Insiden “Indonesia Raya” di Banggai, Sulawesi Tengah 1933

14181292731833003045
Upcara di Kerajaan Banggai (kredit foto www.melayuonline.com)
Terdapat beberapa kerajaan kecil dalam propinsi yang sekarang disebut Sulawesi Tengah yang cukup eksis hingga akhir masa penjahan Belanda. Di antara kerajaan tersebut Banggai dengan ibukota Luwuk. Penulisan sejarah naisonal kerap mengabaikan peristiwa-peristiwa lokal, tetapi sebetulnay punya arti nasionalisme yang kuat. Secara tak snegaja saya membaca Surat kabar Al Iman yang terbit di Gorontalo pada Juli 1933 menulis sebuah artikel panjang mengenai penangkapan dua puluh orang seusai Shalat Idul Idha termasuk pimpinan Muahamdyah dan Hizbul Wathan dalam wilayah Kerajaan Banggai.
Dalam artikel panjang itu disebutkan konsul Muhamadyah di Gorontalo menerima telegram dari Luwuk tertanggal 12 April tentang penahan Basmur Ma’sum, guru Muhamadyah bersama sejumlah pengurus Muhamadyah. Pada 15 April 1933 konsul Muhamadyah itu berangkat dengan perahu motor ke Pagimana, banggai dan kemudian meneruskan perjalanan ke Luwuk.
Pada 17 April Konsul Muhamadyah menghadap HPB ( Hoofd van Plaatselijk Bestuur ) atau Kepala Pemerintahan daerah Luwuk mendapatkan keterangan bahwa pada hari raya itu juga sekaligus open lucht (semacam mimbar terbuka) ada pembicaran berkaitan dengan politik. Konsul Muhmadyah pada hari itu belum tahu persis penyebab utamanya, sebab organisasi ini tidak terlalu banyak ditekan oleh pemeirntah kolonial.
Kemudian diketahui pada 23 Maret 1933 umat Islam di Pagimana bermusyawarah merencanakan shalat di tanah lapang pada Hari Raya Haji. Untuk itu dibentuk suatu badan yang dinamakan Comite Oemat Islam. Para anggota komite terdiri dari beberapa pemimpin Muhamadyah, PSII dan pegawai agama, yang diketuai oleh Basmur Ma’sum. Komite berdiri pada 26 Maret. Komite meminta izin pada HPB untuk kegiatan sembahyang di tanah lapang dan arak-arak umat Islam, serta mimbar terbuka. Pihak HPB mengizinkan.
Pada 7 April seorang kapten infrantri, Kontrolir Gezaghber , Raja Banggai dan aparat bawahannya datang ke Pagimana tempat Shalat Id diselenggarakan. Tempat shalat itu dihiasi pagar bambu dan daun kelapa. Ternyata mereka mempersoalkan bendera Muhamadyah yang berkibar di sekolah Muhamadyah pada hari itu. MA Macarauw pejabat Belanda setempat membawa bendera komite itu ke pesanggrahannya. Dua puluh orang kemudian diproses verbal.
Di antaranya Haji Awaludin pengurus Muhamadyah Banggai dihadapkan dengan komite empat, terdiri dari Kapitan Laut Luwuk bernama Sarafoedin, Zakaraia Djoejoe Banggai, Ali Hamid yang menjabat Hoekoem Toea (Hukum Tua) serta seorang pejabat lain Soleman Majoor. Mereka mempersoalkan kehadiran bendera Muhamadyah yang bisa membuat bendera Kerajaan Banggai dan bendera Belanda tak diindakan lagi. Mereka juga keberatan atas arak-arakan yang dilakukan perkumpulan Muhamadyah. Hal itu diangap melanggar adat istiadat Negeri Banggai.
Beberapa orang kemudian divonis. Di ataranya, Basur Ma’sum dijatuhi hukuman denda F20 dan delapan hari penjara. Sementara Sekretaris Muhamadyah dijatuhi hukuman F15 dan lima hari penjara. Haji Aminnoedin dijatuhi hukuman F10 dan tiga hari penjara. Juga terungkap dalam kegiatan di lapangan itu para pandu menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan seorang pembicara bernama Jusuf Monoarfa menyebut kalimat antara lain” …Indonesia tanah air kita, mari kita peluk jangan sampai terlepas”. Isi pembicaraan ini yang membuat gusar.
Pejabat Belanda dan kerjaan meminta daftar murid Muhamadyah di Banggai, serta minta keterangan umur hingga kebangsaan. Semau pengurus Muhamadyah dan PSII (Persatuan Sarekat Islam Indonesia) dipanggil ke kantor kontrolir. Mereka dianggap menghadap Gezaghebber, Sang Kontrolir. Namun anehnya yang bersangkutan tak merasa memanggil mereka. Raja kemudian mengeluarkan perintah agar para pegawai pemerintah yang mau masuk perserikatan harus minta izin kepala kampung. Kepala Kampung Bunta yang menajdi anggota PSII dihukum majelis besar Luwuk berupa lima hari penahanan.
Ada sumber lain membenarkan kejadian ini. Sumber itu menyebutkan bahwa sejumlah Tokoh Agama, Pemuda dan Wanita usai Sholat Idhul Adha pada 1933 menaikkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, yang kemudian dilanjutkan dengan orasi bertema ”Persatuan Bangsa Menuju Indonesia Merdeka” yang di pekikkan oleh trio srikandi Koyang Masulili, Siti Angongo dan Doi Ukiki. Peristiwa bersejarah ini di pimpin langsung oleh tokoh pemuda Yusuf Monoarfa dan Agulu Lagonah. Jelas nama Jusuf Maoarfa disebutkan dalam sumber ini.
Akibatnya perbuatan menaikkan bendera Merah-Putih, para pejuang di Pagimana di kejar-kejar Pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan Kapten Paulissen sementara Karel Panamon yang dianggap sebagai motor pergerakan dan sebagai penanggungjawab pengibaran bendera Merah putih Pagimana dijatuhi hukuman 5 tahun dimasukkan ke penjara Luwuk, kemudian di pindahkan ke penjara Landraad Poso, selanjutnya di pindahkan lagi ke penjara Glodok Jakarta.1
Besar kemungkinan peristiwa di Banggai itu erat kaitannya dengan tekanan-tekanan pada organisasi pergerakan, di antaranya di kawasan Sulawesi. Pada 21 Desember 1932 Partindo Cabang Gorontalo yang mengadakan rapat terbuka di bawah pimpinan Soerjokoesoemo dan dikunjungi sekitar 1500 oarng dihentikan oleh kontrolir. Penyeybabnya adalah dua pembicara Haji Abdoiel Karim yang berbicara soal kewajiban umat muslim menuntut hak Indonesia merdeka dan Mr. iskak yang bebricara soal gerakan swadesi (Pembrita Makassar 6 Januari 1933). Sementara di Madjene (Sulawesi Barat sekarang) pertemuan yang dilakukan PSII pada 7-8 April 1933 juga dicekal dan dilarang (Pembrita Makassar 12 April 1933).
Peristiwa Merah Putih Kedua
Keterangan lain yang saya punyai tentang wilayah Banggai-Luwuk ialah artikel mengenai Daerah Sulawesi Tengah yang dimuat di harian Pikiran Rakjat pada 24 April 1951. Disebutkan bahwa Daerah Sulawesi tengah dibentuk pada 2 Desember 1948 dengan besilit dari Residen Manado. Daerah itu diperintah oleh suatu Dewan pemerintah dan sebuah Dewan Perwakilan Daerah menurut petunjuk UU daerah Indonesia Timur No.44/1950 Daerah terdiri dari gabungan 15 swapraja yang menurut besar kecilnya dijadikan 7 daerah bagian (onderafdeling) yang tugas kepala pemerintahannya dijalankan oleh seorang raja.
Daerah-daerah itu adalah:
1. Palu (gabungan swapraja Palu, Sigi-Dolo dan Kuwali dengan penduduk 84 ribu jiwa.
2. Donggala (gabungan swapraja Manawa dan Tawaeli berpenduduk sekitar 70 ribu jiwa.
3. Toli-toli 50 ribu jiwa
4. Parigi (gabungan Parigi dan Muotong berpenduduk 60 ribu jiwa.
5. Poso (gabungan daerah Swapraja Poso, Loree Todjo dan Una-una berpenduduk 70 ribu jiwa
6. Banggai-Luwuk berpenduduk 110 ribu jiwa
7. Kulonedale (gabungan swapraja Bungku dan Mori berpenduduk 50 ribu jiwa)
Luwuk bersama Toli-toli disebutkan termasuk daerah penghasil kopra termasuk Rayon VIII. Daerah lain di Sualwesi Tengah yang hidup dari kopra adalah Palu. Sayangnya pada 1950-an, sekali pun harga kopra tinggi, tetapi tidak membawa kemakmuran bagi rakyat kecil, karena petani-petani dan nelayan meninghgalkan pekerjaan menjadi buruh kelapa. Dengan sistem mengijon petani kepala menggantungkan hidupnya pada pedagang. Luwuk disebutkan mempunyai sebuah rumah sakit, seperti halnya Palu dan Toli-toli.
Daerah Banggai dalam buku Sulawesi yang diterbitkan Kementerian penerangan pada 1953 juga diterangkan Banggai daerah penghasil kopra. Pada 1950 Luwuk menjual 30.176 ton kopra kepada Yayasan kopra, pada 1951 meningkat menjadi 25.133 ton dan 34.950 ton pada 1952. Luwuk berada di bawah Manado yang menghasilkan 88.676 ton kopra pada 1950, 120.685 ton pada 1951 dan 97.123 ton pada 1952.
Menurut buku Sulawesi yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan pada 1953 Sulawesi terbagi atas 14 kabupaten dan satu kota besar (Makassar) dan satu kota kecil (Manado). Propinsi yang disebut Sulawesi Tengah saat ini hanya terdiri dari dua kabupaten, yaitu Kabupaten Donggala dengan ibukota Palu berpenduduk 260.534 jiwa serta Kabupaten Poso dengan ibukota Poso berpenduduk 233.752 jiwa, Banggai termasuk wilayah Poso.
Yang menarik dalam buku itu disebutkan sesudah Gorontalo mengibarkan bendera Merah putih sebagai akibat perebutan kekuasaan Hidnia Belanda-menjelang pendudukan Jepang- di Sualwesi Tengah juga terjadi perebutan kekuasaan dilakukan oleh Raja Todjo Tandjumbulu di Amapna dan di Luwuk, Banggai oleh Mambu, kepala pemberontak. Pemimpin partai politik dari ujung Teluk Tomini (Bunta dan Pagimana) datang ke Luwuk dan bersatu pemimpin pemberontak di Luwuk.
Tokoh-tokohnya antara lain Jusuf Monoarfa, Agula Lagono, Dr.R. Sutarjo Notoprawiro (seorang dokter dari Jawa), AG Mambu,S.Kirdiat melakukan perempasan kekuasaan dan menggagalkan rencana Belanda membakar Kota Luwuk. Sekali lagi Jusuf Monoarfa disebutkan dalam peristiwa tertanggal 12 Februari 1942, ketika kaum pejuang Banggai berhasil menyekap aparat pemerintah kolonial Hindia Belanda dan mengibarkan bendera Merah Putih di Luwuk ( Raja Banggai dalam status sebagai kerajaan adalah Haji Syukuran Aminuddin Amir (yang bertahta hingga tahun 1957).2

Irvan S

No comments: