Inti Konflik Ali-Muawiyah

SETELAH Khalifah Usman bin Affan terbunuh, para sahabat sepakat untuk menghukum qishash pelakunya. Namun mereka terbagi tiga kelompok tentang hal ini: Pertama, mereka harus di-qishash secepatnya sebelum baiat kepada Ali. Inilah pendapat Muawiyah dan pendukungnya.

Muawiyah berpendapat jika qishash ditunda, pembunuhnya akan berbaur di kehidupan sehari-hari kaum Muslimin dan mereka akan sulit dilacak. Lagi pula, Muawiyah adalah wali Usman dan di antara saudara-saudara Usman yang lain, Muawiyahlah yang kekuatannya paling besar;

Kedua, mereka harus di-qishash, tetapi setelah Ali bisa mengendalikan keadaan sehingga tenteram kembali. Jika qishash dilaksanakan sekarang juga, maka akan berakibat keadaan makin kacau. Para perusuh akan melipatgandakan tekanannya kepada kekhalifahan. Ini adalah pendapat Ali dan pendukungnya. Mayoritas sahabat Nabi menjadi pendukung Ali, dan;

Ketiga, uzlah (mengasingkan diri). Para sahabat yang tidak mau terlibat dalam kasus ini dan mereka pun pindah dari pusat konflik. Mereka tidak mau berperang dengan saudara sesama mukmin. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Saad bin Abi Waqqash dan lainnya.

Inti dari konflik Ali-Muawiyah adalah perbedaan cara qishash ini. Muawiyah sendiri tidak pernah mengklaim bahwa dirinya khalifah umat Islam dan tidak berniat merebut kekhalifahan. Hanya saja ia dan penduduk Syam tidak mau bai’at (sumpah setia) kepada Ali karena permasalahan terbunuhnya Usman tersebut.

Ketika kita melihat kondisi zaman Ali lewat kacamata abad modern, kita bisa dengan mudah menilai. Tetapi bagi orang yang hidup di zaman itu, situasi pada saat tersebut sangat pelik. Menurut jumhur ulama, dalam persoalan rumit itu yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat Ali karena bagaimanapun juga perdamaian negara lebih diutamakan.

Muawiyah pernah ditanya: “Apakah kau penentang Ali?” Muawiyah menjawab: “Tidak demi Allah. Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bahwa dia lebih utama dariku dan lebih berhak memegang khilafah dariku. Akan tetapi, sebagaimana yang kalian ketahui bahwa Usman dibunuh dalam keadaan teraniaya dan aku, sepupu Usman, akan menuntut darahnya. Datanglah kepada Ali dan katakan; serahkan para pembunuh Usman kepadaku dan aku akan tunduk kepadanya.”

Orang-orang segera menemui Ali dan mengatakan perkataan Muawiyah, tetapi Ali tidak mengabulkannya. Karena situasi makin memanas, akhirnya terjadilah Perang Jamal dan Perang Shiffin antara kubu Ali dan Muawiyah. Tebunuhnya Ammar bin Yasir menjadi kunci selesainya perang ini karena Nabi Muhammad pernah mengabarkan bahwa yang membunuh Ammar adalah kelompok pembangkang. Yang membunuh Ammar bin Yasir ternyata adalah Abu al-Ghadiyah Al-Juhani dari pihak Muawiyah, ia bukanlah sahabat Nabi.

Terbunuhnya Ammar membuat kedua kelompok terguncang dan sepakat untuk berdamai. Mereka juga mengkhawatirkan perbatasan yang sedang lemah dan kapan saja bisa diserang oleh Persia dan Byzantium. Perjanjian damai ini dibuat berdasarkan Al-Quran dan Sunnah dengan kedua hakimnya adalah Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari. Tidak seperti kabar yang terkenal, Amr bin Ash tidak memakzulkan Ali.

Sementara itu, saat kabar terbunuhnya Ali bin Abi Thalib sampai kepada Muawiyah, ia menangis. Istrinya berkata: “Kamu menangisi orang yang memerangimu?” Muawiyah menjawab: “Diam sajalah kamu. Kamu tidak mengetahui berapa banyak manusia kehilangan keutamaan, fikih, dan ilmu karena kematian beliau.” Utbah berkata juga: “Jangan sampai orang-orang Syam mendengar hal itu darimu.” Muawiyah menghardik: “Kamu juga diam sajalah!”

Lalu, bagaimana sikap kita? Sikap kaum Muslimin dalam menyikapi konflik Ali-Muawiyah adalah meyakini bahwa mereka semua sedang berijtihad, merespons situasi yang sangat pelik pada masa itu. Di antara mereka ada yang benar dan mendapat dua pahala, tetapi ada juga yang salah dan mendapat satu pahala. Kita tidak boleh membicarakan sahabat Nabi saw dengan perasaan benci dan antipati.(*/ask)

No comments: