Bandung 1955 (3) Pemotongan Subsidi Provinsi, Konflik Padi, Kunjungan Helen Keller

1367578746642681683
Sebuah postcard Kota Bandung 1955
Memasuki pertangahan 1955 berbagai permasalahan ekonomi harus diatasi Pemerintah Jawa Barat dan juga kota Bandung. Kebetulan Bulan Ramadhan pada 1955 jatuh sesudah pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika. Namun justru pada bulan itu kalangan pegawai negeri cemas ketika pembayaran gaji bulan April untuk Propinsi Jawa Barat terlambat. Biasanya setiap tanggal 27 gaji dibayar,namun tidak terlaksana karena uang tidak diterima dari Kementerian Dalam negeri. Taksiran Pemerintah Propinsi Jawa Barat harus mempunyai uang Rp 18 juta untuk pembayaran gaji, namun uang di kas hanya Rp 2 juta (Pikiran Rakjat, 27 April 1955).
Pada awal Mei diketahui bahwa subsidi untuk kabupaten dan kota dipotong 10 persen. Di Jawa Barat jumlah yang dipotong Rp 41 juta untuk 19 kabupaten, sementara untuk 3 kota besar dan 1 kota kecil Rp 14 juta. Alasan pengurangan subsidi dikarenakan merosotnya nilai mata uang. Pengurangan subsidi itu tidak terlalu memukul kota Bandung dan kota besar lainnya , namun berarti bagi kabupaten-kabupaten dan kota kecil (Pikiran Rakjat, 2 Mei 1955).
Para buruh dan pegawai juga meminta tunjangan lebaran. Tajuk Rencana dalam Pikiran Rakjat, 3 Mei 1955 mengungkapkan bahwa pendudukan tentara Jepang sekalipun kejam namun meninggalkan satu kenangan yang baik. Pada masa pendudukan Jepang mulai diadakan tunjangan lebaran kepada buruh dan pegawai. Pada 1950-an tunjangan ini diperlukan oleh buruh dan pegawai kecil. Mereka menginginkan agar bersuka cita pada lebaran, memakai pakaian baru, rumah lebih bersih, hingga menerima tamu dan menyuguhkan makanan dan minuman yang agak istimewa.
Pada pertengahan Mei 1955 pemerintah mengakui keadaan genting keuangan negara. Salah satu usaha untuk memeprbaiki keadaan ini menambah pendapatan dengan mengadakan pajak tambahan (opsenten) atas cukai dari barang-barang seperti gasoline bensin dan segala sulingan minyak bumi didasarkan UU darurat No.5 Tahun 1955 (Pikiran Rakjat, 14 Mei 1955). Reaksi keras datang dari pengusaha otobis di Jawa Barat yang tergabung dalam Perserikatan Pengusaha Angkutan Bermotor Indonesia) yang mengancam mogok jika UU Darurat No. 5 Tahun 1955 itu dilaksanakan. Wisnoe Soewarno, Ketua PERBARIN Jawa Barat meminta perobahan tarif baru. Tentu saja ada dampaknya, terutama sesudah lebaran (Pikiran Rakjat 16 Mei 1955).
Pengusaha otobis sudah cukup menderita tanpa kenaikan harga bensin. Sejumlah otobis kerap dicegat dan dibakar oleh gerombolan bersenjata, terutama yang melalui jalur Tasikmalaya. Para pengusaha menuding alat keamanan seperti tidak berdaya. Memasuki Juni 1955 harga ban Goodyear masa itu juga naik dari Rp 907 menjadi Rp 1400. (Pikiran Rakjat, 13 Juni 1955).
Pada 1-2 Juni Dinas Jawatan dan Inspeksi PPK bagian Sekolah Rakyat seluruh Jawa Barat melangsungkan konferensi di kota Bandung guna membicarakan kekurangan anggaran belanja untuk Sekolah Rakyat-dampak lain dikurangi subsidi dari pemerintah pusat. Untuk Sekolah Rakyat, dinas membutuhkan biaya Rp 139.976.895 guna mendirikan ruangan-ruangan baru,bangku tambahan, meja,kursi, papan tulis hingga lemari (Pikiran Rakjat, 2 Juni 1955). Situasi semakin runyam setelah muncul laporan bahwa dari 21.000 murid Sekolah Rakyat di Kota dan Kabupaten Bandung yang mengikuti ujian, hanya 6200 murid yang lulus dan sekitar 14 ribu lagi tidak mendapat tempat di SMP (Pikiran Rakjat, 9 Juni 1955).
Kesulitan ekonomi ini semakin runyam karena terjadi kenaikkan harga barang. Selain kebutuhan bahan pokok, pembelian obat untuk rakyat kecil bakal dikorbankan (Pikiran Rakjat, 2 Mei 1955). Menurut iskandar Adinegara , Kepala Urusan Harga di Jawa Barat naiknya sejumlah barang terkait dengan barang import yang kurang sementara produksi dalam negeri tidakcukup dan pengawasan dari pemerintah juga kurang (PIkiran Rakjat, 10 Juni 1955).
Luar Kota: Kericuhan Pembagian Padi
Ketika pemerintah propinsi kalang-kabut menghadapi kesulitan pembiayaan dan gerombolan bersenjata yang makin merajalela di kawasan Priangan Timur, pada awal Juni 1955 terjadi kericuhan penyerobotan padi di desa Cipangeran, Cimahi tak jauh dari kota Bandung. Menurut surat kabar sekitar 1000 orang berpakaian campuran merampas padi yang baru dipanen. Mereka dituding sebagai orang yang disewa tuan tanah. Menurut berita lain tuan tanah menyewa 15 hingga 20 orang dari luar daerah. Kejadian ini berpangkal pada pembagian padi antara pemilik sawah dan petani penggarap. Kericuhan juga terjadi di Ujung Berung dan Bojong Loa.
Namun yang membuat kejadian ini memberikan implikasi politik ialah terlibatnya Barisan Tani Indonesia (BTI) organisasi onderbouw dari Partai Komunis Indonesia. Para penyerobot datang dari pihak tuan tanah yang gusar terhadap program perjuangan BTI yang dianggap tidak memuaskan pihak tuan tanah dalam pembagian padi. Masalahnyadi pihak tuan tanah juga punya afliasi politik beragam mulai dari Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI) hingga Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Pihak BTI sebagai konsekuensi perjuangan mereka membentuk apa yang mereka sebut sebagai Aksi Pembela Tani dari pusat hingga ranting-rantingnya. Program mereka antara lain penurunan setoran padi yang dirundingkan tuan tanah. Ada yang berhasil dengan baik, namun ada tuan tanah yang tidak mau berunding. Pihak tuan ingin agar pembagian berdasarkan adat yang disebut maro 50% untuk penggarap dan 50% hasil padi untuk tuan tanah. Biaya untuk bibit dibagi dua antara penggarap dan pemilik sawah dan pajak ditanggung oleh pemilik sawah.
Sementara BTI menginginkan pembagiannya tidak seperti itu. Untuk sawah kelas I dan kelas II, hasil panen dibagi 60% untuk penggarap dan tuan tanah hanya 40%. Sementara sawah kelas III dan kelas IV hasil panennya 70% untuk penggarap dan 30% untuk tuan tanah. Pajak dan bibit ditanggung oleh pihak tuan tanah. Menurut BTI yang disebut tuan tanah adalah orang yang memiliki tanah, tetapi tidak mengusahakan tanah itu. Jadi wajar kalau tuan tanah hanya mendapatkan pembagian padi lebih kecil.
Kepala Polisi Keresidenan Priangan bagian Reserse Komisaris R. Hasan Michbul , kalangan DPRDS Kabupaten bandung ikut merundingkan. IPKI juga dilaporkan menolak tudingan keterlibatan dalam konflik ini, namun mengakui bahwa di pihak tuan ada yang berprofesi sebagai pegawai dan guru, namun anggota biasa dalam IPKI. Tuan tanah menyewa orang untuk mengambil padi agar sesuai dengan pembagian 50%-50%.
Di Ujung Berung dan Bojong Loa, pihak Kabupaten Bandung menekankan bahwa putusan sementara masih diatur menurut adat atau pembagian 50%-50% ( mengenai kericuhan pembagian padi lihat Pikiran Rakjat, 6, 10, 13 Juni 1955). Untuk selanjutnya perundingan antara BTI dengan pihak tuan tanah disaksikan perwakilan DPRDS Kabupaten Bandung membentuk panitya penyelesaian dengan lurah merangkap anggota, dua perwakilan penggarap dan dua wakil pemilik sawah.
Kericuhan padi di Kabupaten Bandung ini menghangatkan suhu politik menjelang Pemilu September 1955. Sekaligus juga mencerminkan polarisasi politik di Indonesia umumnya dan Jawa Barat khususnya pasca Pemilu 1955 kelak.
Isu Ekonomi dalam Kota: Tekstil dan Telefon
Kehidupan ekonomi di dalam kota Bandung pada Mei hingga Juni 1955 relatif lebih stabil. Dalam menghadapi lebaran tekstil untuk rakyat Bandung memasuki pasar kota pada pertengahan Mei. Kain yang masuk antara lain kain Cita Kasar dan Dril. Menurut keterangan grosier NV UMI, pihaknya sudah menyetorkan uang sejumlah Rp 6.135.695 untuk mendapatkan tekstil sekitar 610 ribu yard. Namun yang baru masuk pada pertengahan Mei sekitar 300 ribu yard. Seluruh Priangan pada waktu itu membutuhkan 900 ribu yard tekstil (Pikiran Rakjat, 14 Mei 1955).
Di dalam kota Bandung, para pemilik telefon dihadapkan dengan masalah rencana kenaikan biaya telekomunikasi. Tarif telefon yang lazim disebut Tarif- Flat yang berlaku di Bandung Rp120 untuk semua sambungan perusahaan dan Rp 60 untuk sambungan keperumahan. Biaya ini direncanakan naik. Selama kesibukan Konferensi Asia-Afrika pihak PTT dengan menyesal mengambil tindakan untuk memblokir semua sambungan rumah dan membatasi jumlah atau lama percakapan (Pikiran Rakjat, 2 Juni 1955).1
Kesulitan ekonomi yang dihadapi Pemerintah Jawa Barat tidak membuat gaya hidup sebagian warga kota berubah. Pada Sabtu 4 dan Minggu 5 Juni 1955 di Lapangan Tegallega diadakan lomba pacuan kuda besar dengan kuda Derby Indonesia. Biayanya saja untuk kartu anggota PWS Rp 50. Pada Akhir 1955 diadakan lomba balapan burung pos dari Serang ke Bandung sejauh 180,5 Km. Warga kota tetap menjadi pecandu bioskop.
Bahkan warga Bandung gemar pada film-film terbaru. Mereka tak jarang ikut antrian dan berdesak-desakan. Yang paling menghebohkan ialah yang terjadi pada Sabtu malam 6 Mei 1955 diputar Romeo dan Juliet produksi 1954. Di gedung bioskop Texas terjadi dorong-mendorong karena berebut posisi paling depan mengakibatkan beberapa korban luka-luka. Pertunjukkan di bioskop Varia dan Texas kehabisan karcis (Pikiran Rakjat, 9 Mei 1955).
Kunjungan Helen Keller
Pada 9-10 Mei 1955, seorang tokoh dunia, seorang perempuan buta bernama Helen Keller (1880-1968) berkunjung ke Kota Bandung. Selain menjadi tamu bagi pemerintah kota Helen Keller mengunjungi lembaga rumah buta di Jalan Padjadjaran, Bandung dan juga mengadakan pertemuan dengan organisasi perempuan, serta pekerja sosial. Helen Keller datang bersama sekretarisnya Miss Thompson.
Dalam sebuah pidato singkat di Kantor Gubernuran yang dihadiri perwakilan organsisasi perempuan. Helen Keller membentangkan arti kehidupan yang dialami seorang buta. Pada hakekatnya seorang yang buta sama saja dengan orang lain hanya dia tidak bisa melihat. Untuk merehabilitasi orang buta ialah membentuk kepribadiannya.
Dia meminta agar setiap anak yang buta diserahkan orangtuanya kepada rumah buta agar bisa bergaul dengan teman-teman senasibnya. “Saya lebih suka memilih mempunyai pendengaran daripada melihat, karena dengan tidak mempunyai pendengaran saya tidak bisa maladeni telepon langsung yang ditujukan pada saya,” ucap Helen dalam sebuah pertemuan di Bandung (Pikiran Rakjat, 11 Mei 1955). Keesokan harinya Helen Keller meninggalkan Indonesia diantar oleh Menteri PPK Muhammad Yamin dan ketua Universitas Indonesia Prof. dr. Bahder Djohan (Pikiran Rakjat, 12 Mei 1955).

Irvan Sjafari
Catatan kaki
1. 1. Meskipun biaya masih permintaan telefon meningkat terus. Laporan Dinas Telekomunikasi Jawatan PTT Republik Indonesia keadaan 1954 terdapat sambungan telefon sebanyak 68.500 dibandingkan 64.000 pada akhir 1953. Sementara pada akhir 1941 jumlah sambungan telefon seluruh Indonesia hanya 55.000. Pada 1955 masih ada permintaan 30.000 sambungan telefon. Dari segi percakapan pada akhir 1953 setiap bulannya rata-rata 275 ribu percakapan (Pikiran Rakjat, 8 Januari 1955)

No comments: