Belajar dari Nabi Nuh

HUJAN deras yang melanda sejumlah wilayah awal November ini, telah menyebabkan banjir di sejumlah kabupaten/kota di Aceh. Air bah yang disebabkan guyuran hujan selama beberapa hari itu sempat merendam sejumlah kawasan di Banda Aceh, Aceh Besar dan hampir semua kawasan pesisir pantai Barat-Selatan Aceh. Sejumlah infrastruktur penting dilaporkan mengalami kerusakan berat. Bahkan ruas jalan utama Banda Aceh-Meulaboh, terutama di kawasan Gunong Paro dan Geurutee sempat putus karena longsor.

Kalau sejenak kita melihat ke belakang, maka banjir yang dilaporkan sempat pula menimbulan korban jiwa itu, tidak seberapa dibandingkan dengan banjir yang pernah melanda Aceh pada tahun 2000 atau 1953 silam. Beda jauh dibandingkan dengan tsunami 2004, yang menelan korban jiwa hampir 200 ribu penduduk Aceh. Terlebih lagi jika kita bandingkan dengan air bah yang pernah menenggelamkan hampir dua per tiga daratan di planet bumi ini pada masa Nabi Nuh as (sekitar 3993-3043 SM).

Meski kita tak pernah melihat dan mengalaminya, banjir pada masa Nabi Nuh as sebagaimana dipaparkan Allah Swt dalam Alquran, memang sering terngiang dan terbayang di benak kita manakala kita menghadapi peristiwa serupa. Tapi celakanya, sedikit sekali di antara kita yang coba mengambil pelajaran darinya. Sering, saat bencana itu datang, baik kemunculan yang memang sudah diperkirakan sebelumnya maupun datang tiba-tiba, kita malah panik sendiri.

Rasa panik dan sikap latah yang terkadang muncul di luar nalar dan kesadaran kita manakala berhadapan dengan bencana itu, bisa jadi disebabkan karena kita tidak akrab dan tidak mengetahui secara jelas ujung-pangkal ceritanya. Kisah tentang Nabi Nuh as, misalnya, tokoh sentral yang berhadapan langsung dengan banjir luar biasa sebagaimana kita singgung di atas tadi, banyak di antara kita yang mungkin sudah tak menggubrisnya. Padahal, banyak pelajaran penting yang bisa kita petik dan kita jadikan pedoman, manakala bencana serupa kembali menimpa kita. Banjir, seperti dialami oleh sebagian saudara-saudara kita di Aceh dalam beberapa hari terakhir ini.

Karena itulah untuk menyegarkan kembali nalar dan ingatan kita terhadap peristiwa yang dialami oleh Nabi Nuh as yang termasuk dalam satu Nabi ulul azmi itu -dengan menggunakan sejumlah referensi, keputuskaan, media online dan tulisan dari berapa blog para netizen- saya coba merangkum kembali cerita-cerita tersebut untuk kita semua.

Nabi Nuh (sekitar 3993-3043 SM) adalah seorang rasul yang riwayat hidup dan perjuangannya tidak hanya diceritakan dalam Alquran, tapi terdapat pula dalam kitab-kitab samawi yang diturunkan sebelumnya, seperti Taurat dan Alkitab (Injil). Nama Nabi Nuh as disebutkan sebanyak 43 kali dalam Alquran, di antaranya yang cukup lengkap diceritakan dalam Surah Hud dari ayat 27 hingga 51. Beliau diangkat menjadi Nabi sekitar tahun 3650 SM dan diperkirakan tinggal di wilayah Selatan Irak modern.

Nabi Nuh as adalah nabi ketiga sesudah Nabi Adam as, dan Nabi Idris as. Dari Ibnu Katsir diceritakan Nuh diutus untuk kaum Bani Rasib. Ia merupakan keturunan kesembilan dari Adam as. Ayahnya bernama Lamik (Lamaka) bin Metusyalih atau Mutawasylah (Matu Salij) bin Idris bin Yarid bin Mahlail bin Qainan bin Anusyi bin Syits bin Adam as. Antara Nabi Adam dan Nabi Nuh ada rentang 10 generasi dan selama periode kurang lebih 1.642 tahun.

Nabi Nuh as adalah Rasul pertama yang diutus Allah Swt ke bumi ini. Sedangkan Adam, dan Idris yang diutus sebelumnya hanyalah bertaraf Nabi saja, bukan sebagai Rasul, karena mereka tidak memiliki umat atau kaum. Nabi Nuh hidup selama 950 tahun. Ia mempunyai istri bernama Wafilah, sedangkan beberapa sumber mengatakan istri Nabi Nuh adalah Namaha binti Tzila atau Amzurah binti Barakil dan memiliki empat orang anak (semuanya laki-laki), yaitu Kan’an, Yafith, Syam dan Ham (Wikipedia.org)

Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Nuh mendoakan ketiga putranya. Nuh mendoakan keturunan Sam menjadi Nabi-nabi dan rasul. Nuh mendoakan keturunan Yafith untuk menjadi raja-raja, sedangkan dari keturunan Ham dia doakan agar menjadi abdi dari keturunan Yafith dan Sam. Sedangkan Ibnu Abbas menceritakan bahwa keturunan Sam menurunkan bangsa kulit putih, Yafith menurunkan bangsa berkulit merah dan coklat, Sedangkan ham menurunkan bagsa Kulit hitam dan sebagian kecil berkulit putih.

Dari keempat putra Nuh, hanya tiga orang yang selamat dari bencana banjir, karena taat serta mengikuti ajaran yang dibawa ayahnya. Adapun seorang anaknya lagi yang tertua, yaitu Kan’an, tewas tenggelam. Nuh merasa sedih karena anaknya tidak mau mengikuti ajarannya. Sedangkan menurut Hasan al-Bashri berpendapat bahwa Kan’an adalah anak tiri Nuh yaitu anak dari isterinya yang durhaka.

Ibnu Abbas menceritakan pula bahwa Nabi Nuh diutus pada kaumnya ketika berumur 480 tahun. Masa kenabiannya adalah 120 tahun dan berdakwah selama 5 abad. Dia mengarungi banjir ketika ia berumur 600 tahun, dan kemudian setelah banjir ia hidup selama 350 tahun.

Kaum Nabi Nuh as, dikenal bertemparemen keras, suka membatah dan pembangkang. Karena itu, dalam rentang waktu dakwahnya yang lama dan panjang itu, Nabi Nuh hanya mendapatkan sekitar 200 orang saja dari umatnya yang taat dan patuh kepadanya.

Kezaliman dan kemungkaran yang dilakukan kaum Nabi Nuh mengundang azab Allah. Allah Swt lalu memerintahkan Nabi Nuh dan pengikutnya untuk membuat bahtera. Mereka pun tidak mengetahui untuk apa bahtera itu dibuat. Sementara kaumnya yang ingkar, mencomooh tindakan Nabi Nuh membuat bahtera yang dianggap bodoh.

Saat waktu yang ditentukan tiba, Allah memerintahkan agar Nabi Nuh beserta pengikutnya dan hewan-hewan berpasang-pasangan untuk menaiki bahtera tersebut. Allah lalu mendatangkan banjir yang besar. Seluruh kaum yang ingkar saat itu mati tenggelam. Termasuk istri dan anak Nabi Nuh.

Allah Swt berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al- Ankabut: 14)

Nabi Nuh as bersama kaumnya yang taat pun selamat setelah berlayar menggunakan bahtera yang terbuat dari kayu. Setelah berlayar cukup lama, dikisahkan bahtera Nabi Nuh berlabuh di sebuah daratan tertinggi saat itu, sebagaimana firman Allah Swt: “Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku.” (QS Al-Qamar: 11-13)

Dalam riwayat disebutkan, air bah yang menenggelamkan kaum Nabi Nuh ketika itu menutupi juga hampir dua pertiga bumi. Nabi Nuh beserta dengan pengikutnya yang beriman berhasil selamat dari azab tersebut atas izin Allah Swt. Namun hingga kini, belum diketahui secara pasti dimana lokasi berlabuhnya bahtera yang membawa Nabi Nuh dan pengikutnya.

Banjir itu dikirim oleh Allah sebagai jawaban atas doa Nuh bahwa generasinya yang jahat harus dihancurkan, namun karena Nuh adalah yang benar, maka ia terus menyebarkan peringatan itu, dan 70 orang penyembah berhala bertobat, dan masuk ke dalam Bahtera bersamanya. Sehingga keseluruhan manusia yang ada di dalamnya adalah 78 orang (yaitu ke-70 orang ini ditambah 8 orang anggota keluarga Nuh sendiri).

Ke-70 orang ini tidak mempunyai keturunan, dan seluruh umat manusia setelah air bah adalah keturunan dari ketiga anak lelaki Nuh. Anak lelaki (atau cucu lelaki, menurut beberapa sumber) yang keempat yang bernama Kana’an termasuk para penyembah berhala, dan karenanya ikut tenggelam.

Baidawi memberikan ukuran Bahtera itu yaitu 300 hasta, (50 x 30 meter). Ia menjelaskan pada tingkat pertama dari tiga tingkat bahtera ini ditempatkan binatang-binatang liar dan yang sudah dijinakkan, tingkat kedua ditempatkan manusia, dan tingkat ketiga burung-burung. Nabi Nuh as berada di Bahtera selama 5-6 bulan dan meninggalkannya pada 10 Muharram. Ia bersama keluarga dan teman-temannya kemudian membangun sebuah kota di kaki Gunung Judi yang dinamai Thamanin.

Yaqut al-Hamawi (1179-1229) menyebutkan tentang sebuah masjid yang dibangun oleh Nuh yang dapat dilihat hingga masa hidupnya, dan Ibnu Batutah melewati pegunungan dalam perjalanannya pada abad ke-14. Orang muslim modern, walaupun tidak semuanya aktif dalam mencari Bahtera tersebut, percaya bahwa benda itu masih ada di lereng-lereng pegunungan. (dari berbagai sumber/asnawi kumar)

No comments: