Hikayat Teungku Di Meukek; Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Belanda

Repro Hikayat Ranto ngon Hikayat Teungku Di Meukek
Repro Hikayat Ranto ngon Hikayat Teungku Di Meukek



Ulee balang menganggap aktivitas Teungku di Meukek mengganggu ketertiban dan keamanan negeri Rundeng

ACEH menyimpan banyak hikayat yang merupakan karya sastra lama yang ditulis dalam bahasa Aceh. Akan tetapi, dari cukup banyak hikayat, apakah Anda pernah mendengar atau membaca Hikayat Teungku di Meukek?

“Teungku di Meukek datang ke Rundeng  untuk menyebarkan agama Islam dan akhirnya menetap di daerah Rundeng. Beliau sangat disegani oleh masyarakat Rundeng, sehingga para penguasa di sekitar wilayah tersebut tidak senang dengan kehadirannya,” tulis Istiqamatunnisak, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, dalam artikelnya berjudul, Perlawanan Rakyat Aceh terhadap Belanda dalam Karya Sastra Aceh Hikayat Teungku Di Meukek: Tinjauan Poskolonial.

Tulisan tersebut dimuat di majalah Jurnal Manuskrip Nusantara (Jumantara) edisi 3 Nomor 2 - Oktober 2012 dan kemudian dipublikasi lewat laman resmi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Menurut Istiqamatunnisak Hikayat Teungku di Meukek adalah sebuah teks sastra Aceh yang menukilkan berbagai peristiwa sejarah dan penuh dengan pesan sosial dan politik. Wacana yang diungkapkan cukup relevan kepada para pembaca kolonial yang berpegang kepada perspektif orientalisme, dan juga pada pembaca pribumi kini yang berpegang pada perspektif poskolonialisme. Tulisan ini menjelaskan tentang pengaruh kolonial dalam hikayat tersebut.

Naskah Hikayat Teungku di Meukek  menggambarkan perlawanan rakyat yang digerakkan oleh seorang pemimpin agama terhadap ulee balang di Meulaboh. Saat itu, ulee balang didukung oleh Belanda. Hikayat ini ditulis untuk mengabadikan persengkataan antara kedua belah pihak tersebut, dan untuk melihat bagaimana perlawanan masyarakat terhadap pihak kolonial.

“Dari karya sastra tersebut bisa kita lihat adanya pengaruh kekuasaan dalam hikayat ini pada masyarakat Aceh dulu. Dalam tulisan ini dapat dilihat adanya pendekatan poskolonial dalam pengkajian sastra, karena kritik poskolonial menganalisis karya-karya yang diproduksi oleh masyarakat dan budaya sebagai respon terhadap dominasi kolonial dari masa kolonialisme sampai sekarang,” tulis Istiqamatunnisak lagi.

Teungku di Meukek datang ke Rundeng  untuk menyebarkan agama Islam dan akhirnya menetap di daerah Rundeng. Beliau sangat disegani oleh masyarakat Rundeng, sehingga para penguasa di sekitar wilayah tersebut tidak senang dengan kehadirannya.

Hikayat Teungku di Meukek ini merupakan salah satu karya sastra lama yang dikarang oleh masyarakat Aceh, karena melihat persengketaan yang terjadi di kalangan masyarakat Aceh pada masa itu..

“Dari hikayat kita bisa melihat bahwa ada pengaruh poskolonial dalam hikayat tersebut, yaitu campur tangan Belanda untuk menghasut para ulee balang yang iri dan tidak senang dengan kehadiran Teungku di Meukek. Atas bantuan pemerintahan Belanda para ulee balang kemudian menyerang daerah Rundeng,” tulisnya.

Hikayat Teungku di Meukek ini berasal dari naskah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh G W.J. Drewes pada tahun 1980, dengan judul Two Achehnese Poems. Terjemahan tersebut diperoleh dari Wamad Abdullah di Banda Aceh pada bulan Juni 1982.

Buku terjemahan setebal 99 halaman dengan ukuran 23 X 16 centimeter ini, teks bahasa Acehnya telah disunting dengan menyesuaikan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Ini merupakan hikayat lama dan sudah pernah dibicarakan oleh Dr. Snouck Hurgronje dalam bukunya, edisi Inggris The Achehnese (Harun,1983:7).

Drewes mencatat dua buah naskah hikayat Teungku di Meukek di Leiden University Library. Menurut Drewes hikayat ini merupakan karya asli pengarang Aceh, bukan terjemahan atau saduran dari karya asing, seperti hikayat Aceh lainnya. Tidak ada catatan mengenai tahun penulisan kedua karya tersebut (Harun,1983:7).

Penyalin hikayat ini ialah Panglima Nyak Amin yang mendapat naskah aslinya dari Juhan Muda Pahlawan, yaitu putra Lila Peurkasa, penguasa Meulaboh pada masa itu. Pengarang aslinya adalah Teungku Malem, penduduk asli Trumon  yang tinggal di kampung Peunaga  karena kawin dengan seorang wanita dari Peunaga.

“Penyair mengabadikan sengketa yang berlangsung dalam tahun 1893 dan 1894 antara tokoh-tokoh penguasa Meulaboh yang bersahabat dengan Belanda, dan kelompok perlawanan yang bermarkas utama di Rundeng dan dipimpin oleh tokoh suci Teungku di Meukek,” tulis Snouck Hougronje dalam bukunya The Achehnese.

Syekhuna, demikian sebutan ulama yang kemudian lebih dikenal dengan panggilan Teungku di Meukek karena perlawanannya terhadap Belanda. Ulama tersebut memperkuat kedudukannya di Rundeng, dekat Meulaboh, sambil menyebarluaskan ilmu agama serta mendirikan kubu-kubu pertahanan dengan tujuan melawan Belanda. Dari berbagai kampung orang berdatangan untuk memuliakan Teungku di Meukek dengan membawa berbagai buah tangan sebagai hadiah.

Ulee balang menganggap aktivitas Teungku di Meukek mengganggu ketertiban dan keamanan negeri Rundeng. Belanda yang mengetahui hal itu segera memanggil para uleebalang dan menghasut mereka supaya menyerang negeri Rundeng dan melawan Teungku di Meukek, seraya membekali mereka dengan alat senjata yang diperlukan. Para Uleebalang yang berkedudukan sebagai raja menyambut baik bantuan Belanda dan mempersenjatai anak negeri.

Di bawah pimpinan Raja Lila Perkasa dari Meulaboh, rakyat siap menyerang Rundeng. Begitu rakyat Rundeng dan Teungku di Meukek mendengar berita bahwa pihak Belanda akan membantu para uleebalang, mereka semakin giat memperbanyak benteng-benteng pertahanan dan mengatur siasat perang di masing-masing tempat. Dengan semangat yang tinggi dan dengan khutbahnya yang berapi-api, Teungku di Meukek mengumumkan perang jihad fisabilillah melawan Belanda dan kaki tangannya, Lila Perkasa.

Tanggal enam dianggap hari yang paling baik untuk memulai perang menyerang Rundeng. Rakyat Meulaboh di bawah pimpinan Teuku Panglima Dalam, Teuku Haji Ben, Panglima Nyak Yeb dan berpuluh-puluh panglima lainnya secara serentak menyerang Rundeng dari segala arah. Selama beberapa hari pertempuran berlangsung, satu demi satu kubu pertahanan Rundeng jatuh ke tangan uleebalang seperti Kuta Nibong, Kuta Asan, Padang Sirahet dan Kuta Sijaloh.

Ketika peperangan sedang berlangsung di Rundeng, para pembesar Belanda di Kutaraja memutuskan untuk mengirimkan bala bantuan guna membantu Raja Lila Perkasa melawan Teungku di Meukek. Beberapa hari kemudian tiga buah kapal perang Belanda berlabuh di Lhok Meulaboh. Sejumlah serdadu didaratkan dan langsung menyerang Rundeng, sementara meriam-meriam kapal terus menerus menembaki kubu-kubu pertahanan kaum pejuang. Korban berjatuhan di pihak kaum muslimin. Kemudian peperangan terhenti seketika.

Kekuatan kaum muslimin kemudian terpecah belah. Orang-orang yang berasal dari Woyla  dan Bubon meninggalkan Teungku di Meukek. Tanggal dua puluh tujuh bulan Ramadan, Teungku di Meukek keluar dari benteng pertahanannya setelah melakukan sembahyang dan berdoa kepada Tuhan agar dapat mengusir musuh. Sambil berzikir, di malam yang gelap itu Teungku di Meukek pergi dari satu benteng ke benteng musuh yang lain.

Dalam malam yang gelap gulita disertai hujan lebat, Teungku di Meukek masuk ke dalam benteng Kuta Haji Sarong. Di sana, ia menayakan kepada seorang pengawal posisi Haji Sarong dan Teuku Panglima Dalam. Namun sebelum sempat memberi jawaban, pedang Teungku di Meukek sudah merengut nyawa pengawal itu. Maka terjadilah keonaran dan huru-hara di malam yang gelap itu. Teungku di Meukek melawan para pengawal benteng.

Setelah terjadi pertarungan singkat, para pengawal terpaksa melarikan diri meninggalkan benteng yang dikuasai Teungku di Meukek. Setelah mendengar peristiwa ini, Teuku Panglima Dalam dan Teungku Haji Sarong yang sedang mengunjungi Kuta Nibong datang mencari Teungku di Meukek.

Ketika Teuku Panglima Dalam berhadapan dengan Teungku di Meukek di kegelapan malam itu, tiba-tiba Panglima Muda yang ikut serta dengan Teuku Panglima Dalam melepaskan tembakan. Teungku di Meukek roboh dan tewas seketika. Keesokan harinya mayat Teungku di Meukek diambil Belanda dan dibawa berlayar. Tidak ada orang yang mengetahui ke mana mayat Teungku di Meukek dibawa dan di mana dikuburkan.

“Dengan syahidnya Teungku di Meukek, para uleebalang dan Belanda dapat berkuasa kembali dengan leluasa,” tulis Istiqamatunnisak mengutip transliterasi Hikayat Ranto ngon Hikayat Teungku di Meukek yang diterjemahkan Ramli Harun.

+++

HIKAYAT Teungku di Meukek menyajikan suatu ulasan yang jelas tentang sejarah Aceh dan wawasan yang cemerlang mengenai kondisi Aceh pada saat itu, bahkan mempunyai nilai sejarah khusus. Karya ini mempunyai latar belakang sejarah yang cukup jelas walaupun fakta-faktanya dicerminkan melalui medium imajinatif yang seluruhnya bersesuaian dengan ciri-ciri khas Aceh. Penjelasan-penjelasan menarik tentang kejadian-kejadian sederhana, fakta sejarah yang sebenarnya.

“Kita dapat lihat bagaimana Belanda menghasut uleebalang untuk memerangi Teunku Meukek di Rundeng,” ujar Istiqamatunnisak.

Ia kemudian mengutip Hikayat Teungku di Meukek: “Raja Beulanda atejih sosah, Jikeumeung pinah sinan Syekhuna, Jimupakat sabe keudroe-droe, Tapangge jinoe raja raja, 'Oh ka tapangge dum Uleebalang, Dudoe tayue prang bakjih teuma, Meunankeu pakat di kompeuni, Ban narit jibri ka ubak raja. Nanggroe Rundeng jak leh taprang, Beulanja tuan ulon peuna, Han sep siribee dua lhee ribee, Bek kamalee kaprang lanja. Peue meusaket atra kompeuni, Jinoe kubri keu beulanja, Nyankeuh teuku cuba pike, Ubat beude ulon peuna.”

(Raja Belanda hatinya susah, Dia ingin mengusir syekhuna atau Teungku di Meukek, Mereka melakukan muwafakat dengan sesamanya (Belanda), Untuk memanggil setiap para raja atau para Uleebalang. Setelah dipanggil para Uleebalang, Kemudian kita suruh perang sama mereka, Begitulah mufakat para kompeni, Begitulah khabar yang disampaikan sama raja. Negeri Rundeng mari kita perang, Semua keperluan tuan akan kami sediakan, Tidak cukup siribu dua ribupun kami kasih, Jangan kalian pikirkan kita perang saja. Jangan kalian susah dengan harta kompeni, Sekarang kami berikan untuk belanja, Sekarang coba anda pikirkan, Kalau masalah senjata ada sama kami).

Dalam hikayat tersebut digambarkan bahwa Belanda sudah lama ingin menguasai wilayah Rundeng serta sudah pernah mencoba menjajah daerah tersebut dan wilayah di sekitarnya. Namun niat tersebut tidak pernah berhasil karena orang Rundeng tidak terpengaruh dengan kedatangan Belanda. Masyarakat juga menolak kedatangan kolonialis ke wilayah mereka.

Belanda akhirnya menghindar dan tidak berani melawan Teungku di Meukek yang memimpin wilayah Rundeng pada masa itu. Pasalnya, Teungku di Meukek terkenal sangat kuat dan sangat sukar untuk ditaklukkan. Meski demikian, Belanda mengetahui, para uleebalang Meulaboh merasa sakit hati pada Teungku di Meukek dan ingin menyerang wilayah Rundeng tersebut. Belanda akhirnya mulai mengatur siasat, yaitu menggunakan kesempatan untuk bekerja sama dengan para uleebalang.

Menurut Istiqamatunnisak, Hikayat Teungku di Meukek menunjukan adanya ketidaksesuaian antara masyarakat Aceh di satu wilayah dengan wilayah yang lain. Hikayat ini juga menggambarkan bagaimana sosok seorang ulama dalam menyebarkan Islam di jalan Allah. Hikayat ini memberikan gambaran perjuangan seseorang dalam menghadapi penjajahan. Selain itu, Hikayat Teungku di Meukek juga secara tegas menggambarkan musuh utama rakyat Aceh adalah Belanda, bahaya yang mengancam mereka dari Eropa.

Istiqamatunnisak juga menyimpulkan adanya pembelajaran kesabaran dari Hikayat Teungku di Meukek. Hal ini disimpulkan walaupun Teugku di Meukek dihina dan dicemoohkan oleh para uleebalang dan Belanda, beliau tetap menjalankan tugasnya sebagai ulama.

“Bahkan Teungku di Meukek dalam peperangan melawan Belanda dan uleebalang, dibantu oleh para ulama-ulama lain dan seluruh warga Rundeng dan sekitarnya. Hampir setiap masyarakat dan para ulama membantunya dalam melawan para penjajah,” tulis Istiqamatunnisak.[]

No comments: