MADINIAH: Profil Masyarakat Madani

Madniah, kota suci Nabi SAW yang menyimpan jutaan misteri yang begitu menajubkan untuk dikaji. Ratusan literature mengisahkan betapa indah dan sejuknya kota suci Nabi Muhammad. Tanah yang tadinya angker berubah menjadi subur makmur, dan penuh berkah setelah kedatangan Rosulullah SAW. Gagasan-gagasan cermerlang Muhammad di dalam membangun negeri penuh dengan keadilan, membuat setiap orang mersakan sejuk dan aman setiap orang.
Preman-preman berubah menjadi agamawan dan dermawan, bahkan mereka menjadi pengikut paling setia. Muhammad SAW datang ke Madinah bukan untuk menghakimi para preman, tetapi memberikan keteladanan. Nabi SAW memang manusia biasa, tetapi sejatinya Muhammad itu kitab suci yang berjalan di muka bumi. Pantaslah jika Muhammad SAW orang paling perpenggaruh dari masa kemasa.
Kota-kota di seluruh penjuru dunia banyak yang ditaklukkan dengan perang dan darah. Tetapi, kota Madinah satu-satunya kota yang ditaklukkan dengan ayat suci Al-Quran. Kehadiran Nabi SAW justru mendapat sambutan yang begitu mengembirakan dari penduduk asli Madinah. Bahkan, penduduk Madinah jauh-jauh hari telah memberikan tawaran khusus kepada Muhammad, agar berkenan hijrah dan bermukim di Madinah.
Rupanya, masyarakat Madinah sangat ramah dan santun kepada siapapun, termasuk kepada Muhammad SAW. Keramahan penduduk Madinah rupanya membuat Nabi SAW tertarik untuk menjadikan rakyat Madinah lebih baik dan terdidik. Terbukti, saat Nabi SAW dan sahabat memutuskan hijrah ke Madinah, ternyata masyarakat madinah benar-benar memberikan sambutan dan pelayanan luar biasa. Karena kebaikan penduduk madinah itu, Nabi SAW memberi julukan ‘’Kaum Ansor’’ yang artinya orang-orang yang suka menolong.
Ketika Nabi SAW sudah resmi menjadi penduduk Madinah, Nabi SAW tampil bersahaja dan berwibawa di hadapan penduduk Ansor (penduduk asli), dan Muhajirin (pendatang) dari Makkah. Rosulullah SAW menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda dan bertikai di bahwa naungan Al-Quran. Kaum Al-Ansor dan Muhajirin bersatu pada membangun kota Madinah menjadi lebih baik, aman, nyaman, bagi setiap orang yang bermukim di dalamnya. Nabi SAW bersikap adil dan menjunjung nilai-nilai keadilan dan kebersamaan, menghargai hak-hak asasi manusia,
Masyarakat yang beringas berubah menjadi teratur, karena Nabi SAW menjadi panutan (uswatun hasanah). Kedalama spiritual Nabi SAW membuat masyarakat patuh dan tunduk di bawah hukum Islam. Tidak satupun dari warga, baik dari kelompok Ansor maupun Muhajirin, melakukan kesalahan (pelanggaran hukum), seperti; zina, mencuri, kecuali mengakuinya. Kemudian mendatangi Rosulullah SAW untuk mendapat hukuman yang setimpal.
Tidaklah berlebihan jika masyarakat Madinah waktu itu dinamakan dengan ‘’masyarakat madani’’. Salah satu ciri khas masyarakat madani, yaitu taat dan sadar hukum, kebersamaan, kemakmuran ekonomi, demokrastis, cerdas dan kritis. Semua itu tidak lepas dari gaya kepmimpinan Rosulullah SAW dan masyarakatnya yang begitu ramah dan santun, menjunjung tinggi nilai-nilah ajaran islam.
Indonesia bisa menjadi Masyarakat Madani, jika masyarakatnya sadar hukum dan para pemimpin, baik yang duduk di eksekutif maupun legistalif bisa menjadi panutan, sebagaimana Rosulullah SAW. Selama praktek premanisme masih berjalan, baik ditingkat elit maupun di tingkat alit, maka membangun masyarakat madani seperti mimpi di atas mimpi. Dalam istilah orang arab ‘’laita al-Sababa yaudu yauman’’ yang artinya semoga waktu mudaku kembali lagi. Itu tidak akan mungkin terjadi.
Istilah masyarakat madani berawal dari pendapat Datuk Sri Anwar Ibrahim, dalam ceramahnya di symposium nasional pada festival Iqtibal tanggal 26 september 1995 (raharjo, 1999:8).
Adapaun terminologi masyarakat madani tersebut awalnya merupakan terjemahan dari sebuah istilah Arab mujitama’ madani yang ditawarkan Prof. syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban islam dari institute for Islamic thought and civilization (ISTAC) Malaysia, sebagai padanan kata civility atau civilization dalam bahasa inggris. Jadi, istilah masyarakat madani identik dengan civisociety, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Ketika Nabi SAW wafat, Rosululullah SAW tidak memberikan atau mewasiatkan kepada sahabat agar supaya menjadikan anak atau kerabatnya sebagai pengantinya. Secara demokratis, para sahabat bermusyawarah untuk menentukan siapa yang layak menjadi penganti Rosulullah SAW. Setelah melalui perdepatan yang panjang, ahirnya Abu Bakar ditunjuk mengantikan Rosulullah SAW. Ketika semua sepakat memilih Abu Bakar, bukanya Abu Bakar sujud syukur, tetapi Abu Bakar langsung berpidato di hadapan sahabat-sahabat:’’
Pidato Abu Bakar:’’sesungguhnya aku telah menjadi pemimpin kalian, tetapi bukan berarti aku lebih baik dari kalian semua. Jika kalian melihatku dalam kebaikan (kebenaran), maka ikutilah aku, jika ternyata kalian melihatku melakukan kesalahan, jangan segan-segan mengingatkanku’’
Dari pidato beliau mencerminkan sosok yang santun, ramah, dan rendah hati. Beliau merasa keberatan menjadi Nabi SAW, tetapi karena ini amanah dari sahabat-sahabat, mau tidak mau beliau harus menjalankan sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pemilihan Abu Bakar sebagai penganti Nabi SAW sangat tepat, karena beliau sejak masa remaja selalu bersama Rosulullah SAW, sekaligus orang yang pertama kali membenarkan ke-Nabian Rasulullah SAW.
Pada masa kepemimpian Abu Bakar, tidak jauh dengan gaya kepemimpinan Rasulullah SAW, begitu juga pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun. Syistem Negara tidak lagi berbentuk teorokrasi melainkan “nomokrasi”, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk supremasi syari’at. Peran masyarakat menjadi lebih besar, dimana hal itu mengindikasikan mulai terbangunnya masyarakat madani. Mereka melakukan control terhadap pemerintah, dan rekrutmen kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas individual, bukan karena keturunan.
Tetapi, setelah masa al-khulafa’ al rasyidun, yang di ahiri dengan kepemimpian Husain Ibn Ali ra, situasi mulai berubah. Peran masyarakat mengalami penyusutan. Rekrutmen pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan rakyat (umat), melainkan atas dasar keturunan. Kholifah umawiyin, abbasiyah, usmaniyah, membangun kekuatan dan kekuasaan berdasarkan keturunan. Siapa yang berseberangan dengan pemerintah, tidak segan-segan mendapatkan ancaman, bahkan ada yang dibunuh secara keji.
Nabi SAW telah membangun Masyarakat Madani. Kemudian dilanjutkan oleh para sahabat (Khulafaur al-Rosyidin) yang benar-benar menjalankan ajaran Al-Quran denan benar, serta sesuai dengan kaindah-kaidah yang telah di rintis oleh Rasulullah SAW selama hidupnya.
Jadi, masyarakat madani sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW, dengan ciri khas pada reformasi dan transformasi pada individu yang berdimensi akidah, ibadah dan akhlak. Dalam praktinya, iman dan moralitaslah yang menjadi landasan dasar bagi piagam madinah. Prisip-prinsip dan nila-nilai tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi dan hukum pada masa Nabi SAW. Sebuah komonitas (Negara) akan menjadi masyarakat madani, jika masyarakat taat hukum dan para elitnya mampu menjadi contoh yang benar, sesuai dengan landangan ajaran Rasulullah SAW.
Abdul Azzim

No comments: