Menyikapi Masalah Khilafiah dalam Ibadah

MAYORITAS (jumhur) ulama sepakat bahwa Alquran dan sunnah Rasulullah telah mengatur semua persoalan. Karena itu bagi umat Islam, semua persoalan hidup dapat bahkan harus dikembalikan kepada dua ajaran suci ini. Menurut para ulama, ada masalah yang diatur secara relatif terperinci dan ada masalah yang diatur secara garis besar atau secara prinsipnya saja.

Walaupun ada yang mengatur secara relatif terperinci, banyak ulama yang berpendapat bahwa hampir semua ayat Alquran dan hadis Rasulullah sebelum diamalkan, harus dipahami dan ditafsirkan terlebih dahulu. Boleh dikatakan tidak ada ayat (tuntunan) Alquran dan sunnah Rasulullah yang dapat diamalkan tanpa dipahami dan ditafsirkan terlebih dulu.

Sebagai contoh, aturan mengenai cara mengerjakan shalat. Semua umat Islam yakin bahwa aturan mengenai shalat sudah diberikan Rasulullah secara relatif terperinci, paling kurang yang paling terperinci dibandingkan semua ibadat yang lain. Tuntunan dan pengajaran Nabi secara lisan mengenai cara mengerjakan shalat, begitu juga praktik Nabi mengenai shalat, cukup banyak kita temukan.

Beliau shalat lima kali sehari selama sepuluh tahun (masa Madinah) dihadapan para sahabat, sehingga dengan mudah dapat mereka tiru dan ikuti. Beliau menjawab semua pertanyaan sekiranya ada yang mengajukan, dan menegur serta membetulkan shalat yang dikerjakan secara keliru oleh para sahabat.

Karena itu, tidaklah aneh sekiranya ditemukan ratusan sampai seribuan hadis mengenai berbagai aspek tata cara shalat. Namun para ulama juga mengetahui dan mengakui adanya fakta bahwa hadis Nabi mengenai tata cara shalat tersebut tidak menjelaskan secara terang mana perbuatan yang wajib dikerjakan dan mana perbuatan sunat.

Dengan kata lain Nabi tidak secara terang menjelaskan mana yang menjadi rukun, mana yang menjadi syarat, mana yang dianggap wajib, mana yang sunat (mu’akkad, ab‘ad, dan hay’at), dan seterusnya. Memilih pekerjaan mana yang akan menjadi rukun dan mana yang menjadi syarat (di dalam shalat), atau memilih pekerjaan mana yang akan dianggap wajib dan pekerjaan mana yang akan dianggap sunat dan seterunya adalah pemahaman atau ijtihad para ulama.

 Wajar terjadi perbedaan

Karena harus dipahami dan ditafsirkan (diijtihadkan), maka wajar sekali sekiranya dalam beberapa hal terjadi perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid. Kemungkinan ini menjadi semakin terbuka apabila teks Alquran atau hadis Nabi memberi peluang untuk dipahami secara berbeda-beda.

Mujtahid yang satu menetapkannya sebagai rukun, mujtahid yang satu lagi menetapkannya sebagai syarat. Ulama yang satu menetapkannya sebagai wajib, ulama yang satu lagi menetapkannya sebagai sunat. Menurut para ulama hukum atau ketentuan mengenai suatu masalah yang ditetapkan oleh para ulama secara berbeda-beda karena berdalil kepada nash yang dapat dipahami secara berbeda, sepanjang dilakukan dengan metode yang memenuhi syarat, disebut masalah khilafiah.

Agar perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad (masalah khilafiah) ini tidak menyebabkan keragu-raguan, apalagi saling menyalahkan dan perpecahan di kalangan umat, maka para ulama menetapkan sebuah kaidah sebagai prinsip yaitu mura‘at al-khilaf. Secara bebas, prinsip ini dapat diterjemahkan dengan “bertenggang rasa dalam masalah khilafiah”. Maksudnya sekiranya ditemukan suatu masalah khilafiah, maka umat harus bertoleransi, menerima semua pendapat yang saling berbeda tersebut sebagai kebenaran yang boleh diamalkan, karena telah diijtihadkan secara memenuhi syarat.

Sebagai contoh, penulis kemukakan perbedaan pendapat tentang mengamalkan perintah membaca shalawat, berzikir, bertasbih, bertahmid dan bertahlil serta beberapa bacaan (ucapan) suci lainnya. Dalam Alquran ada perintah agar umat Islam bershalawat kepada Rasulullah (QS. Al-Ahzab: 56). Begitu juga banyak ayat Alquran yang menyuruh umat Islam berzikir (mengingat Allah). Kata zikir dan turunannya ditemukan lebih seratus kali di dalam Alquran.

Hadis tentang fadhilah (keutamaan) membaca ayat Alquran secara keseluruhan, serta ayat-ayat dan surat tertentu dalam Alquran ditemukan dalam banyak hadis sahih. Begitu juga hadis mengenai fadhilah (keutamaan) berbagai bacaan suci akan kita temukan dalam jumlah yang relatif sangat banyak di dalam kitab-kitab mengenai at-targhib wa at-tarhib (amalan yang sebaiknya dikerjakan karena besar pahalanya dan amalan yang sebaiknya ditinggalkan karena besar dosanya) atau fadhilah amal (keutamaan berbagai amalan).

Dalam beberapa hadis ditemukan penjelasan tentang waktu dan tempat membaca berbagai bacaan suci tersebut, seperti hadis yang menjelaskan bahwa Nabi menganjurkan untuk bertasbih, bertahmid dan bertakbir masing-masing sebanyak tiga puluh tiga kali setiap selesai shalat fardhu.

Membaca tahmid dan shalawat dianjurkan ketika memulai doa dan menutupnya, dan ketika memulai ceramah (khutbah) dan menutupnya. Membaca tahmid dan shalawat serta lafaz-lafaz zikir yang lain, dianjurkan juga dalam banyak tempat dan kesempatan yang lain, sehingga dapat dikatakan kita dianjurkan membaca tahmid dan shalawat serta zikir (kalimah thayyibah) sebanyak-banyaknya setiap ada kesempatan dan kelapangan.

Berdasarkan hadis ini muncul ijtihad, mengenai lafaz shalawat dan tahmid, mengenai cara membacanya, dan juga waktu serta keadaan sebagai alasan untuk membacanya. Sebagian umat Islam membacanya secara keras-keras, penuh semangat dan luapan emosi, sedang yang lain menganjurkan untuk membacanya secara lembut dan datar tanpa emosi, bahkan cukup di dalam hati. Sebagian yang lain memilih untuk membacanya dengan suara syahdu mengalun sehingga menimbulkan suasana murung, dan sebagainya.

Sebagian umat Islam membatasi tempat dan waktu pembacaannya hanya pada waktu dan tempat yang disebutkan di dalam hadis secara jelas. Mereka tidak memperluasnya ke keadaan yang lain. Sedang sebagian yang lain memperluasnya sedemikian rupa, sehingga semua kesempatan, seperti keadaan suka dan duka, kegiatan ibadah dan bukan ibadah, mereka gunakan untuk membaca shalawat.

Tidak boleh memaksa

Menurut penulis perbedaan mengenai pilihan cara membaca serta waktu dan tempatnya, dan begitu juga mengenai teks shalawat yang dibaca, apakah terbatas pada yang ma’tsur (berasal dari Rasulullah) atau diperluas kepada teks yang dikarang oleh para ulama, adalah masalah khilafiah yang harus kita terima keragamannya. Dalam masalah khilafiah seseorang tidak boleh memaksakan pilihannya kepada saudaranya yang lain.

Marilah kita saling menghormati dan menerima serta merawat keberagaman khilafiah yang ada. Berikan kesempatan kepada semuanya untuk mengamalkan pilihannya dan tidak boleh mengganggu, apalagi memaksakan kehendaknya. Hormati tradisi dan pilihan khilafiah yang sudah ada pada sesuatu tempat karena semuanya masih dalam lingkup mengamalkan dan mengikuti ajaran dan sunnah Rasulullah.

Wallahu a‘lam bish-shawab wa ilayhil marji‘ walma‘ab.

* Prof. Dr. Al Yasa’ Abubakar
, Guru Besar IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email: yasa.abubakar@gmail.com

No comments: