10 Tahun Tsunami Aceh, Berbagai Ibrah dan Keajaiban

allah-1
Citra Satelit NOAA-AS merekam gelombang tsunami yang menghantam Aceh,26 Desember 2004, membentuk huruf “Allah”.
Esok, 26 Desember 2014, merupakan peringatan 10 tahun Tragedi Tsunami Aceh yang memporak-porandakan banyak wilayah di ujung utara Sumatera dan sekitarnya. Dalam tragedi itu banyak tanda-tanda peringatan Allah swt yang kini seolah telah kita lupakan. Bangsa ini memorinya pendek. Sebab itu, serial tulisan “10 Tahun Tsunami Aceh” ini dikisahkan kembali, agar kita tetap mengingat Allah swt dalam setiap tarikan nafas, agar kita selalu sadar jika kematian itu sangat dekat kepada kita…
*
Kemaksiatan di Malam Sebelum Terjadinya Tragedi
Sepuluh tahun lalu, ada sesuatu yang aneh terjadi di Banda Aceh. Daerah Istimewa Aceh yang lekat dengan nilai-nilai Islam ini entah bagaimana mulai ikut-ikutan merayakan Natal, 25 Desember. Bukan itu saja, selain merayakan Natal, sejumlah oknum kepolisian setempat juga melangsungkan acara yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Apalagi hal itu dilakukan di dekat Makam Syah Kuala, salah seorang ulama yang sangat dihormati.
Syiah Kuala adalah mufti besar Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Sebelum jadi mufti, Syiah Kuala belajar agama secara mendalam di Madinah al-Almunawarah. Gurunya dalam ilmu tasawuf adalah Shafiyuddin Ahmad al-Dajaany al-Qusyasyi. Selain ahli tasawuf, Syiah Kuala juga dikenal sebagai ahli fikih. Dalam ilmu fikih ia mengarang kitab Majmu’ul Masaa-il (Kumpulan Masalah-masalah), yang berisi berbagai persoalan yang muncul di masyarakat Aceh pada masa itu. Ia juga mengarang buku Miratuth Thulaab (Cermin Muka bagi Para Penuntut Ilmu), serta kitab Al Mawaa’zh Al Badii’ah yang berisi tuntutan budi pekerja dan sopan santun keagamaan.
Bagi warga Aceh, nama Syiah Kuala memang memiliki tempat yang sangat istimewa. Syiah Kuala yang bernama asli Syeikh Aminuddin Abdurrauf bin Ali Al Fansyury As Sinkily, adalah ulama yang paling terkenal dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Aceh. Syiah Kuala merupakan ulama Aceh yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan kalimat “Rajulu yusaawi uluufa rijaali” (Seorang lelaki yang sama nilainya dengan beribu-ribu lelaki). Kebesaran Syiah Kuala tercermin dalam pepatah orang Aceh “Adat bak Peutu Mereuhum, syarak bak Syiah di Kuala”. Jika adat mengikut kekuasaan Sultan Iskandar Muda, maka syarak (kehidupan beragama) berada di bawah keputusan Tuan Syiah Kuala.
Ketika meninggal, Syiah Kuala di makamkan di sebuah desa yang terletak di pesisir pantai utara Aceh, hanya berjarak sekitar 200 meter dari garis pantai. Dalam perkembangannya, makam tersebut telah menjadi satu komplek makam keluarga kerajaan Aceh.
Kompleks makam terdiri dari dua bagian. Bagian pertama dan utama terletak di sebelah timur, merupakan tempat makam Syiah Kuala. Di kompleks berbentuk segi empat dan berukuran sekitar 5 x 7 meter persegi itu ada pilar-pilar beton yang menyangga atap. Makam Syiah Kuala sendiri berada di tengahnya, dikelilingi pagar besi berwarna biru. Sementara di pinggir makam terdapat lantai keramik warna merah marun. Sedang kompleks kedua berisi makam istri dan anggota keluarga Syiah Kuala. Di kejauhan, lebih dekat ke arah pantai, tampak berdiri Masjid al-Waqib yang diyakini warga sekitar didirikan oleh Syiah Kuala. Masjid tersebut terletak di kampung Deyah Raya, Kecamatan Syiah Kuala.
Sebelum terjadinya bencana, makam Syiah Kuala kerap dikunjungi para peziarah yang datang dari segala penjuru Aceh, bahkan peziarah dari Malaysia, Brunei, Burma, Pakistan, Thailand, dan sekitarnya. Bagi sebagian peziarah, misal yang datang dari Gayo, mereka meyakini berziarah ke makam Syiah Kuala dan shalat Idul Adha di kompleks makam itu sama nilainya dengan menunaikan Rukun Islam yang kelima yaitu ibadah haji. entah apa dalilnya.
Pada tanggal 25 Desember 2004, sebuah tenda besar dipasang di dekat pos polisi yang berdekatan lokasinya dengan komplek pemakaman. Kursi-kursi pun dideretkan. Pesta Natal dan menyambut tahun baru diselenggarakan. Organ tunggal beserta penyanyinya dipanggil. Hingga jauh malam, pesta berlangsung meriah.
“Jika pada hari biasa yang berjaga di situ paling ada tujuh orang polisi, namun pada hari Sabtu (25/12/04), petugas yang ada di situ amat banyak,” ujar Abdul Syukur (bukan nama sebenarnya), warga sekitar makam yang selamat.
Menurut Abdul Syukur yang diamini warga sekitar, para petugas kepolisian itu mabuk-mabukkan dan berjoget. Suara hingar-bingar ditingkahi suara tertawa genit perempuan nakal terdengar hingga ke rumah-rumah penduduk. Semua dilakukan tanpa mengindahkan kesakralan makam ulama besar Syiah Kuala.
Seorang guru ngaji (al-Walid) yang biasa bermalam di komplek makam merasa terketuk nuraninya untuk mengingatkan aparat kepolisian itu agar tidak melakukan hal-hal seperti itu di dekat makam seorang ulama.
Setelah menguatkan hati dan mengucap Basmallah, orangtua berjubah putih itu menghampiri orang-orang yang tengah berpesta. Tutur katanya yang begitu sopan dan lembut tidak dihiraukan. Orangtua itu malah dihardik dengan kasar dan ditodong senjata api laras panjang.
Dengan hati hancur al-Walid berbalik menuju makam Syiah Kuala. Di depan makam, al-Walid berdoa sembari mengucurkan airmata. Hatinya hancur. Ia tidak punya daya upaya dan kekuatan untuk menghentikan pesta maksiat itu. Dengan penuh perasaan, orangtua itu bahkan sempat mengumandangkan adzan tiga kali di depan makam. Suaranya kalah keras dengan dentuman musik dangdut yang mengiringi pesta maksiat itu.
Setelah adzan, orangtua itu pergi meninggalkan makam. Al-Walid terus berjalan menjauhi makam dan hilang ditelan kegelapan malam.
Pesta terus berlangsung tak kenal tempat dan waktu. Menurut beberapa warga sekitar makam, dalam pesta itu beberapa orang terlihat melepaskan pakaiannya.
Adzan Subuh yang bergema dari Masjid al-Waqib tak mampu menghentikan pesta yang masih meriah. Saat matahari terbit di ufuk timur menerangi bumi Serambi Mekkah, pesta masih terus berlangsung.
Tak lama kemudian tiba-tiba tanah berguncang hebat dalam hitungan beberapa menit. Gempa besar telah terjadi. Orang-orang yang berpesta keluar dari tenda. Ada yang menjerit, ada yang tertawa-tawa, ada pula yang masih asyik berjoget sendiri. Para penduduk sekitar juga berhamburan keluar rumah memenuhi jalan.
Setelah gempa berhenti, tak berapa lama kemudian laut menyurut sampai jauh. Pantai bertambah luas, ikan-ikan sebesar paha orang dewasa mengelepar di atas pasir. Orang-orang yang masih berpesta itu memandang pantai dengan raut muka kebingungan.
Keadaan itu juga tidak berlangsung lama. Tiba-tiba dari arah garis pantai yang jauh masuk ke dalam laut, muncul tembok hitam setinggi tiga kali pohon kelapa. Tembok hitam berhawa panas itu berjalan sangat cepat ke arah daratan. Menyapu dan menggulung semua yang ada dihadapannya. Pesta maksiat itu pun seketika berhenti. Lumat dalam jilatan tsunami.
Jika Fir’aun sempat memohon ampun setelah digulung ombak, maka orang-orang ini tidak punya kesempatan. Mereka mati dalam kesia-siaan. Orang-orang kampung yang tak bersalah ikut terkena bencana.
Setelah air reda, yang tampak sejauh pandangan mata hanya genangan air dan puing-puing rumah, batu, serta pepohonan yang menjadi satu dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Komplek pemakaman Syiah Kuala rusak. Kompleks utama makam itu benar-benar hancur. Dua batu nisannya hilang. Pusaranya terangkat. Pagar besinya roboh, sebagian malah terjerembap ke dalam tanah.
Di bagian tengah bekas pusara muncul sebuah lubang, seperti liang lahat. Tiang-tiang beton yang jadi penyangga tudung bertumbangan dan terseret gelombang hingga beberapa meter ke arah barat menjauh pantai.
Menurut cerita warga sekitar yang selamat, saat terjadi tsunami, dari tengah kuburan Syiah Kuala memancar air hitam yang sangat deras ke arah orang-orang yang tengah berpesta. “Jadi orang-orang itu tidak saja dilumat oleh laut, tapi juga dari air hitam yang keluar dari makam ini,” ujar seorang warga. Wallahu’alam.
Seluruh kompleks pemakaman rusak. Di kejauhan hanya tampak Masjid al-Waqib yang masih kokoh berdiri. Ia menjadi saksi bisu dahsyatnya kekuatan alam yang memporakporandakan seluruh Deyah Raya. Masjdi itu kini dikelilingi air laut. “Jika sedang pasang, jalan satu-satunya menuju masjid dipenuhi air laut sampai sepinggang orang dewasa,” ujar Khairuddin, 36, warga setempat.
Rusaknya makam Syiah Kuala dan utuhnya Masjid al-Waqib yang dibangunnya, padahal jaraknya lebih dekat ke pantai, bagi orang Aceh mempunyai makna tersendiri.
Seorang Pengasuh Dayah (Pesantren) di Ulee Titi, Teungku Atta’ilah, menyatakan bahwa hal ini merupakan peringatan dari Allah buat kita semua. “Bila sekarang kompleks makam itu roboh, maka harusnya dapat menjadi bahan renungan. Selama ini memang ada sedikit `anomali’ ketika orang berziarah ke makam tersebut,” ujarnya.
“Lihatlah apa maksud orang berziarah ke sana? Mereka meminta kepada siapa? Itu kan pencemaran terhadap nama besar Syiah Kuala. Syiah Kuala tidak pernah mengajarkan orang meminta kepada kuburan. Manusia itu hanya boleh meminta pada Allah. Apalagi kalau kita lihat tingkah laku pengunjung perempuannya. Mereka tidak perduli dengan adab berpakaian, auratnya tidak ditutup rapat,” tegas Atta’illah.
Seorang tokoh masyarakat Dusun Lambaro, Syaifuddin, mengatakan ikut rusaknya kompleks makam Syiah Kuala hendaknya dapat menjadi pelajaran bahwa betapa jauhnya kepedulian warga Aceh terhadap ajaran agamanya. Di kompleks itu, misalnya, memang sudah berubah jadi tempat wisata.
“Allah telah memperlihatkan kepada kita semua. Makam Syiah Kuala yang selama ini sering disalahgunakan, sebagai tempat memohon sesuatu, telah hancur. Sedangkan Masjid al-Waqib yang juga didirikan oleh Syiah Kuala dan masih sesuai dengan fungsinya sebagai tempat ibadah, masih utuh berdiri. Ini tanda dari Allah yang demikian jelas,” tegas Muhammad Ichsan, 46, warga Krueng Raya yang dua pekan setelah musibah baru sempat berkunjung ke Syiah Kuala.
Serial tulisan tentang 10 Tahun Tragedi Tsunami yang mendera Aceh sengaja dituliskan kembali agar bangsa ini yang terkenal memiliki memori pendek, tidak pernah lupa dengan teguran Allah swt, bisa kembali mengingat tanda-tanda kebesaran Allah swt, dan mengambil ibrahnya.
***
Gelombang Menyurut di Masjid Raya
Penulis berada di gerbang Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, sebagai relawan  beberapa hari setelah terjadinya tragedi Tsunami.
Penulis berada di gerbang Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, sebagai relawan beberapa hari setelah terjadinya tragedi Tsunami.
Jika Jakarta punya Monas, Yogyakarta punya keraton, Bukittinggi punya jam gadang, maka Banda Aceh punya Masjid Raya Baiturrahman. Rumah yang Maha Penyayang.
Jauh sebelum gempa dan tsunami terjadi, tiap hari Masjid Raya selalu dikunjungi wisatawan. Baik wisatawan asing maupun lokal. Bahkan seringkali, masjid ini menjadi tempat persinggahan orang-orang Aceh sendiri yang tengah melakukan perjalanan. Lokasi masjid ini memang sangat strategis, terletak di pusat kota. Jika kita menghadap kiblat, maka sebelah kanan, kiri, dan belakangnya adalah Pasar Aceh. Di depannya berdiri pula ruko-ruko dan warung makan. Hotel Kuala Tripa yang termegah di Aceh kala itu hanya berjarak seratusan meter dari pintu gerbang sebelah selatannya.
Ahad pagi, 26 Desember 2004. Seperti hari Ahad sebelumnya, setelah menunaikan sholat subuh, Muhammad Abdullah (nama samaran) sudah berada di Masjid Raya untuk siaran. Penyiar Radio Gema Baiturrahman, stasiun radio swasta yang mengambil salah satu ruangan di masjid raya sebagai kantor itu, sejak subuh telah pergi meninggalkan isteri tercinta dan seorang anaknya yang masih kecil di rumah. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa itulah kali pertemuan terakhirnya dengan orang-orang yang sangat dicintainya itu.
Baru beberapa saat selesai siaran, bumi tempatnya berpijak bergoyang. Awalnya sedikit, tapi lama-kelamaan besar dan lama. Dengan sigap Abdullah, demikian ia biasa disapa, mengambil sepeda motornya dan melarikan ke rumah yang tidak sampai satu jam perjalanan. Setibanya di jalan raya, orang-orang sudah banyak berlarian menjauhi garis pantai. Abdullah berusaha menghindari orang-orang yang berlarian ke arahnya.
“Air! Air laut naik! Air laut naik!,” teriak orang-orang yang berlarian itu. Jalanan bertambah penuh dengan orang, berlarian ke pusat kota. Abdullah tidak sanggup lagi untuk melawan arus. Ia akhirnya terbawa arus, menjauhi rumahnya. Hatinya luar biasa cemas, ia tidak tahu bagaimana nasib isteri dan anaknya di rumah.
Orang-orang banyak yang berlari menyelamatkan diri ke dalam Masjid Raya. Sejumlah orang naik hingga atap masjid. Tak berapa lama gelombang besar, mirip dinding tinggi berwarna hitam pekat terlihat melabrak daerah Lampaseh, belakang Pasar Aceh. Di atas gelombang besar itu rumah, mobil, dan puing-puing terlihat terangkat ke atas.
Orang-orang yang berada di sekitar masjid segera mengumandangkan adzan dan takbir. Udara dipenuhi suara gemuruh air dan suara takbir.
Aneh bin ajaib, saat mendekati pagar bagian belakang masjid, gelombang tinggi itu tiba-tiba melandai dan berkurang derasnya. “Air yang tadinya tinggi dan sangat deras, saat mendekati Masjid Raya berubah seketika menjadi landai. Hanya pagar pelataran masjid yang rusak. Air memang makin tinggi, tapi hanya masuk di dalam masjid sekitar 15 cm tingginya,” ujar Muhammad Ibrahim, 46, warga Lampaseh yang mengaku tidak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri.
“Bukan hanya saya, tapi orang-orang yang berkumpul di bagian belakang masjid juga melihat itu. Tadinya saya tidak percaya. Tapi setelah sekarang saya tahu ada banyak masjid yang selamat, utuh, dari terjangan tsunami, baru saya yakin. Hanya kekuasaan Allah yang bisa membuat itu,” tambahnya.
Setelah air surut, pelataran Masjid Raya yang tadinya bersih dan asri kini dipenuhi lumpur, puing-puing, dan mayat. Orang-orang yang selamat di dalam masjid segera mengevakuasi mayat-mayat ke dalam masjid.
“Ada seratusan jumlahnya, malam itu kami tidur di masjid bersama mayat-mayat. Walau gelap karena listrik padam, kami sama sekali tidak takut,” ujar Iswadi, salah seorang Khadim Masjid Raya yang saat kejadian tengah berada di Asrama Haji di Lampineun, Banda Aceh.
Sepuluh tahun telah berlalu, Muhammad Abdullah yang telah kehilangan isteri dan anaknya yang masih kecil sekarang telah menikah dan memiliki keluarga kembali. Semoga berbagahagia.
Rahmatullah, Salah Satu Masjid Ajaib
Selama ini pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, adalah kawasan wisata yang tiap masa liburan selalu padat dikunjungi wisatawan. Tiap akhir pekan, penduduk Banda Aceh dan kota-kota lain yang ada di sekitarnya, selalu berkunjung untuk menikmati birunya air laut dengan ombaknya yang tenang dan menghanyutkan perasaan.
Selain itu, kawasan Pantai Lampuuk juga menjadi tempat hunian sekitar 5.000-an orang dengan fasilitas pemukiman yang cukup lengkap, pantas dinikmati kelas menengah atas.

Masjid Al-Maghfiroh di Kahju, satu dari banyak masjid yang secara ajaib selamat dari terjangan tsunami. Padahal tank panser di markas Brimob Aceh saja terguling-guling dan sel-sel penjara tercerabut besi-besinya. [dok.pribadi]
Masjid Al-Maghfiroh di Kahju, satu dari banyak masjid yang secara ajaib selamat dari terjangan tsunami. Padahal tank panser di markas Brimob Aceh saja terguling-guling dan sel-sel penjara tercerabut besi-besinya. [dok.pribadi]
Pada hari Minggu pagi tepat sepuluh tahun silam, 26 Desember 2004, bencana itu datang begitu mendadak. Gempa keras menggoyang wilayah itu, sebagian besar penduduk keluar rumah menyelamatkan diri. Tiba-tiba setelah gempa, garis pantai menyurut jauh beberapa meter ke dalam laut. Ikan-ikan menggelepar di pantai. Itu anya terjadi sekian menit.
Tiba-tiba gelombang pasang dengan kekuatan dahsyat tiba-tiba menerkam, menggulung, dan melemparkan seluruh isi kawasan pantai hingga ratusan meter ke arah daratan. Kekuatannya teramat dahsyat, sehingga tak satu pun yang sanggup mencegahnya. Kecepatannya pun setara dengan kecepatan pesawat jet.
Pohon-pohon cemara berusia puluhan tahun yang berdiri kokoh di pinggir pantai, tercerabut dari akarnya hingga akhirnya tumbang dan terseret puluhan meter dari asalnya tumbuh. Pohon cemara yang mampu menahan terjangan gelombang pun, kulitnya yang keras dan tebal terlihat mengelupas. Ranting-rantingnya hingga ketinggian 10 meter patah dan meranggas. Tiang listrik dan telepon juga bertumbangan, melintang di atas badan jalan beraspal. Demikian pula kondisi badan jalan, berkilo-kilometer terkikis aspalnya hingga ketebalan 10 centimeter.
Jembatan-jembatan ambruk tak kuasa menahan dorongan kekuatan gelombang pasang. Menara-menara telekomunikasi juga bertumbangan. Sementara, rumah-rumah hancur luluh berantakan dan rata dengan tanah.
Bahkan, sebuah rumah permanen dua tingkat, terpotong begitu “rapi” persis di batas tingkat, sehingga bagian tingkat atasnya harus terlempar sejauh 100 meter dan teronggok di atas jalanan beraspal.
Kawasan pantai nan indah permai itu pun berubah menjadi daerah yang mencekam. Sejauh mata memandang, hanya hamparan pasir yang tandus, penuh horor dan kotor oleh puing-puing yang berserakan. Nyaris tak tersisa. Hanya ada sebuah masjid yang tetap berdiri kokoh. Itulah Masjid Rahmatullah.
Sebuah bangunan berkubah, bercat putih, tampak tegak menjulang. Meski di beberapa dinding tampak bolong dan beberapa bagiannya retak, masjid itu masih berdiri kokoh.
“Inilah rumah Allah, segala mukjizat bisa terjadi. Lihatlah di kiri-kanannya, semuanya hancur berantakan. Tapi, masjid ini masih kokoh berdiri,” kata seorang pria yang dengan mulut terus berdecak kagum memandang masjid yang diresmikan 12 September 1997 oleh Gubernur DI Aceh Prof. Syamsudin Mahmud itu.
Masjid Rahmatullah hanyalah salah satu dari sekian masjid yang tetap tegar dan berdiri kokoh, meski telah diterjang tsunami. Padahal, lokasi masjid amat dekat dengan bibir pantai. Konstruksi bangunannya pun tak jauh beda dengan bangunan lain. Lokasi Masjid Rahmatullah sendiri sekitar 500 meter dari bibir Pantai Lampuuk.
“Ini semua karena ada yang menjaga, yang di atas sana,” ujar seorang penduduk sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah kubah. “Ini semua adalah peringatan bagi manusia, agar selalu ingat kepada yang di atas,” lagi-lagi pria tadi mengingatkan.
Masjid ajaib tidak hanya Masjid Rahmatullah. Beberapa masjid di Aceh seperti Masjid Raya Teuku Cik Maharaja Ghurah di Peukan Bada, masjid al-Maghfiroh di Kampung Kahju-Krueng Raya, sebuah masjid di Ulee-Lheue, masjid dekat makam Syah Kuala, masjid di Ujung Karang, Meulaboh, dan beberapa masjid lain di sejumlah tempat, masih tampak berdiri. Padahal bangunan-bangunan lain di sisi kiri-kanannya ambruk berkeping-keping dan berserakan di tanah.
“Lihatlah masjid ini,” kata pria yang mengaku penduduk Lampuuk itu. “Siapakah yang bisa menduga jika ia mampu bertahan menghadapi dahsyatnya terjangan gelombang seperti itu? Ini hanyalah sebuah pesan kecil, tak ada tempat bagi kesombongan di dunia ini. Kita harus ingat kepada yang Kuasa, di atas sana.”
Sepuluh tahun lalu, hari kedua tragedi tsunami menerjang Aceh Darussalam. Ribuan orang besar dan kecil menemui ajal disapu ombak besar, airnya berwarna hitam dan panas menyengat kulit–yang oleh beberapa lembaga riset dan laboratorium forensik luar negeri yang kredibel, dari Jepang dan India namun tidak dieskpos ke umum–disebutkan mengandung limbah micro nuklir. Jutaan ratusan ribu warga Aceh dan sekitarnya tidur berdesakan di dalam Meunasah dan Masjid dalam kedinginan, kehampaan, kesakitan, dan keputus asaan. Hanya Allah swt harapan mereka.
***
Air Menghindari Makam Malikussaleh
Malikussaleh (1270-1297M) adalah Sultan sekaligus pendiri Kerajaan Islam Samudera Pasai. Dialah yang membawa Islam tidak saja di Aceh, melainkan juga ke Asia Tenggara. Malikussaleh terkenal sebagai raja yang berwibawa dan disegani rakyatnya. Bukan karena kediktatoran atau kekejamannya, melainkan karena sikap ketawadhuannya. Rakyat begitu mencintai Sultan sekaligus ulama, itulah Malikussaleh.

Bocah perempuan Aceh, kehilangan jilbab akibat tsunami. Dia mengambil secarik plastik yang masih menempel di warung, membasuhnya dengan air bersih, dan mengenakannya sebagai jilbab untuk menutup auratnya. [photo: Rizki Ridyasmara]
Bocah perempuan Aceh, kehilangan jilbab akibat tsunami. Dia mengambil secarik plastik yang masih menempel di warung, membasuhnya dengan air bersih, dan mengenakannya sebagai jilbab untuk menutup auratnya. [photo: Rizki Ridyasmara]
Makam Malikussaleh berada di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Lokasi makam itu sendiri hanya berjarak sekitar satu kilometer dari garis pantai. Di samping makam yang teramat sederhana itu, terdapat juga makam putranya, Malikuddhahir (1297-1326 M).
Saat tsunami menerjang desa itu, ratusan warganya menyelamatkan diri. Itulah yang dilakukan sekitar 50 warga Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, Minggu kelabu lalu.
“Kami tidak sempat lagi lari menjauh. Ketika mengetahui air laut naik ke daratan, saya baru selesai mandi. Saya lihat di luar, air sudah mendekati rumah kami,” ujar Ibrahim Yakob, 29, penduduk Desa Beuringen yang menyelamatkan diri di Makam Malikussaleh yang ada di desa tersebut. Ibrahim segera membawa kabur istri dan kedua anaknya. Tak ada waktu untuk kabur lebih jauh. Air sudah sedemikian dekat dan deras. Mereka segera masuk ke dalam Komplek Makam Malikussaleh. Berdesakan dengan puluhan warga lainnya.
Ayahnya, M Yakob Saleh, 62, yang telah 16 tahun menjadi juru kunci makam Malikussaleh, juga sudah berada di sana. Sementara ibunya, Marliah, 76, dan adik ayahnya, Ti Saliyah, 56, telah menyelamatkan diri jauh ke depan bersama rombongan warga lainnya.
Belakangan, kedua orang itu ditemukan meninggal dunia; bersama empat korban lain dari Desa Beuringen.
Ibrahim dan ayahnya, M Yakob, tidak dapat menjelaskan secara akal sehal mengapa air laut hanya masuk setinggi 15 sentimeter di komplek pemakaman Raja Samudera Pasai itu. Padahal di luar kami, air sudah setinggi dua meter. Rumah-rumah di sekitarnya sudah rubuh. Air berputar-putar di sekitar Kompleks Makam Malikussaleh, tutur M Yakob yang dibenarkan sejumlah warga lainnya.
“Kami melihat air begitu tinggi, bagai tembok hitam yang meluncur kencang, menabrak apa saja yang ada di depannya, melumatnya hingga hancur, rumah-rumah, bangunan, pepohonan, semua yang ada di sekitar kami hancur,” papar Ibrahim.
“Tapi ada sesuatu yang aneh. Saat air itu mendekati kompleks Makam Malikussaleh, tembok air itu pecah, membelah dan hanya berputar-putar di sekeliling kompleks makam. Jika di luar kompleks makam air sudah setinggi dua meter, di dalam sini hanya masuk setinggi 15 sentimeter. Ini aneh. Allahu Akbar. Semua warga yang menyelamatkan diri ke makam ini melihat kebesaran Allah,” lanjutnya.
Desa Beuringen yang dihuni 112 kepala keluarga, terletak tidak sampai dua kilometer dari bibir pantai. Kendati demikian, gelombang tsunami tidak setinggi di Banda Aceh atau Meulaboh meskipun di desa tersebut, puluhan rumah juga hancur disapu gelombang.
Kompleks Makam Malikussaleh selamat, namun seluruh bangunan yang berada lebih jauh dari gerais pantai tidak ada yang luput dari terjangan gelombang. Sementara makam itu sendiri seperti tak tersentuh air. Kebesaran Allah SWT lagi-lagi diperlihatkan. Janji Allah senantiasa benar. Ia akan selalu melindungi orang-orang shalih, ketika hidup dan juga mati. Hingga air bercampur lumpur yang bagaikan tembok dan meluncur deras pun enggan untuk menekati makamnya.
Makam Ratu Nashriyah Juga Selamat
Kondisi Makam Ratu Kerajaan Pasai Nahrisyah di pantai Aceh Utara di Nangroe Aceh Darussalam juga selamat dari amukan tsunami. Bagi warga sekitar, situs sejarah yang dilindungi negara ini menjadi kebanggaan.
Gelombang Tsunami yang menyapu sebagian besar wilayah Nanggroe Aceh Darussalam nyaris menghancurkan semua peninggalan sejarah. Di antara yang tersisa adalah Makam Ratu Kerajaan Pasai Nahrisyah di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudra, Aceh Utara, NAD. Ratu Nahrisyah adalah cucu dari Sultan Malikus Saleh, pendiri kerajaan Islam Samudra Pasai atau Pase.
Ratu Nashriyah, sama seperti Malikussaleh, adalah seorang ratu yang juga rendah hati dan disayang rakyatnya. Sebagai seorang ratu, Nashriyah tidak pernah bersikap sombong. Ia memandang semua manusia itu sama, sederajat, di hadapan Allah SWT. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya.
Padahal kompleks makam para raja dan ratu kerajaan Samudra Pasai ini berhadapan langsung dengan laut. Saat kejadian Tsunami, hanya bagian pagar kompleks makam yang rusak. Sedang bagian inti makam para raja dan ratu masih utuh. Padahal, sebagian besar rumah milik warga di sekitar situs kerajaan Islam tertua di nusantara ini hancur.
Bagi warga sekitar, situs sejarah yang dilindungi undang-undang ini menjadi kebanggaan. Peninggalan ini bukan saja menjadi bukti sejarah penyebaran Islam pertama di Indonesia. Tapi, juga menjadi monumen kejayaan Islam di Tanah Rencong.
Penulis sebagai relawan Tsunami Aceh di pasar belakang Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Penulis sebagai relawan Tsunami Aceh di pasar belakang Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Meunasah Papan Tetap Utuh
Daerah Krueng Raya yang berada di pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam biasa ramai. Sejumlah perkampungan yang berada di garis pantai itu selalu dipenuhi anak-anak yang turun bermain di bibir laut.
Di pesisir itu berdiri Meunasah An-Nur. Di hari-hari biasa, meunasah sederhana yang terbuat dari papan itu selalu ramai oleh suara anak-anak yang mengaji. Malam, hari, meunasah itu juga selalu dipakai untuk sholat tahajud.
Di hari Minggu pagi (26/12/04), bumi tiba-tiba bergoyang keras. Gempa. Warga Krueng Raya segera keluar dari rumah. Kepanikan berubah menjadi ketakjuban tatkala mereka melihat air laut surut demikian jauh ke dalam. Pesisir menjadi lebih luas. Ikan-ikan berukuran besar menggelepar. Beramai-ramai anak-anak dan orang dewasa berlari ke pantai, memunguti ikan-ikan yang menggelepar itu.
Walau demikian, Taufik bin Ahmad, Ustadz yang biasa mengajar di Meunasah An-Nur merasa ada sesuatu yang tidak baik segera terjadi. Instingnya segera bekerja. Ia berteriak-teriak agar orang-orang tidak berlari kea rah laut dan memunguti ikan.
“Jangan. Jangan ke pantai,” teriaknya. Teriakan itu kalah ramai dengan suara orang-orang yang berlarian ke pantai.
Taufik segera berlari pulang. Ia mengajak isteri dan anaknya untuk segera menjauhi pantai. Meski tak tahu apa yang bakal terjadi, perasaannya mengatakan ada yang tak wajar.
Tak berapa lama, ombak yang seperti tembok tingginya datang bergulung-gulung. Menggulung pantai, orang, dan rumah-rumah. Taufik pun terpisah dari anak dan istrinya. Istri Taufik dan anaknya telah masuk ke dalam meunasah.
“Saya yakin, Allah tidak akan berbuat apa-apa dengan meunasah ini. Saya yakin, Allah akan menyelamatkan meunasah dan orang-orang di dalamnya,” papar istri Taufik
Keyakinan itu terbukti. Meunasah itu tak apa-apa. Meunasah itu memang terbawa arus sampai beratus-ratus meter dari tempatnya berdiri semula, berikut orang-orang yang menyelamatkan diri di dalamnya.
Dari dalam meunasah, orang-orang yang ada di dalamnya merasakan hebatnya hantaman ombak tsunami dan pusaran air yang menggulung-gulung. Tapi berkat kekuasaan Allah, meunasah itu selamat. Begitu juga anak dan istri Taufik.
Beberapa jam setelah air surut, suami, istri, dan anak itu bertemu. Meunasah sederhana yang terbuat dari papan itu utuh, walau telah diseret ombak dan terhantam benda-benda keras lainnya.
Beda sekali dengan tangki-tangki Pertamina yang berukuran besar yang juga berdiri di Krueng Raya. Tangki-tangki yang terbuat dari besi dengan bobot berton-ton itu telah hancur tak berbentuk.
Dpltd apungi tengah kota Banda Aceh, sampai sekarang terdapat satu buah kapal besar berbobot 2.600 ton dengan luas mencapai 1.900 meter persegi dan panjang 63 meter yang teronggok di tengah daratan. Ini merupakan salah satu bukti kedahsyatan tsunami yang menerjang Aceh. Kapal besar ini dulunya adalah Kapal PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) Apung di Desa Punge, Blancut, Banda Aceh. Sesuai namanya, kapal ini merupakan sumber tenaga listrik bagi wilayah Ulee Lheue – tempat kapal ini ditambatkan sebelum terjadinya tsunami. Inilah kisah kapal itu:
PLTD Apung PLN pun Enggan Menabrak Masjid
Pasca tsunami, warga kampung Punge Blangcut, Kecamatan Jayabaru, Banda Aceh takjub menyaksikan keberadaan sebuah ‘kapal raksasa’ mendarat di bekas reruntuhan kampung mereka. Kapal baja berbobot 200 ton itu teronggok begitu saja, melindas beberapa bangunan rumah milik warga.
Kapal raksasa seluas 1.600 meter persegi itu sesungguhnya adalah Kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung milik PLN yang semula ditambatkan di Pelabuhan Ulee-Lheue.
Diperkirakan, PTLD Apung itu telah terhempas sejauh empat kilometer dari lokasi awalnya. Ia terdampar begitu saja di atas puing-puing rumah penduduk setelah terseret derasnya ombak tsunami dan menghantam tiang listrik, menghancurkan rumah-rumah penduduk, serta menyeret sejumlah korban sebelum terhenti di kampung Punge Blangcut. Sekitar tujuh dari sebelas kru PTLD yang berada di dalamnya hilang. Seorang lagi selamat, setelah terapung pada sebuah papan.
“Siapa yang tak heran, kapal sebesar dan seberat ini bisa sampai di sini. Inilah bukti betapa dahsyatnya air bah itu,” ujar Musa, 39, warga Punge Blangcut, yang masih menyatakan keheranannya.
Seorang warga, Muhammad Nasir, 58, mengaku melihat dengan mata kepalanya sendiri saat gelombang besar yang datang bergulung-gulung itu menyeret PLTD apung. Saat terjadi gempa bumi, Nasir tengah berada di kedai kopi, tak jauh dari rumahnya. Selang beberapa saat, dia mendengar suara teriakan dari arah laut yang adanya air pasang. Benar saja, sebuah gelombang dahsyat tampak di kejauhan, bergulung-gulung ke arah kota. Maka, segeralah dia melarikan diri, menghindar dari kejaran gelombang. Sembari berlari, Nasir sesekali menengok ke arah gelombang. Hampir tak percaya, gelombang itu begitu besar dan dahsyat, melibas segala yang dilaluinya. Lebih dahsyat lagi, ia melihat sebuah PLTD apung raksasa yang terseret oleh gelombang.
“Kapal itu seperti terapung-apung saja mengikuti gelombang. Waktu sampai di kampung Punge Blangcut, gelombang telah mereda, sehingga laju kapal itu akhirnya berhenti setelah tersangkut bentangan kabel listrik. Begitu beratnya menahan beban, tiang listrik itu tak kuat dan akhirnya roboh. Namun, kabelnya tidak putus,” tutur Nasir.
Di tengah rasa duka mendalam yang menyelimuti warga Kampung Punge dan Kota Banda Aceh pada umumnya, mereka masih membincangkan soal kapal PLN itu. Menurut mereka, ada keanehan yang terjadi saat kapal itu terseret ke arah kota. Benda berat itu selalu berbelok arah, saat hampir menabrak masjid-masjid yang dilewatinya.
“Padahal kalau ditarik garis lurus dari Ulee-lheue di mana kapal raksasa itu dulunya ditambatkan ke Punge Blangcut, kapal itu seharusnya menabrak beberapa masjid, antara lain Masjid Babuljannah di Kampung Punge. Tapi herannya, beberapa puluh meter sebelum sampai masjid, kapal itu berbelok arah ke selatan, sehingga tak jadi menabrak masjid-masjid itu.” ujar seorang warga.
Gelombang Terbelah Selamatkan Dayah
Sebuah dayah atau pesantren yang terletak di Krueng Raya juga selamat. Dayah Darul Hijrah berdiri di tepi pantai. Dari bangunan sederhana itu, pemandangan ke tepi pantai demikian indah. Deburan ombak telah menjadi musik alam yang begitu merdu di telinga, mengiringi pengajian yang dilantunkan santri-santrinya.
Namun saat musibah gempa dan tsunami melanda, sebagian besar bangunan di sekitar dayah hancur berantakan. Namun alhamdulillah, dayah itu tetap berdiri dengan kokoh. Dayah Darul Hijrah masih tetap seperti semula. Dayah dengan enam bangunan yang terbuat dari rumah panggung papan itu bahkan tak bergeser sedikit pun. Puluhan santrinya pun selamat. Menurut beberapa saksi mata, saat gelombang tsunami menerpa daratan, jalannya begitu kencang. Namun ketika mendekati dayah, gelombang melemah dan terbelah. Dayah itu pun luput dari hantaman gelombang raksasa itu.
Selain Darul Hijrah, dayah lain yang juga diselamatkan Allah adalah Dayah Nasrul Muta’alimin, di kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. Dayah yang berdiri hanya beberapa ratus meter saja dari laut yang menjadi pusat tsunami itu selamat tak kurang suatu apa. Begitu juga para santrinya, tak seorang pun menjadi korban.
Saat tsunami datang, menurut beberapa saksi mata, di dalam pesantren seluruh santri dan guru berzikir tak putus dan memanjatkan doa tiada henti. Ada pula yang membaca al-Qur’an. Ketika gelombang air yang begitu kencang itu mendekati Dayah Nasrul Muta’alimin, gelombang pecah dan air hanya lewat dengan begitu tenang di bawah bangunan pesantren yang berbentuk rumah panggung.
Lalat pun Segan Menghinggapi Mayat
Menurut Ustadz Arifin Ilham, saat mengunjungi Aceh pasca musibah, dirinya tidak mencium bau buruk yang keluar dari mayat-mayat, melainkan mencium wewangian. “Mereka yang meninggal karena musibah ini termasuk dalam barisan para syuhada,” demikian Ustadz Arifin Ilham. Temuan Ustadz yang dikenal karena metode dzikir berjamaah itu dibenarkan oleh kenyataan di lapangan. Setelah dua pekan lebih musibah menghantam Aceh dan menyebabkan banyak warganya meninggal, belum ada warga yang selamat terjangkiti kolera.
Lalat-lalat yang lazim mengerubungi mayat pun tidak tampak. Padahal jika lalat mengerubungi mayat, hal ini akan mempercepat penyebaran virus atau bakteri yang sangat mungkin mengancam keselamatan mereka yang selamat.
Dokter Mastanto yang menjadi relawan dari Posko Keadilan Peduli Umat (PKPU) menyatakan keheranannya soal lalat-lalat ini. “Saya heran, benar-benar tidak ada lalat. Saya tak bisa membayangkan kalau lalat-lalat ada. Kolera pasti tak terbendung,” ujarnya. Sampai hari ke 40, tidak ada kabar penyakit menular yang diakibatkan virus dari mayat berjangkit di Aceh. Ini aneh.
Petunjuk Aneh
Hendra dan Heri sudah beberapa hari mencari temannya, Hendi (26) seorang wartawan terbitan Medan. Hendi tinggal di Kajhu, Aceh Besar, sebuah wilayah yang sangat parah dilanda gelombang tsunami.
Acehkita.com menuliskan, mereka mulai lakukan pencarian sejak pagi hari, sejak hari pertama. Hendra sendiri mengaku telah mengubek-ubek Desa Kajhu. Dia bertanya kepada setiap orang yang selamat kalau-kalau ada yang melihat temannya, Hendi. Namun tak seorang pun yang dapat memberi jawaban.
Semua orang yang ditemui Hendra terlihat sibuk dengan dirinya sendiri, sebab mereka juga mencari sanak keluarganya. Hampir setiap jenasah yang dilihat Hendra, dibalik, kalau-kalau itu adalah Hendi. Dia bahkan tak segan-segan membuka kain penutup jenasah di masjid dan di pinggir jalan.
“Setiap lokasi pengungsian pun kami datangi,” kata Hendra dan Heri. Pencarian bahkan dilakukan di rumah sakit, namun sejauh ini hasilnya masih nihil.
Suatu hari di pertengahan Januari, keduanya berencana mencari kembali ke Desa Kajhu, arah timur Kota Banda Aceh. Sekitar pukul 09.00 pagi, keduanya berangkat menggunakan mobil mengitari setiap ruas jalan. Timbunan sampah bekas tsunami masih menggunung, demikian pula dengan jenasah yang belum terevakuasi.
Singkat cerita, pencarian hari berlangsung hingga matahari tergelincir di ufuk barat. Tanah yang mereka pijak mulai terlihat remang. Dan keduanya memutuskan untuk kembali ke mobil dan melaju melewati rintangan balok kayu dan runtuhan rumah yang masih berserakan di jalan. Mobil dipacu Hendra perlahan.
Setelah 30 menit di jalan, dari kejauhan Hendra melihat seorang laki-laki berdiri di atas jembatan Krueng Cut, menyetop mobil mereka. Belum terlihat jelas wajah lelaki itu. Tapi saat mobil semakin dekat, samar-samar terlihat sosok Hendi, teman yang mereka cari-cari selama ini. Mobil dihentikan Hendra. Dia turun diikuti Heri. Keduanya melonjak girang melihat yang dicari sudah berdiri di depan mata.
Mereka bertanya kepada Hendi ke mana saja dia selama ini. Menurut Hendra, saat itu Hendi mengaku berada di sebuah lokasi pabrik pembuat batu bata. Persisnya di dekat pohon kelapa. “Namun ketika kami ajak malam itu dia menolak ikut,” katanya.
“Aku tunggu kalian di sana besok,” katanya menirukan Hendi.
Keesokan paginya, mereka pun mencari lokasi pabrik batu bata yang dikatakan Hendi. Hendra bahkan sempat bertanya kepada pos militer yang ada di kawasan itu, kalau saja mereka tahu di mana Hendi mengungsi. Namun aparat mengatakan, di kawasan itu tidak ada seorang pun yang selamat.
Hendra bergegas melintasi Desa Kajhu dan melihat sekeliling di mana letak pabrik batu bata. Tapi sia-sia, yang terlihat hanya sebuah hamparan bekas rumah yang sudah rata tinggal pondasi. Di sana-sini hanya ada hamparan puing-puing. Di kejauhan tampak Masjid al-Maghfiroh di tepi Jalan Krueng Cot yang kini berdiri sendirian di wilayah itu. Setelah sekian lama mencari, mereka lalu melihat sebatang pohon kelapa di tengah hamparan puing itu.
Kedua pemuda ini pun berjalan mendekat. Saat itulah mereka melihat bekas pabrik batu bata yang sudah runtuh diterjang tsunami. Di sana lah mereka celingukan mencari sahabatnya itu. Hendra mulai penasaran dan mengelilingi pabrik batu bata itu sambil menunggu Hendi datang.
Sekian lama menunggu, Hendi tak juga nampak. Mereka mulai gelisah saat mata mereka menatap sesosok jenasah tepat di bawah pohon kelapa. Keduanya mendekat, jenasah itu dibalik posisinya dan betapa terkejutnya mereka setelah melihat bahwa jasad itu adalah Hendi. Mereka pun lalu membalikkan sebuah jenasah yang berada di sisi Hendi dan ternyata mereka kenal sebagai adik Hendi.
Dengan wajah tegang, Hendra dibantu Heri mengangkat jenasah kakak beradik itu ke dalam mobil. Mereka kemudian kembali ke Banda Aceh dan mengurus jenasah tersebut bersama paman Hendi.


No comments: