Islam(isasi) di Bali
Anggapan umum selalu mengidentifikasi
Bali adalah Hindu. Seolah Bali hanya ada satu budaya dan agama. Sangat
jarang kajian-kajian tentang keberagaman sosial-kultur di Bali, yang
sudah terbentuk sejak lama. Salah satu kajian keberagaman yang jarang
diangkat ke publik adalah keberadaan Islam di Pulau Seribu Pura ini.
Menurut Yudhis M Burhanuddin (2008), ada
tiga fase masuknya Islam di Bali. Fase pertama terjadi pada masa-masa
Kerajaan Bali misalnya, pada masa-masa awal datangnya utusan Majapahit
yang terus berlangsung pada masa pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan
sampai ke masa pemerintahan Dalem Waturenggong dan sesudahnya. Selain
itu, kontak budaya pada masa-masa Kerajaan sesudah Kerajaan Klungkung
pun masih terus terjadi misalnya, pada periode Kerajaan Badung. Fase
kedua terjadi pada masa-masa kolonial Belanda. Dan Fase selanjutnya,
atau fase ketiga, terjadi pada masa-masa setelah kemerdekaan sampai booming-nya sektor pariwisata hingga sekarang ini.
Gelombang Muslim yang terjadi saat Belanda
(VOC) berhasil menguasai Makassar pada tahun 1667 M. di bawah tekanan
Belanda, penduduk Makassar banyak melarikan diri meninggalkan pulau
Sulawesi. Salah satu tujuan pelarian adalah pulau Bali. Etnis Bugis
tersebut mendarat pertama kali di Air Kuning, yang saat itu masih jarang
penduduknya. Hingga pada akhirnya, atas ijin dari Penguasa kerajaan
Jembrana kala itu I Gusti Ngurah Pancoran, jadilah Air Kuning sebagai
perkampungan Islam pertama di Jembrana. Baru kemudian pada sekitar abad
ke 18 M datang rombongan Muslim melayu pontianak yang dipimpin Syarif
Abdullah bin Yahya Al-Qodary, yang nantinya menjadi cikal bakal
keberadaan kampung Islam Loloan.
Dalam gelombang selanjutnya, pasca
kemerdekaan seiring dengan pesatnya kemajuan industri pariwisata, banyak
penduduk Muslim Jawa, Madura dan Lombok, yang mengadu nasib ke pulau
Bali ini. ini terjadi karena minimnya lapangan pekerjaan di daerah asal,
yang pada tahun-tahun berikutnya sampai saat ini, terus mengalami
peningkatan penduduk pendatang Muslim dari berbagai daerah di Indonesia.
Dulunya, kontak budaya fase pertama dan fase
kedua tidak terlalu menjadi persoalan. Ini tentu berbagai faktor
diantaranya ruang-ruang yang ada, baik sosial-politik maupun ekonomi
masih lapang. Akan tetapi, dalam atmosfir kontak etnik-kultur dan religi
fase ketiga ini persoalan struktural (sosial-politik dan ekonomi)
menjadi penting. Sedikit banyaknya, semua ini memicu reaksi (sebagian)
orang Bali. (Yudhis M Burhanuddin, 2008)
Karantinaisasai
Berbeda dengan perkembangan masuknya Islam di
jawa, yang sejak awal motif kedatangan Islam di jawa memang dakwah
untuk Islamisasi, para pendakwahnya yang dikenal dengan sebutan
Walisongo. Walisongo merupakan istilah bagi perkumpilan Dewan para Ulama
terkemuka saat itu, yang dengan perlahan namun pasti, dapat melakukan
Islmisasi dengan rapi dan terorganisir. Sehingga dalam bentangan waktu
yang relatif tidak terlalu lama, pulau Jawa dapat diIslamkan secara
menyeluruh. Cara yang ditempuh para Walisongo dengan dua cara, gerakan
kultural dan gerakan politik.
Di bali, penyebaran Islam tidak terorganisir
layaknya di Jawa. Keberadaan Islam di Bali, para tokoh-tokoh Muslim kala
itu tidak pernah melakukan komunikasi antar daerah. Semisal tokoh
Muslim yang ada di Jembrana tidak pernah melakukan kumunikasi dengan
Muslim di Buleleng, Badung, Karangasem, dan kantong-kantong Muslim
seluruh Bali. Hal inilah yang mungkin bagi keberadaan Islam di Bali,
yang telah ratusan tahun ada di Bali, tidak mengalami perkembangan yang
signifikan. Salah satu sebabnya karena penyebaran Islam di Bali hanya
menggunakan satu cara, yakni dengan penyebaran Islam secara kultural.
Selain itu, para Penguasa di berbagai kerajaan di Bali saat itu menerapkan politik Karantinaisasi bagi penduduk Islam. Ada beberapa alasan kenapa Raja-Raja menerapkan politik karantinaisasi, yakni: pertama,
mencegah timbulnya konflik antara orang Islam dan orang Bali yang
disebabkan oleh latar belakang perbedaan Agama dan kebudayaan. Kedua,
meminimalisir kemungkinan adanya Islamisasi yang dilakukan oleh orang
Islam terhadap orang Bali. Ketiga, memberikan rasa aman secara
sosiologis, kultural, keagamaan, dan psikologis sebab dalam perkampungan
yang berpola karantinaisasi mereka dapat mengembangkan identitasnya
secara bebas tanpa didominasi maupun dihegomoni oleh etnik Bali.
Keempat, etnik Bali Hindu yang ada di sekitarnya bisa mempertahankan
identitasnya, tanpa ada perasaan dirongrong oleh orang Islam. (Nengah
Bawa Atmajda, 2010)
Secara tidak langsung, dengan penerapan
politik karantinaisasi, benturan konflik antar agama dapat dihindari,
sehingga muncul istilah Nyamaslam, sebutan orang Hindu Bali
kepada penduduk Islam, yang menganggap orang Islam adalah saudara, bukan
musuh. Istilah tersebut (nyamaslam) terus bertahan, tapi akhir-akhir
ini, dengan berbagai alasan, oknum orang Hindu Bali tiba-tiba mengubah
istilah persaudaraan tersebut menjadi Nakslam atau Nakjawa,
yang cenderung mengonotasikan negatif terhadap keberadaan Islam di
Bali, yang selalu dikambinghitamkan tatkala terjadi pencurian atau
hal-hal kriminal lainnya.
Keberadaan Islam Dewasa ini
Hari ini di Bali marak dengan wacana Penduduk
asli versus Pendatang. Penduduk asli sebagai identifikasi bagi
orang-orang Hindu, yang menganggap Bali adalah rumahnya. Sedangkan
Pendatang untuk mengidentifikasi bagi mereka yang selain Hindu. Bahkan
wacana Ajeg Bali yang digelontarkan Satria Naradha, Pemilik Kelompok
Media Balipost, terang-terangan mengidetifikasi pendatang adalah
orang-orang Islam yang harus dihadang atau dihalau di Bali.
Sebagai kelompok minoritas di Bali, aktivitas
umat Islam di Bali terus bertahan dari berbagai bentuk diskrimanasi
eksplisit, yang justru bagi kebanyakan umat Islam Bali sendiri, tidak
menyadari terjadi peng-alienasi-an terhadap eksistensi Islam di Bali.
Saat ini, di seluruh Bali terdapat 213
Masjid, 171 Langgar, dan 238 Mushalla sehingga tolal seluruh rumah
Ibadah umat Muslim di Bali sebanyak 622 buah (Bappeda Bali, 2001: xv-3
dan xv-4). Kemungkinan data ini membengkak mengingat data ini deperoleh
pada tahun 2001. Ada tiga Kabupaten/Kota di Bali yang jumlah Masjidnya
daitas seratus buah yaitu, Kabupaten Buleleng sebanyak 171, Kabupaten
Jembrana sebanyak 158, dan Kotamadya Denpasar sebanyak 118. (Yudhis M
Burhanudin, 2008:128).
Bagaimanapun tidak bisa dipungkiri, jika
sebenarnya Bali sejak dulu merupakan pulau yang dipenuhi keberagaman.
Sikap toleransipun sudah lama dijalankan demi bali yang tetap aman
damai. Jadi, jika ada sekolompok oknum yang mencoba untuk
mendiskreditkan keberadaan kelompok (agama, etnis, dll) lain, baik dari
Hindu maupun Islam, sedini mungkin harus dicegah, agar apa yang telah
dibangun oleh para pendahulu tidak roboh oleh sebab kepicikan paradigma
yang menganggap kelompok lain berbahaya dan selalu salah. Semoga…!!!
A karim
No comments:
Post a Comment