Maghapuja: Ketika Para Bhikkhu Arahat Berkumpul

Tepat pada hari ini, Minggu, tanggal 24 Februari 2013, jatuh pada bulan purnama atau dalam penanggalan lunar Cina (Imlek) tanggal 15 bulan pertama. Bagi orang-orang Tionghoa pada umumnya, hari ini dikenal sebagai Cap Go Meh (Malam Tanggal Lima Belas), perayaan lima belas hari setelah Sin Cia atau tahun baru Imlek. Namun ini adalah perayaan dalam tradisi dan budaya Cina.
Bagi umat Buddha, hari ini juga bertepatan dengan peringatan hari Maghapuja yang jatuh pada bulan purnama bulan Magha dalam kalender Buddhis. Maghapuja (puja/penghormatan di bulan Magha) merupakan salah satu dari empat hari besar dalam agama Buddha (tiga hari besar Buddhis lainnya adalah Waisak, Asadha, dan Kathina), yang memperingati peristiwa berkumpulnya 1250 orang bhikkhu di Vihara Veluvana di mana Sang Buddha sedang berdiam pada saat itu.
Tidak seperti di Indonesia di mana umat Buddha hanya memperingati Maghapuja secara sederhana di vihara-vihara, di negera-negera Buddhis seperti Thailand dan Myanmar peringatan ini dirayakan secara meriah dengan berbagai festival dan upacara keagamaan.[1] Namun demikian, yang terpenting bukanlah berapa besar dan meriahnya peringatan Maghapuja dilakukan, melainkan sejauh mana umat Buddha memaknai peringatan ini dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu, dalam tulisan ini kita akan membahas sedikit lebih mendalam tentang sejarah dan makna peristiwa ini dalam ajaran Buddha.
Sejarah
Peristiwa Maghapuja tidak disebutkan secara eksplisit dalam kitab Tipitaka Pali (yang terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka), namun secara ringkas disebutkan dalam kitab komentar atau penjelasan (atthakatha) dari Dīghanakha Sutta, Majjhima Nikaya 74.
Dīghanakha Sutta, sesuai dengan judulnya, adalah kotbah Sang Buddha kepada pertapa pengembara Dīghanakha tentang pandangan filosofis yang dianut sang pertapa pengembara itu. Di sini Sang Buddha menunjukkan kesalahan dari pandangan pertapa Dīghanakha tersebut dan mengajarkan bahwa seorang yang bijaksana setelah menyadari bahwa satu pandangan yang dianut dapat bertentangan dengan pandangan lain sehingga menyebabkan perselisihan, tidak menganut pandangan apa pun dan melepaskan semua pandangan.
Kemudian Sang Buddha melanjutkan dengan menjelaskan bahwa jasmani adalah tidak kekal (anicca), penderitaan (dukkha), dan bukan diri (anatta). Ketika seseorang menganggap jasmani ini seperti ini, ia akan meninggalkan keinginan, kasih sayang, dan kepatuhan pada jasmani. Demikian juga, tiga jenis perasaan (perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral) adalah tidak kekal, penderitaan, dan bukan diri. Dengan perenungan yang demikian dalam meditasi, seseorang akan mencapai pembebasan batin (Nibbana). Seseorang yang batinnya telah terbebaskan tidak memihak siapa pun dan tidak berselisih dengan siapa pun dalam hal pandangan-pandangan filosofis. Ia menggunakan kata-kata dan bahasa yang digunakan di dunia ini tanpa melekatinya. Selengkapnya tentang isi kotbah ini bisa dibaca di sini.
Pada akhir kotbah, pertapa Dīghanakha mencapai kesucian Sotapanna dan Bhikkhu Sariputta, salah satu siswa utama Sang Buddha yang sedang mengipasi Beliau di belakang-Nya, yang juga paman dari Dīghanakha, mencapai kesucian Arahat. Sebelumnya Bhikkhu Sariputta yang dikenal juga sebagai siswa Sang Buddha yang terkemuka dalam hal kebijaksanaan baru mencapai kesucian Sotapanna dan baru ditahbiskan sebagai bhikkhu selama dua minggu.
Teks kanon (kitab suci) Pali berhenti sampai di sini, tetapi kitab komentar menambahkan sebagai berikut:
“Setelah menyelesaikan khotbahnya saat matahari terbenam, Sang Buddha turun dari Gijjhakūṭa (Puncak Burung Nazar) dan pergi ke Veluvana (Hutan Bambu) dan berkumpul dengan para siswanya. Perkumpulan tersebut memiliki empat keistimewaan (cāturaṅgasannipāta):
  1. Terjadi pada bulan Māghā di bulan purnama uposatha[2],

  2. Para siswa yang berkumpul berjumlah 1250 orang bhikkhu dan berkumpul secara alami sendiri-sendiri tanpa diundang,

  3. Di antara mereka, tidak ada satu pun yang merupakan orang biasa yang belum mencapai kesucian batin, Sotapanna, Sakādagami, Anāgami ataupun Arahat yang mencapai kesucian murni dari meditasi pandangan terang (vipassana), melainkan mereka adalah para Arahat dengan enam jenis kekuatan batin (abhiññā)[3], dan

  4. Tidak ada satu pun yang ditahbiskan dengan mencukur rambutnya sendiri, melainkan ditahbis melalui ucapan ‘ehi bhikkhu’ (datanglah, oh bhikkhu).”[4]


Pada kesempatan tersebut Sang Buddha mengucapkan tiga bait syair yang ditemukan dalam Dhammapada 183-185 sebagai berikut[5]:
Jangan berbuat kejahatan,
Perbuatlah kebajikan,
Sucikan pikiran,
Inilah ajaran para Buddha.
Kesabaran adalah cara bertapa yang terbaik.
Para Buddha berkata, “Nibbāna adalah yang tertinggi.”
Ia yang menyakiti makhluk lain bukanlah seorang yang meninggalkan keduniawian,
Ia yang melukai makhluk lain bukan seorang pertapa.
Tidak menghina,
Tidak mencelakai,
Mengendalikan diri sesuai dengan peraturan (patimokkha),
Makan secukupnya,
Tinggal di tempat yang tenang,
Berusaha mengembangkan pikiran yang lebih tinggi,
Inilah ajaran para Buddha.
Syair-syair ini kemudian dikenal sebagai Ovada Patimokkha (nasehat tentang peraturan) yang banyak digunakan dalam kalangan Buddhis untuk menggambarkan keseluruhan ajaran Buddha secara singkat.
Makna
Selain memperingati berkumpulnya para bhikkhu siswa Sang Buddha yang telah mencapai kesucian Arahat dengan serentak tanpa diundang dan tanpa pemberitahuan sebelumnya, Maghapuja diperingati untuk mengingatkan kembali para umat Buddha pada inti ajaran Buddha serta pelaksanaannya seperti yang diajarkan Sang Buddha dalam syair Ovada Patimokkha. Tentu saja ajaran-ajaran ini bukan hanya untuk diingat pada momen peringatan Maghapuja saja, tetapi juga setiap saat untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, kita akan membahas sekilas tentang Ovada Patimokkha di sini.
Menurut komentar Dhammapada, syair Ovada Patimokkha merupakan ajaran dasar yang juga diberikan oleh para Buddha sebelum Buddha Gotama saat ini untuk membimbing para bhikkhu. Hal ini juga ditegaskan dalam riwayat Buddha Vipassi, Buddha ketujuh sebelum Buddha Gotama, yang dikisahkan dalam Mahapadana Sutta (Digha Nikaya 14) bahwa Buddha Vipassi juga memberikan syair-syair ini sebagai instruksi kepada para bhikkhu siswa-Nya.
Menurut Vinaya Pitaka, selama 20 tahun pertama setelah Pencerahan Sang Buddha tidak menetapkan aturan bagi Sangha (perkumpulan para bhikkhu dan bhikkhuni), namun hanya menggunakan Ovada Patimokkha sebagai pedoman dasar bagi kehidupan kebhikkhuan. Setelah banyak orang masuk Sangha sehingga jumlah anggota Sangha semakin bertambah, pelanggaran-pelanggaran semakin banyak terjadi sehingga Sang Buddha menetapkan peraturan kebhikkhuan (Patimokkha) satu per satu untuk menghadapi kasus per kasus pelanggaran yang terjadi. Akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah peraturan ini semakin banyak dan ada 227 poin aturan (yang dikenal sebagai 227 sila Patimokkha bagi para bhikkhu saat ini).
Sekarang kita akan membahas secara singkat makna syair Ovada Patimokkha ini.
Bait pertama
Jangan berbuat kejahatan,
Perbuatlah kebajikan,
Sucikan pikiran,
Inilah ajaran para Buddha.

Syair-syair ini menunjukkan latihan dasar bagi seluruh umat Buddha, yaitu menjalankan moralitas (sila) dan mengembangkan pikiran atau batin (meditasi). Moralitas dalam arti negatif adalah menghindari segala bentuk perbuatan tidak bermanfaat dan merugikan baik diri sendiri dan orang lain, seperti membunuh, mencuri, berbohong, berbuat asusila, dan minum minuman keras. Dalam pengertian positif, moralitas berarti mengembangkan segala bentuk kebajikan, seperti melindungi kehidupan semua makhluk, berdana atau memberi kepada yang membutuhkan, berkata jujur dan benar, menjaga kehormatan orang lain, dan mengendalikan diri dengan penuh kewaspadaan.
Dengan mengembangkan moralitas yang tanpa celah, seseorang memiliki landasan yang kuat untuk melatih pikirannya, yang secara umum disebut meditasi. Meditasi Buddhis secara garis besar dibedakan menjadi meditasi ketenangan batin (samatha) dan pandangan terang (vipassana). Secara singkat, meditasi ketenangan berusaha menenangkan semua bentukan pikiran melalui konsentrasi pada objek meditasi yang telah dipilih, misalnya perhatian pada keluar masuknya napas. Setelah memperoleh ketenangan batin yang cukup untuk menghalau kekotoran batin secara sementara, meditasi pandangan terang dikembangkan dengan mengamati bahwa semua bentukan pikiran itu tidak kekal, penderitaan, dan bukan diri. Dengan pandangan terang ini, seorang meditator dapat mencapai pembebasan batin yang sempurna di mana semua kekotoran batinnya telah dihancurkan.
Bait Kedua
Kesabaran adalah cara bertapa yang terbaik.
Para Buddha berkata, “Nibbāna adalah yang tertinggi.”
Ia yang menyakiti makhluk lain bukanlah seorang yang meninggalkan keduniawian,
Ia yang melukai makhluk lain bukan seorang pertapa.

Bait syair ini menjelaskan latihan dasar yang berikutnya dalam ajaran Buddha, yaitu tentang kesabaran dan sikap tidak menyakiti dan melukai makhluk lain. Penerapan kesabaran dalam kehidupan sehari-hari di antaranya adalah dengan berbesar hati menghadapi kemarahan orang lain dan menaklukkan kebencian terhadap seseorang. Kedua praktek ini adalah modal dasar untuk mengembangkan cinta kasih dan belas kasih terhadap semua makhluk.
Selain itu, syair ini juga menunjukkan tujuan akhir ajaran Buddha yang tertinggi, yaitu Nibbana. Secara ringkas, Nibbana adalah padamnya nafsu, kebencian, dan kebodohan batin. Tujuan akhir ini dicapai dengan pelatihan moralitas dan pengembangan batin seperti pada syair sebelumnya (atau secara lebih rinci pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan).
Bait Ketiga
Tidak menghina,
Tidak mencelakai,
Mengendalikan diri sesuai dengan peraturan (patimokkha),
Makan secukupnya,
Tinggal di tempat yang tenang,
Berusaha mengembangkan pikiran yang lebih tinggi,
Inilah ajaran para Buddha.

Dua baris pertama menyatakan agar tidak menghina kesalahan atau keburukan orang lain dalam bentuk apa pun. Dalam menemukan kesalahan orang lain, seseorang seharusnya mengintrospeksi dirinya sendiri. Dengan demikian, ia dapat menjaga keharmonisan dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, ia juga tidak menyimpan kebencian terhadap makhluk lain dengan berusaha mencelakainya.
Kata “patimokkha” pada baris ketiga menunjuk pada peraturan kebhikkhuan yang harus dijalankan bagi para bhikkhu, namun bagi umat awam Buddhis, yang dimaksud adalah moralitas (sila) apakah dalam bentuk lima pelatihan moral (pancasila) ataupun delapan pelatihan moral (atthasila) yang dilakukan pada hari Uposatha. Moralitas adalah hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari yang menjaga perilaku, perbuatan, dan ucapan seseorang, bahkan jika ia tidak bermaksud untuk mencapai kebahagiaan spiritual.
Secara harfiah, baris keempat menunjukkan cara yang tepat dalam hal makan, yaitu makan tidak berlebihan, sederhana, dan dengan penuh ketenangan untuk mencegah keserakahan dan kemelekatan pada makanan. Secara khusus, dalam peraturan Patimokkha terdapat aturan-aturan yang mengatur cara makan yang pantas bagi seorang bhikkhu. Sang Buddha juga mengajarkan kepada umat awam untuk makan secukupnya dengan alasan kesehatan, misalnya dalam salah satu kotbah kepada Raja Pasenadi:
“Ketika seseorang senantiasa penuh perhatian,
Mengetahui kecukupan makanan yang ia makan,
Penyakitnya berkurang:
Ia menua dengan lambat, menjaga kehidupannya.”
Ketika seseorang benar-benar mendedikasikan dirinya pada kehidupan spiritual, ketenangan ucapan, perbuatan, dan pikiran adalah hal yang penting. Oleh sebab itu, disarankan bagi mereka untuk tinggal di tempat yang tenang, yang cocok untuk bermeditasi dan berlatih diri dalam ketenangan. Kalau pun ia harus berada dalam keramaian orang-orang, ia tetap berpembawaan tenang sehingga dapat membawa kedamaian bagi orang-orang di sekitarnya. Inilah yang dimaksud pada syair baris kelima.
Pengembangan pikiran yang lebih tinggi (adhicitta) pada baris keenam menunjuk pada pengembangan konsentrasi (samadhi) hingga mencapai tingkatan tertentu yang disebut jhana (pemusatan pikiran). Ini adalah hasil dari meditasi ketenangan batin di mana kekotoran batin telah ditekan sementara sehingga pikiran dapat dikembangkan dalam pandangan terang untuk melenyapkan kekotoran batin sepenuhnya.
Demikianlah, syair Ovada Patimokkha menunjukkan keseluruhan praktek ajaran Buddha untuk mencapai kebahagiaan sejati secara singkat dalam 13 jalan pelatihan. Inilah ajaran yang telah diajarkan para Buddha dari masa lampau, yang diajarkan oleh Buddha Gotama sekitar 2500 tahun yang lampau, dan akan diajarkan juga oleh para Buddha yang akan muncul di masa yang akan datang.
Semoga melalui ajaran dan latihan Dhamma ini, semua makhluk dapat mencapai pembebasan batin yang tanpa noda.
Semoga semua makhluk berbahagia.
Selamat hari Maghapuja.
Catatan Kaki:
1. Selengkapnya lihat di http://en.wikipedia.org/wiki/Magha_Puja
2. Uposatha adalah hari di mana para bhikkhu berkumpul untuk membacakan aturan kebhikkhuan (patimokkha) bersama-sama dan para umat awam menjalankan delapan pelatihan moral (atthasila), yang jatuh pada awal bulan (tanggal 1 penanggalan lunar), pertengahan bulan (tanggal 15), dan dua seperempat bulan di antaranya (tanggal 8 dan 23).
3. Enam kekuatan batin seorang Arahat adalah kemampuan batin yang bersifat fisik (iddhi), telinga dewa (dibbasota), membaca pikiran (cetopariya-nana), mengingat kehidupan lampau (pubbenivasanussati), mata dewa (dibbacakkhu), dan kemampuan melenyapkan kekotoran batin (asavakkhaya-nana). Lima yang pertama merupakan kekuatan batin duniawi yang dapat dicapai melalui meditasi ketenangan batin (samatha), tetapi yang terakhir adalah kekuatan batin adi duniawi yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah tercerahkan.
4. Ehi-bhikkhu upasampada adalah penahbisan bhikkhu yang dilakukan langsung oleh Sang Buddha sendiri dengan mengucapkan kata-kata: “Ehi bhikkhu, svakkhato dhammo caro brahmacariyam samma dukkhasa antakiriyaya” (Datanglah, oh bhikkhu, Dhamma telah diajarkan dengan baik, jalankanlah kehidupan suci untuk mengakhiri dukkha selamanya). Dikatakan bahwa mereka yang menerima penahbisan ini secara otomatis rambutnya tercukur dan langsung memakai jubah lengkap dengan perlengkapannya. Ini disebabkan karena akumulasi karma baik (parami) yang besar dari kehidupan lampau sehingga dapat terjadi demikian. Oleh sebab itu, dikatakan “mereka tidak mencukur rambutnya sendiri.”
5. Di sini penulis mengikuti urutan syair seperti yang terdapat dalam Dhammapada 183-185. Umumnya syair-syair ini diurutkan dari syair kedua yang berbunyi “Kesabaran adalah…” terlebih dahulu, tetapi Dhammapada mengurutkan dari syair yang berbunyi “Jangan berbuat kejahatan…”. Selain itu, syair pertama Dhammapada ini merupakan ajaran yang lebih mendasar daripada syair-syair berikutnya.

Solitary W

No comments: