Asal Usul Nama Kampung Jebres
Sepenggal sejarah di langit Kademangan Jebres, tahun 1825.
Suasana di kraton Surakarta makin
memanas, Perang Jawa makin bergelora dan melebarkan pengaruh hingga
tlatah kraton Surakarta. Sinuhun Paku Buwono VI yang simpati dengan
perjuangan Pangeran Diponegoro berpikir keras agar dapat membantu
perjuangan tetapi beliau tidak mau dukungannya itu diketahui oleh pihak
Belanda.
Untuk itu beliau merubah fungsi menara hilal
di dataran tinggi Gunung Kendil menjadi menara pengintai Beteng
Vastenburg yang merupakan tangsi pasukan Kompeni Belanda.
Sebagai kelengkapan juga dibentuklah satuan
prajurit telik sandi (pasukan pengintai) yang berjumlah tujuh orang.
Sebagai senopati pasukan telik sandi itu adalah Taruna yang kemudian
mendapat anugerah nama menjadi Ki Joyo Mustopo dan wakilnya adalah Suryo
Padmo Negoro. Prajurit telik sandi ini merupakan pasukan berani mati
yang diberi nama pasukan Balkiyo.
Pasukan telik sandi yang bermarkas di menara
hilal Gunung Kendil, bertugas mengawasi kegiatan Belanda di Beteng
Vastenburg secara jarak jauh dengan menggunakan teropong Van Bosch.
Hasil pengintaian itu kemudian dilaporkan ke
markas penyusunan strategi perang pasukan Laskar Diponegoro di hutan
Krendo Wahono. Karena di hutan itu sering diadakan pertemuan antara
Sinuhun Paku Buwono VI yang menyamar menjadi Kiai Bangun Tapa dengan
Pangeran Diponegoro atau utusannya.
Sehingga tidak jarang Ki Joyo Mustopo harus
hilir mudik dengan mengendarai kuda antara Gunung Kendil, hutan Krendo
Wahono dan bahkan menempuh perjalanan ke Gua Selarong di Yogyakarta.
Berkat jasa para telik sandi ini pihak
Belanda sering mengalami kekalahan dalam berbagai pertempuran. Menyadari
akan hal itu, Belanda pun berusaha memperkuat pasukannya dengan
mendatangkan prajurit baik dari negeri Belanda maupun merekrutnya dari
penjuru nusantara.
Penambahan laskar itu merupakan ancaman besar
bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Maka tidak ada jalan lain bagi
laskar pejuang itu selain merekrut para pemuda bergabung dengan laskar
Pangeran Diponegoro untuk berjuang mengusir Kompeni Belanda.
Prajurit telik sandi di Gunung Kendil pun
tidak mau ketinggalan. Pada tanggal 23 September 1827; Ki Joyo Mustopo
menggelar pendadaran pemuda di sekitar Gunung Kendil. Para pemuda itu digladhi untuk menjadi pasukan pengintai yang tangguh.
Agar tidak menjadi pusat perhatian pihak
Belanda, kegiatan itu dikemas dalam acara makan bersama (kembul bujana)
dengan nasi kaul berupa nasi yang ditaruh pada sebuah encekan (anyaman dari bambu) sehingga nasi itu terkenal dengan sebutan sega encekan.
Di tengah-tengah berlangsungnya acara itu,
datanglah kabar bahwa akan rawuh tamu besar dari Sanggrahan untuk turut
bergabung. Sanggrahan adalah sebuah tempat persinggahan Sinuhun yang
berada di tepi sungai Bengawan, tempat itu merupakan tempat plesiran
Sinuhun dan sentana kraton Surakarta.
Mendengar kabar menggembirakan itu; Ki Joyo Mustopo segera mapag
(menyambut) sendiri tamu yang akan hadir itu. Dan benar, yang hadir
adalah Kiai Bangun Tapa atau Sinuhun Paku Buwono VI yang merupakan Raja
Surakarta Hadiningrat.
Selanjutnya tempat bertemunya Ki Demang Joyo Mustopo dengan Kiai Bangun Tapa itu kini terkenal dengan sebutan kampung Mapagan.
Sukses sudah Ki Joyo Mustopo merekrut para
pemuda di sekitar Gunung Kendil untuk menambah kekuatan laskar telik
sandi Balkiyo. Atas keberhasilan itu, Sinuhun Paku Buwono VI pun merasa
bangga.
Dan pada kesempatan itu, Sinuhun Paku Buwono
VI untuk mengelabuhi pihak Belanda mengukuhkan Ki Joyo Mustopo sebagai
Demang di wilayah tepi Sunga Bengawan hingga menjorok ke wilayah Sana
Sewu. Strategi itu dilakukan karena Belanda telah mengetahui bahwa
wilayah di tepi sungai Bengawan itu merupakan wilayah persembunyian para
telik sandi. Pihak Belanda menyebut wilayah itu lahan hutan atau land forest.
Bersamaan waktu, di sekitar tangsi Lemah
Abang ada sebuah pabrik pengolahan keju bernama Victory milik seorang
pengusaha Belanda bernama Tuan Victor J Pressen. Seorang tuan Belanda
yang cukup peduli dengan kaum pribumi.
Wilayah Kademangan Jebres merupakan lumbung pangan (pedaringan) dan peternakan (banyak terdapat kandang sapi).
Lidah Jawa terlalu sulit menyebut land varest ataupun J Pressen yang akhirnya hanya tersebut sepenggal kata; Lanfres ataupun J-pres. Maka lambat laun seiring bergulirnya waktu, wilayah tepi sungai Bengawan itu terkenal dengan sebutan Kampung Jebres.
Bahkan tempat yang awalnya berupa alas bebondotan (hutan belantara) itu akhirnya ramai dipadati penduduk.
Semangat juang, cinta tanah air dan keinginan
untuk sejajar dengan bangsa lain nampaknya perlu digelorakan kembali,
dimana kearifan lokal di Kelurahan Jebres tersebut diharapkan akan dapat
mengingatkan lagi nilai-nilai luhur dalam menegakkan negara bangsa yang
bernama Indonesai ini.
Dalam waktu dekat; Kelurahan Jebres dengan kekuatan 36 RW dimana masing-masing RW akan bahu-membahu, saiyeg saeka praya dalam menyiapkan sebuah event budaya-nya berupa; Kirab Budaya Jebres atau Jebres Performing Art.
Bukankah ini sebuah mobilisasi peneguhan
kembali kerukunan (gotong royong) ditengah masyarakat? Ketika ibu-ibu
dan anak-anak gadis umyeg menyiapkan konsumsi dan perlengkapan
pendukung, ketika bapak-bapak dan para pemuda bermandi keringat
menyiapkan tampilannya, bukankah ini keindahan sebuah kebersamaan?
Kemudian efeknyapun akan melebar; warga yang
awalnya tidak terlibat karena ketidaktahuan, saat mereka tahu tentu akan
dengan senang hati membantu juga. Belum lagi ketika seluruh kekuatan
(36 RW) itu tumplek bleg menyatu beriringan di jalan utama.
Selanjutnya; ketika ke-51 kelurahan di Kota Surakarta ini semua cancut gumregut
menggali potensi budayanya dan masing-masing telah membuat penjadwalan
yang tersetruktur, maka dalam tiap minggu di Solo akan tampil event
budaya warganya.
Berdampingan dengan event-event budaya yang kini telah melegenda seperti; Solo Batik Carnival, Solo International Performing Art, Mangkunegaran Performing Art, maupun Solo International Ethnic & Contemporary Music.
Imbasnya juga jelas; Kota Solo sebagai Kota
Budaya tentu telah menemukan jati diri yang sesungguhnya. Penguatan
karakter budaya Kota Surakarta dalam upaya mewujudkan Intangible Heritage akan mempercepat Solo sebagai Kota Industri Budaya.
Demikian sepenggal sejarah Babad Kademangan Jebres.
Gangga gangga catur gangga; Durga mendhak Kala sirna. Mugi rahayu ingkang samya pinanggih.
Nuwun, nuwun. Matur nuwun.
KUn P
KUn P
No comments:
Post a Comment