Drama Pemberontakan ‘Dua Babak’ di Aceh

PEMBERONTAKAN di Aceh, baik Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM), selalu saja didorong oleh apa yang disebut sebagai pengkhianatan atau rasa “tidak tahu diri” Jakarta atas jasa-jasa Aceh terhadap Republik Indonesia. Bila DI/TII Aceh pimpinan Daud Beureueh didasari oleh ideologi Islam dalam bingkai nasionalisme keindonesiaan --seperti maksud awal bergabungnya Aceh ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)-- maka gerakan Hasan Tiro adalah sebuah pemberontakan yang meninggalkan sama sekali isu nasionalisme keindonesiaan, yang malah dianggap oleh Tiro sebagai sesuatu yang nisbi. Baginya yang ada adalah Jawa berikut dengan penjajahannya, dan dia lalu memasuki apa yang disebutnya sebagai nasionalisme keacehan.

Namun demikian, seberapa pun perbedaan ideologi yang mendasari, kedua pemberontakan itu selalu saja memiliki titik persinggungan, yaitu kesadaran tentang kejayaan Aceh di masa lampau. Apabila  Hasan Tiro kemudian saja menempatkan sejarah, bahkan dalam beberapa hal menjadikan dirinya dan trah Tiro sebagai pusat berjalannya sejarah Aceh, sebagai titik tolak mengapa harus berontak. Hal tersebut tidaklah terlalu mengherankan, sebab apa yang dikonstruksi olehnya, juga merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dikerjakan oleh kelompok intelegensia Aceh di awal abad XX, yang menempatkan sejarah sebagai spirit asasi untuk melakukan tafsir Aceh di zaman baru.

Perhatikan dua hal ini, yang disampaikan oleh dua wakil dari generasi awal itu, Daud Beureueh dan Ali Hasjmy dalam memberikan definisi mengenai tentang Aceh di zamannya. Beureueh mengatakan bahwa mereka memiliki cita-cita untuk mengembalikan Aceh kepada sejarah Iskandar Muda, yang oleh generasi itu dianggap sebagai contoh terbaik. Hasjmy pun demikian, bahkan dalam satu puisinya yang sangat nasionalis “Aku Serdadamu”, yang ditulis pada 7 Oktober 1945, dia mengukir satu bait yang menghubungkan kejayaan Aceh masa lampau dengan dengan indentitas baru bernama Indonesia: Bung Karno/ Patju kuda djihadmu/ Djangan mundur lagi/ Kami turunan Iskandar Muda/ Tetesan darah Ratu Safijah/ Anak tjutju mudjahid Tiro/ Kemanakan Umar pahlawan/ Telah siap bertempur/ Kami sedang menggempur.

 Proses perdamaian
Hanya di Aceh, acap kali terjadi pemberontakan selalu saja dapat diselesaikan dengan jalan damai. Akan tetapi yang menjadi perbedaan adalah proses perdamaian yang dibangun serta implikasi yang terjadi di masa berikutnya. Kasus DI/TII Aceh menunjukkan benar bahwa proses perdamaian memang awalnya hanya melibatkan para pejuang. Diawali dengan adanya Ikrar Lamteh antara orang Aceh yang terbelah (1957), kemudian dilanjutkan oleh Dewan Revolusi untuk merundingkan butir-butir perdamaian dengan pemerintah pusat (1959), dan terakhir ditutup dengan lahirnya Piagam Blang Padang dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (21 Desember 1962).

Jalan panjang ini kemudian memperlihatkan bahwa perundingan damai yang awalnya dipegang oleh elite pejuang DI/TII, kemudian diberikan kepada rakyat secara penuh melalui sebuah musyawarah besar yang melibatkan semua elemen. Ini tentu memberikan implikasi panjang sekali, karena mampu membentuk ingatan bersama bahwa pernah ada satu ada penyelesaian konflik bersenjata yang melibatkan seluruh orang Aceh, sehingga perdamaian menjadi milik bersama.

Hal tersebut tentu tidak kita dapati dalam penyelesaian konflik RI-GAM melalui MoU Helsinki 2005. Alih-alih untuk tidak mengulangi, apa yang diklaim oleh elite GAM sebagai ‘kegagalan Ikrar Lamteh’, MoU Helsinki kemudian menjelma menjadi narasi datar dengan pelakon tunggal kelompok GAM semata. Implikasinya kemudian adalah MoU Helsinki tidak mampu menjadi ingatan bersama, apalagi kepemilikan bersama, sehingga nantinya akan berimplikasi ke berbagai aspek, baik secara psikologis maupun politik.

Lalu setelah 9 tahun MoU Helsinki, pertanyaannya adalah bagaimana hubungan Aceh-Jakarta? Kita dapat memulainya dengan menarik jauh kepada masa setelah Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, ketika itu pejuang Darul Islam tidak lagi ikut dalam pemerintahan, sebagaimana posisi mereka sebelum naik gunung. Hampir semua dari mereka kemudian memilih kembali ke kampung halaman masing-masing dan hidup bersama rakyatnya.

Contoh yang paling legendaris tentu Daud Beureueh, yang hanya menjadi khatib di masjid yang dibangunnya di Beureuneun, Pidie. Selanjutnya, yang menarik adalah bersama tokoh-tokoh DI/TII lainnya, dia kemudian bertransformasi dari “aktor politik” menjadi “aktor moral”. Posisi moral inilah yang kemudian selama lebih dari tiga dasawarsa yang membuat Aceh selalu saja menjadi antitesa Jakarta, terutama sekali dalam soal pilihan politik.

Keberadaan mereka kemudian menjadi ‘oposan’ baru terhadap rezim di Jakarta, baik Soekarno maupun Suharto; mulai dari menentang dominasi Partai Komunis Indonesia (PKI), kemenangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) atas dominasi Golongan Karya (Golkar), bahkan sampai menyiapkan lahan subur untuk tumbuhnya organisasi perlawanan berikutnya. Ketidakterlibatan mereka dalam pemerintahan pascaperistiwa Aceh itu kemudian menaikkan posisi tawar mereka di mata rakyat. Jadi ketika Aceh berteriak bahwa Jakarta telah kembali berbohong, sebenarnya suara mantan pejuang itulah yang berbunyi, yang kemudian berfungsi sebagai penjaga jarak antara Aceh dan Jakarta.

 Kehilangan integritas
Namun berbeda dengan pengalaman MoU Helsinki. Jelas tidak ada transformasi elite GAM dari “aktor perang” menjadi “aktor moral”, melainkan menjadi “aktor politik”. Keterlibatan mantan elite pejuang dalam politik dan pemerintahan kemudian menyulitkan mereka secara jangka panjang ketika propaganda perjuangan masa lampau, kini dituntut untuk diterjemahkan secara konkret. Dan celakanya, ketika persepsi kegagalan dalam pemerintahan itu muncul, maka yang terjadi adalah kumpulan para pejuang kemudian kehilangan integritas moral yang dulu dibangunnya dalam fase perjuangan.

Terlebih dari itu, hal yang mengkhawatirkan akibat terbangunnya persepsi kegagalan pembangunan ini, maka sasaran ‘tembak’ pun berganti. Rakyat tidak lagi melihat Jakarta seperti narasi yang terbangun lebih dari tiga dasawarsa sebelumnya, melakukan kebohongan kembali, melainkan beralih kepada mantan pejuang yang dianggap gagal menyejahterakan rakyat. Sehingga ‘ancaman’ Gubernur Aceh (Serambi, 16/8/2014) yang mengatakan bahwa rakyat Aceh akan melawan sikap Jakarta yang belum memenuhi butir-butir MoU Helsinki, sebenarnya semakin kehilangan “daya tonjok” dan “daya tawar” dengan Jakarta. Mungkin inilah yang membedakan dua babak dalam drama pemberontakan itu. Lalu, akankan drama ini berakhir dengan happy ending?

* Muhammad Alkaf, Staf di Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, Banda Aceh. Email: alkaf.muchtar@gmail.com

No comments: