Wacana Sunni - Syiah di Indonesia (3)

Kemudian dalam fikih Syiah merujuk pada fuqaha besar Imam Jafar Shadiq (guru dari para imam fikih yang ada dalam Sunni: Hananfi, Maliki, Hambali, dan Imam Syafii, serta lainnya). Fatwa-fatwa fikih Syiah juga diambil dari para Imam Ahlulbait lainnya seperti Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Musa Kazhim, Imam Ali Ridha, Imam Muhammad Al-Jawad, Imam Ali Al-Hadi, dan Imam Hasan Al-Askari. Pengembangan fatwa dalam fikih Syiah setelah para Imam Ahlulbait dilanjutkan oleh ulama-ulama yang memiliki kemampuan dalam ijtihad yang disebut mujtahid. Mereka ini dikenal sebagai marja’ taqlid yang oleh pengikut Syiah diambil dan diamalkan fatwa-fatwanya sampai sekarang ini. Di antara marja taqlid atau fuqaha Syiah ternama adalah Imam Khomeini, Sayid Gulpagni, Sayid Khui’, Sayid Khamenei, Sayid Fadhlullah, Sayid Ali Sistani, Syaikh Jafar Subhani, Syaikh Moderesi, dan lainnya.
Sementara dalam mazhab Sunni atau Ahlussunah, kepemimpinan Islam dipegang sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Khalifah Ali. Sunni tidak menetapkan kepemimpinan berdasarkan hadist atau dalil agama, tetapi berdasarkan kesepakatan umat (syura).
Dari Sunni dan Syiah dalam kepemimpinan, bedanya adalah dalam mazhab Islam Syiah: Imam Ali menjadi khalifah yang pertama; sedangkan dalam Sunni: Imam Ali sebagai khalifah yang keempat. Namun, keduanya sama-sama menghormati dan memuliakan Imam Ali dan Ahlulbait Rasulullah saw.
Soal Kitab Suci yang dipegang sama-sama Al-Quran (yang urutannya dari fatihah dan berakhir surah annas) yang banyak beredar di Indonesia. Kalau tidak percaya, silakan cek kitab tafsir Al-Mizan dan Min Wahyu Al-Quran, atau main ke perpustakaan UIN Jakarta atau Bandung, atau Perpustakaan Yayasan Muthahhari Bandung. Lihat di sana buku-buku yang menerangkan Syiah yang ditulis pengikutnya atau ulamanya, pasti menggunakan ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi dalam menjelaskan argumen-argumen atau dalilnya.
Sudah pasti yang disembahnya adalah Allah. Nabi yang diakuinya Nabi Muhammad Rasulullah saw. Berhajinya ke Ka’bah (Makkah) dan ziarah ke makam Nabi di Masjid Munawwarah, Madinah. Kalau dalam ziarah, ada yang ke Karbala, Najaf, Mashad, Gunung Uhud, Baqi, dan lainnya. Shalat pun sama menghadap kiblat. Hanya bacaan dan gerakan shalat yang sedikit beda. Sama halnya dengan fikih dalam Ahlussunah yang beda antara mazhab fikih Syafii, Hanbali, Maliki, atau Hanafi. Shalat yang utama tetap di masjid. Dalam salah satu fatwa ulama Islam Syiah bahwa pengikut mazhab Syiah tidak dilarang untuk shalat jamaah dengan pengikut Sunni.
Secara tradisi atau budaya, Islam Syiah yang di Indonesia hampir sama dengan NU: tahlillan, haul, asyura (10 Muharam), shalawatan, baca yasin dan doa setiap malam jumat secara bersama, shalat nisfu sya’ban, mawlid Nabi, rajaban, baca barjanji, shalat sunah lailatul qadar, pakai qunut saat shalat, ziarah kubur, dan tawasul kepada Rasul dan para wali, dan dzikir bersama.
Dari kesamaan tersebut, saya kira yang kemudian Nahdlatul Ulama (NU)—khususnya tokoh besarnya—bisa menerima eksistensi Islam Syiah dan saling bantu dalam urusan kebudayaan Islam. Bahkan, Gus Dur pernah bilang: NU itu Syiah minus Imamah.
Nah, hanya itu yang saya ketahui. Mungkin yang lain bisa berbagi. Soal pernyataan sesat atau dikatakan sesat oleh sejumlah orang Islam yang mengaku dirinya ulama atau organisasi besar, saya kira ada kaitannya dengan projek dan pendapatan. Mungkin jamaahnya semakin berkurang dan order dakwahnya terancam hilang. Urusannya seputar pendapatan, bukan pendapat.
Bagi saya: la sunah wa la syiah, wa lakin al-ukhuwah al-Islamiyah. Hidup Indonesia damai.

AHMAD S

No comments: