pada masing-masing
obyek dan kemampuan atau fasilitas. Kerusakan Benda Cagar Budaya berdasarkan sifatnya yaitu mekanis, khemis, dan biologis (Suyono, 1979:13). Berikut ini adalah penanganan yang dilakukan terhadap situs Bekas Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan:
a. Pembersihan
Bahan bangunan yang digunakan di situs Bekas
Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan adalah batu bata yang sangat rentan
sekali mengalami kerusakan. Perubahan lingkungan dan pertumbuh mikroba
seperti jamur dan lumut akibat kondisi yang lembab akan mempercepat
proses pelapukan. Pembersihan bertujuan untuk pemberantasan/penghambatan
pertumbuhan mikroba, tanpa menimbulkan dampak negatif baik terhadap
bahan bangunan yang digunakan maupun lingkungan sekitarnya.
Pemberantasan atau penghambatan mikroba menggunakan Herbisida Hyvar X
atau Hyvar XL yang disemprotkan pada batu bata.
b. Perbaikan
Teknis perbaikan meliputi penyambungan dan injeksi retakan yang ada akibat berbagai sebab. Hal
ini wajar mengingat batu bata rentan sekali mengalami kerusakan. Tujuan
utama dilakukan pembersihan adalah untuk mengembalikan kepada keadaan
semula atau asli tanpa ada pemalsuan dan diusahakan tidak mengurangi
nilainya.
Dalam menutupi hasil injeksi atau
penyambungan dilakukan semacam kamuflase daerah sambungan batu bata yang
patah atau retak dengan bahan mortar epoxy resi dan bubukan
bata. Akan tetapi kamuflase yang dilakukan terhadap daerah yang dipatah
atau retak tersebut mengalami perubahan warna atau diskolorisasi.
c. Penggantian komponan bahan bangunan
Batu bata atau bahan bangunan lainnya yang
sudah tidak ada atau secara teknis tidak bisa digunakan lagi karena
telah rapuh maka diganti dengan bahan baru berdasarkan hasil rekontruksi
arkeologi(system anatilose). Kualitas batu bata pengganti pada Candi
Tikus kurang baik sedangkan untuk candi-candi lainnya relatif cukup
baik. Selain karena tekstur bahan tidak homogen,
kualitas pembakaran juga kurang baik. Pada umumnya batu bata yang
digunakan banyak tercampur dengan fragmen gerabah kuno. Hal ini wajar
karena sebagian besar batu bata yang digunakan berasal dari pembuat batu
bata disekitar situs Trowulan.
d. Pengunaan lapisan kedap air
Untuk kepentingan pelapisan kedap air digunakan bahan Araldite Tar Tipe XH 351 yang terdiri atas dua komponen yaitu resin dan hardener. Penggunaan jenis bahan ini dimaksudkan untuk menanggulangi masalah kapilarisasi air. Metode
ini diterapkan pada masing-masing candi yang dipugar, kecuali Kolam
Segaran. Karena metode ini dilakukan secara parsial maka aplikasi bahan
hanya dilakukan secara selektif saja yaitu sebagian tepi bangunan yang
dibongkar. Hasil observasi menunjukan bahwa hasilnya masih cukup efektif.
e. Penggunaan bahan penolak air
Penggunaan bahan penolak air
bertujuan untuk menjaga agar tidak terjadi pertumbuhan mikroba setelah
dilakukan pembersihan. Hal ini dikarenakan batu bata mudah menmyerap air
dan lama mengering sehingga kondisinya menjadi lembab. Bahan yang
digunakan adalah silicosol yang dioleskan pada seluruh
permukaan batu bata. Untuk menilai efektifitas bahan yang digunakan
ditempuh tiga cara yaitu atas dasar kandungan air pada permukaan bata
dengan alat Protimeter, beading test, dan pengamatan secara langsung
dalam kaitannya dengan pertumbuhan mikroba.
Berdasarkan hasil pengamatan setelah dilakukan pelapisan silicosol
pada batu bata menunjukkan kandungan air secara langsung pada permukaan
bata dapat dikatakan kondisinya relatif kering dengan kandungan air
maksimum 15 pada skala Protimeter (SP) dan hasil pengujian beading test yang dilakukan secara random pada umumnya menunjukkan hasil efektif.
Pengecualian untuk Kolam Segaran dan Candi
Tikus, Kolam Segaran pada saat pemugarannya belum menggunakan sistem
kedap air dan penolak air sehingga populasi pertumbuhan mikroba
khususnya gulma air cukup besar. Pada candi tikus ternyata sudah tidak
efektif lagi hal ini terjadi karena dosis dan penggunaan yang tidak
sesuai, sebagian besar pelapisannya tidak merata dan itupun juga hanya
pada satu sisi saja. Akibatnya pada sisi yang tidak terlapisi akan melapuk perlahan dengan cara mengelupas.
f. Sistem finishing rekonstruksi bata
Sesuai dengan kesepakatan arkeologis
penyelesaian bata baru pengganti bata yang telah rusak adalah
menggunakan pola acak. Hanya saja perlu pertimbangan lagi dari aspek
arkeologisnya mengingat untuk bidang-bidang panjang penerapan pola acak
tersebut ternyata menjadi tidak acak lagi tetapi berubah menjadi
keteraturan. Namun yang patut diperhatikan adalah pembedaan antara batu
bata pengganti dengan batu bata aslinya.
Data Penanganan Bangunan*
Nama Bangunan
|
STD
|
PEMB
|
PERB
|
KONS
|
KDA
|
PENG
|
PNA
|
Candi Tikus
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
Gapura Bajangratu
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
Candi Brahu
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
Gapura Wringin Lawang
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
Kolam Segaran
|
X
|
X
|
X
|
X
|
-
|
X
|
X
|
Keterangan
STD : Studi teknis
PEMB : Pembersihan
PERB : Perbaikan
KONS : Konsolidasi
KDA : Kedap air
PENG : Penolak air
PENG : Pengawetan
* Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Bekas Kota Majapahit 1994/1995. Laporan Evaluasi Hasil Pemugaran Bekas Kota kerajaan Majapahit. Mojokerto: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
4. Pemeliharaan pascakonservasi
Setelah penangan konservasi selesai maka
penangan selanjutnya adalah perawatan rutin yang dilakukan oleh juru
pelihara untuk setiap bangunan. Seorang juru pelihara tugas pokoknya
adalah memelihara bangunan kepurbakalaan, menjaga keutuhan benda-benda
cagar budaya yang ada, dan memberikan laporan perkembangan bangunan
kepurbakalaan kepada instansi terkait setiap satu atau tiga bulan
sekali. Perawatan rutin untuk pemeliharaan dilakukan secara sederhana
seperti pembersihan bangunan dan lingkungan sekitarnya, sehingga kondisi
dari bangunan akan tetap terjaga dengan baik.
Kolam Segaran yang kondisinya tergenang air
perawatan rutin dilakukan pada bagian-bagian batu bata yang ditumbuhi
gulma air dengan cara pembersihan rutin. Sedangkan pada candi Tikus
dilakukan upaya pengeringan dasar bangunan yang tergenang air secara
berkala attaupun pembuatan saluran air bawah tanah ke arah timur candi
Bajangratu yang berupa cekungan untuk mengalirkan air yang menggenang.
Kondisi Keterawatan Candi Tikus*
NO.
|
Parameter Yang Diamati
|
Sebelum Konservasi %
|
Setelah Konservasi %
|
1
|
Kerapuhan
|
20
|
8,3
|
2
|
Endapan garam
|
8,3
|
4,4
|
3
|
Pertumbuhan algae
|
12,5
|
11,8
|
4
|
Pertumbuhan moss
|
12,5
|
47
|
5
|
Pertumbuhan lichen
|
12,5
|
5,1
|
6
|
Kelembapan bata
|
54
|
21
|
Kondisi Keterawatan Gapura Bajangratu*
NO.
|
Parameter Yang Diamati
|
Sebelum Konservasi %
|
Setelah Konservasi %
|
1
|
Kerapuhan
|
20
|
3,5
|
2
|
Endapan garam
|
3
|
4,5
|
3
|
Pertumbuhan algae
|
57
|
2
|
4
|
Pertumbuhan moss
|
1
|
< 1
|
5
|
Pertumbuhan lichen
|
40
|
< 1
|
6
|
Kelembapan bata
|
65
|
15
|
Kondisi Keterawatan Candi Brahu*
NO.
|
Parameter Yang Diamati
|
Sebelum Konservasi %
|
Setelah Konservasi %
|
1
|
Kerapuhan
|
44
|
7,1
|
2
|
Endapan garam
|
8
|
5,7
|
3
|
Pertumbuhan algae
|
63
|
3,5
|
4
|
Pertumbuhan moss
|
28
|
0
|
5
|
Pertumbuhan lichen
|
62
|
0
|
6
|
Kelembapan bata
|
35
|
15
|
Kondisi Keterawatan Gapura Wringin Lawang*
NO.
|
Parameter Yang Diamati
|
Sebelum Konservasi %
|
Setelah Konservasi %
|
1
|
Kerapuhan
|
4
|
7,1
|
2
|
Endapan garam
|
1
|
10,7
|
3
|
Pertumbuhan algae
|
35
|
7,1
|
4
|
Pertumbuhan moss
|
17
|
< 1
|
5
|
Pertumbuhan lichen
|
25
|
< 1
|
6
|
Kelembapan bata
|
60
|
20
|
Kondisi Keterawatan Kolam Segaran*
NO.
|
Parameter Yang Diamati
|
Sebelum Konservasi %
|
Setelah Konservasi %
|
1
|
Kerapuhan
|
35
|
8,3
|
2
|
Endapan garam
|
5
|
4,4
|
3
|
Pertumbuhan algae
|
85
|
11,8
|
4
|
Pertumbuhan moss
|
60
|
47
|
5
|
Pertumbuhan lichen
|
15
|
5,1
|
6
|
Kelembapan bata
|
Sangat lembab
|
Lembab
|
* Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Bekas Kota Majapahit 1994/1995. Laporan Evaluasi Hasil Pemugaran Bekas Kota kerajaan Majapahit. Mojokerto: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kesimpulan
Masalah kepribadian nasional adalah bagian
dari kesadaran jatidiri bangsa yang diwujudkan sebagai kebudayaan
nasional. Pemugaran situs bekas kota kerajaan Majapahit di Trowulan
merupakan bentuk dari sikap positif terhadap pelestarian benda cagar
budaya. Warisan sejarah yang sangat tinggi nilainya ini adalah jatidiri
bangsa.
Pemugaran memiliki fungsi sebagai usaha untuk
melindungi dan menjaga agar Benda Cagar Budaya tidak mengalami
kerusakan lebih lanjut. Dan konservasi bertujuan
lebih kepada pengawetan tehadap bahan bangunan agar lebih tahan lama dan
tidak cepat mengalami pelapukan. Upaya-upaya pemugaran situs Bekas Kota
Kerajaan Majapahit meskipun sudah berjalan selama 12 tahun dengan
berhasil memugar lima situs. Namun pada akhirnya itu bukan akhir dari
pemugaran akan tetapi masih terus dilakukan terus pemugaran terhadap
situs Bekas Kota Kerajaan Majapahit lainnya secara bertahap dan
berkelanjutan.
Setelah pemugaran selesai dilakukan
pemeliharaan pascakonservasi perlu dilakukan untuk merawat secara rutin
situs-situs yang telah dipugar agar lebih terawat. Namun pada
kenyataannya kegiatan pascakonseravasi terhambat akibat dari
keterbatasan. Keterbatasan tersebut adalah keterbatasan sarana dan
prasarana akibat minimnya anggaran, keterbatasan tenaga juru rawat yang
memenuhi stantar yang ditetapkan dan juga keterbatasan pemahaman akan
hakikat pelestarian benda cagar budaya yang dimiliki yang berakibat
kurangnya peran serta masyarakat terhadap pelestarian benda cagar
budaya.
Masalah seperti ini bukan harus
dilimpahkan kepada pemerintah saja namun juga diperlukan kesadaran dan
peran serta masyarakat untuk menjaga dan memelihara peninggalan
kepurbakalaan. Masyarakat harus menyadari
pentingnya tinggalan budaya masa lampau bagi sejarah suatu bangsa.
Keterbatasan adalah bukan menjadi penghalang.
DAFTAR RUJUKAN
Asmar, T. 1982. Pemeliharaan Dan Perlindungan Benda-Benda Sejarah dan Purbakala. Jakarta: Palem Jaya.
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Bekas Kota Kerajaan Majapahit 1983-1995. Upaya Pelestarian Situs Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Mojokerto: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Bekas Kota Majapahit 1994/1995. Laporan Evaluasi Hasil Pemugaran Bekas Kota kerajaan Majapahit. Mojokerto: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soekmono, R.1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.
Sujud P.J., S. 2005. Pelaporan Dan Penanganan Temuan Benda Cagar Budaya. Sejarah. 11 (2): 93-101.
Suprapta, B. 1996. Pelestarian Benda Cagar Budaya. Sejarah, 2 (3): 84-92.
Suyono, 1982. Methode Konservasi Peninggalan Keperluan Kepurbakalaan. Jakarta: Palem Jaya.
Tjandrasasmita, U. 1982. Pencegahan Terhadap Pencemaran Peninggalan Sejarah Dan Kepurbakalaan Sebagai Warisan Budaya Nasional. Jakarta: Palem Jaya.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya.1992. Jawa Timur: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.
—–, 2008. Agenda Terbaru: Perlindungan/Pelestarian Situs Purbakala, (http://www.purbakala.jawatengah.go.id. diakses 8 Juli 2010).
Sebelumnya upaya melindungi dan melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan atau kemusnahan sudah ditetapkan dalam Monumenten
Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238),
sebagaimana telah diubah dengan Monumenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun
1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 515) yang pada akhirnya diganti menjadi dalam UU RI No 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya.1992. Jawa Timur: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.
Kebudayaan
nasional ialah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budinya rakyat
Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai
puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung
sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kea rah
kemajuan, adab, budaya, dan persamaan, dengan tidak menolak bahan baru
dari kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudayaan bangsa sendiri,
serta mempertinggi derajat kemanusaiaan Indonesia.
Van_nder
No comments:
Post a Comment