Ki Hadjar Dewantara, Theosofi, Dan Motto Pendidikan Indonesia

ajar_dewantoro
ING Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Seorang siswi Sekolah Dasar (SD) mengamati kata-kata itu yang terpampang tegak di depan kantor Kementerian Pendidikan Nasional, Kuningan, Jakarta. Cukup lama ia memandang kalimat besar itu, semakin pusing pula kepala dibuatnya. Ketika otaknya hampir saja buntu, ia lalu menoleh kepaa guru yang berada di sampingnya.
“Bu guru tahu artinya?” ujar sang siswi polos.
Sang guru bagai disambar petir mendengar muridnya bertanya seperti itu. Ia bukan kaget karena anak sekecil itu sudah bertanya tentang filosofi pendidikan. Tapi ia kaget karena juga tidak tahu artinya meski telah 20 tahun menjadi guru.
“Ibu hanya tahu kalimat itu sudah dari sananya, nak. Ibu cuma tahunya begitu,” ucap sang guru excuse, kalau tidak mau disebut malu.
“Terus buat apa kalimat ini ditempelkan di sini bu, (Kantor Kemendiknas, red)?” kejar bocah itu sambil menepuk-nepuk papan besar itu.
Theosofi, Ki Hadjar Dewantara, dan Pendidkan Indonesia
Dialog di atas sejatinya hanyalah representasi bahwa mental pendidikan bangsa ini adalah mental formil. Siapa yang tahu jawaban bocah itu? Saya, anda, atau siapa? Mungkin kita akan sama posisinya dengan guru dan pegawai itu jika pertanyaan bocah tersebut mampir ke saya dan anda yang juga adalah seorang guru.
Kalimat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri adalah kalimat yang dilontarkan Ki Hajar Dewantara yang bermakna “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan”.
Ki Hadjar Dewantara sendiri adalah penganut theosofi. Seperti dikutip dari buku Bambang Dewantara, yang berjudul 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara, Ki Hadjar mengatakan bahwa semua agama di dunia sama karena mengajarkan asas kasih sayang kepada semua manusia dan mengajarkan kedudukan manusia yang terhormat di hadapan Tuhannya.
Pendiri Taman Siswa itu berkeyakinan bahwa sumber gerak evolusi seluruh alam semesta adalah kasih sayang ilahi. Inilah yang disebut dengan istilah kodrat alam yang diperhamba dan aspek yang dipertuhan dari setiap benda-benda. Konteks inilah yang sekarang kita kenal dengan faham musyrik modern, yakni pluralisme agama
Ia mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 di Yogyakarta yang sangat berkiblat ke Barat. Ketika menyinggung keberadaan Taman Siswa, Buya Hamka pernah menyatakan, “Taman Siswa adalah gearakan abangan, klenik, dan primbon jawa. Yang menjalankan ritual shalat Daim
Dalam kepercayaan kebatinan, shalat Daim tidak seperti shalat pada umumnya. Shalat Daim, adalah ‘shalat’ dalam perspektif kebatinan yakni menjalankan kebaikan terus menerus. Doa iftitah dalam shalat daim pun, terlihat janggal dan aneh.
“Aku berniat shalat daim untuk selama hidupku. Berdirinya adalah hidup. Rukuknya adalah mataku. I’tidalnya adalah kupingku, sujudnya adalah hidungku, bacaan ayatnya adalah mulutku. Duduk adalah tetapnya imanku, tahiyat adalah kuatnya tauhidku, salamnya adalah makrifatnya. Islamku adalah kiblatnya, kiblatnya adalah menghadap fikiranku”
Niels Mulders, dalam karyanya Mistisme Jawa seperti dikutip Artawijaya dalam bukunya “Gerakan Theosofi”, juga menyatakan bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang theosofi yang mengamalkan faham kebatinan. Ia lebih mementingkan “Hakikat” daripada “Syariat”.
Dalam kepercayaan Kejawen, tahap hakikat adalah perjumpaan dengan kebenaran. Orang yang mengamalkan hakikat tidak perlu lagi beribadah dengan berpatokan pada aturan syariat, tetapi menjalankan ibadah dengan perilaku kebaikan sepanjang hari.
Kata berperilaku baik disitu juga harus diberi tanda kutip. Berperilaku baik seperti apa? Tidak lain dalam konteks theosofi bahwa orang yang berperilaku baik tidak mesti beragama. Lebih baik jadi menjadi orang humanis, daripada relijius tapi jahat. Karena kebenaran yang tertinggi adalah kebenaran itu sendiri. Seperti sebuah harian cetak di Indonesia: Kebenaran tidak pernah memihak!
Pertanyaannya sebenarnya sederhana, kenapa kita yang katanya bermayoritas muslim, tidak memaki moto pendidikan yang jelas saja seperti: Iman, Ilmu dan Amal. Atau Tauhid, Ilmu, dan Jihad.
Islam mengajarkan makna yang jelas dan terukur. Karena itu, konsep menjadi orang baik dalam Islam tidak pernah dilepaskan dari sudut pandangan agama.
Kalau sudah begitu, hal ini lebih cocok dan dekat dengan ketakwaan daripada motto yang jelas-jelas didirikan oleh penganut theosofi dan kita sendiri tidak mengerti apa maknanya: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
“Apa pak Menteri juga tahu artinya?” Mungkin begitu kata bocah kecil tadi ketika sampai di kantor Mendiknas. (Pz)

No comments: