Kontroversi Muawiyah

Kontroversi Muawiyah
BEKAS Dinasti Umayyah yang masih bisa disaksikan sampai sekarang di Anjar, Libanon. Harout Tanielian/flickr.com 
KALAU ada sahabat Nabi saw yang tergolong paling kontroversial, maka itu tidak lain adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Pencatat wahyu dan pendiri Dinasti Umayyah ini adalah putra dari Abu Sufyan bin Harb dan Hindun binti Utbah, yang sebelumnya sangat memusuhi Islam. Sikapnya terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib, dianggap makar dan tergolong bughat (pemberontak).
Sosok Muawiyah memang kerap menjadi sorotan di kala itu, bahkan sampai ada yang membencinya habis-habisan. Berbagai julukan pun kemudian ditabalkan kepadanya. Ia misalnya disebut licik, culas, musang berbulu domba dan pengkhianat. Demikian pula tindakannya mengangkat putranya Yazid sebagai khalifah, dituding telah menciptakan sistem baru yang tak pernah ada sebelumnya.
Di sisi lain, jasa Muawiyah tak bisa diabaikan begitu saja. Ia tak hanya mampu mengakhiri konflik antarmuslim sendiri pada masanya, tapi juga berhasil membangun sebuah dinasti yang telah memberikan begitu besar jasanya bagi dunia Islam, yaitu Dinasti Umayyah. Rasulullah saw pernah bersabda: “Tentara dari umatku yang mula-mula berperang mengarungi lautan sudah pasti mendapat surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sejarah mencatat, Muawiyah yang bernama lengkap Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayah bin Harb bin Abdi Syams bin Abd Manaf al-Quraisy al-Amawi adalah pemimpin armada angkatan laut umat Islam pertama di masa pemerintahan Usman bin Affan. Muawiyah yang kerap juga disapa Abu Abd al-Rahman, lahir di Mekkah pada 602 M atau kira-kira lima tahun sebelum kenabian.
Muawiyah diakui oleh kalangan Sunni sebagai seorang sahabat Nabi saw dan dipercayakan sebagai seorang penulis wahyu, walaupun ia baru memeluk Islam setelah penaklukan Mekkah (fath al-Makkah). Namun, menurut pengakuan Muawiyah sendiri, ia telah menjadi muslim jauh sebelumnya, yaitu pada Yaum al-Qadla ketika Rasulullah saw dan para sahabat melaksanakan Umrah setelah perjanjian Hudaibiyah, pada tahun 7 Hijriyah.
Ketika itu datang menghadap Rasulullah saw dan menyatakan diri sebagai muslim, tetapi keislaman itu ia sembunyikan. Hal itu dilakukan karena ia mendapat ancaman dari keluarganya, terutama ibunya Hindun binti Utbah bin Rabi’ah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Namun saat penaklukan Mekkah kedua orang tuanya pun menjadi sahabat Nabi dan memeluk Islam.
 Dinasti Umayyah
Setelah keislamannnya, ia mendapat kepercayaan dari Rasulullah saw. Muawiyah adalah khalifah pertama dari Bani Umayyah dan juru tulis Nabi Muhammad saw. Namun, kalangan Syi’ah sampai saat ini tidak mengakui Muawiyah sebagai khalifah dan sahabat Nabi, karena dianggap telah menyimpang setelah wafatnya Rasulullah saw.
Ia diakui sebagai khalifah sejak Hasan bin Ali, yang selama beberapa bulan menggantikan ayahnya sebagai khalifah. Dia menjabat sebagai khalifah mulai 661 M (umur 58 atau 59 tahun) sampai dengan 680 M. Terjadinya Perang Shiffin makin memperkokoh posisi Muawiyah dan melemahkan kekhalifahan Ali bin Abu Thalib, walaupun secara militer ia dapat dikalahkan.
Hal ini adalah karena keunggulan saat berdiplomasi antara Amru bin Ash (kubu Muawiyah) dengan Abu Musa Al Asy’ari (kubu Ali) yang terjadi di akhir peperangan tersebut. Seperti halnya Amru bin Ash, Muawiyah adalah seorang administrator dan negarawan ulung. Muawiyah adalah sahabat yang kontroversial dan tindakannya sering disalahartikan.
Setelah Rasulullah saw wafat, pemerintahan dipimpin oleh Khalifah Abu Bakar Siddiq. Ketika itu tergolong zaman kritis di mana benih kemurtadan mulai merebak. Abu Bakar bertindak tegas dengan memerangi mereka. Muawiyah ikut dalam satu pertempuran itu, yaitu Perang Yamamah, perang melawan Musailamah si nabi palsu.
Setelah pemberontakan internal selesai, kaum Muslimin mengalihkan pandangan mereka ke luar, yakni pembebasan negeri di sekitar mereka dari pemimpin zalim. Abu Bakar mengirim pasukan ke banyak tempat, termasuk ke Syam yang satu pasukannya dikomandani oleh Muawiyah. Demikian pula setelah Abu Bakar wafat, Khalifah Umar bin Khatab sebagai penggantinya tetap mempercayakan Muawiyah sebagai seorang komandan perang yang handal.  
Ini, misalnya, terlihat ketika Umar menugaskan Muawiyah untuk membebaskan Qaisariyah (sekarang Caesarea), satu kota dekat Tel Aviv (ibu kota Israel sekarang) dari penguasa zalim. Namun, ternyata Qaisariyah memiliki benteng pertahanan dan pasukan yang sangat kuat. Setelah Qaisariyah dikepung dalam waktu cukup lama, Muawiyah pun berhasil menerobos kota tersebut.
Mendengar keberhasilan saudaranya, Yazid bin Abu Sufyan yang juga seorang Gubernur Damaskus, meminta Muawiyah untuk ikut membebaskan pesisir Syam. Setelah bertarung melawan orang-orang Romawi, Muawiyah dan prajuritnya berhasil menang. Setelah Muawiyah membuktikan kekuatannya atas dua peristiwa sebelumnya, Umar mengangkatnya sebagai Gubernur Yordania pada 17 H.
Begitu pula ketika saudara Muawiyah, Yazid bin Abu Sufyan, meninggal dunia karena wabah penyakit tha’un pada 18 H. Menurut sebagian ulama, tha’un adalah wabah pes, tetapi ada pula yang berpendapat tha’un masih belum jelas termasuk kategori penyakit apa. Untuk mengisi kekosongan, Umar bin Khathab menugaskan Muawiyah untuk menggantikan posisi saudaranya memimpin Damaskus, Ba’labak (Ballbek, Yordania), dan Balqa (Yordania).
Demikian pula saat kerajaan besar Byzantium dan Persia terus menyerang daerah perbatasan kekhalifahan. Untuk menahan hal itu, Muawiyah membagi pasukan menjadi dua, yakni pasukan musim panas dan pasukan musim dingin. Selain itu, Muawiyah menutup celah-celah di kota-kota perbatasan agar tak diserang. Muawiyah sempat memimpin penyerangan musim panas melawan Byzantium di 22 H.
 Angkatan laut
Mayoritas kaum Muslimin pada saat itu adalah orang Arab. Mereka adalah orang-orang yang tidak akrab dengan laut. Namun, Muawiyah menyadari pentingnya angkatan laut dan di zaman Umar ia mulai membangunnya. Sayangnya, Umar tidak mengizinkan Muawiyah memakai angkatan laut karena ia tidak mau kaum Muslimin habis ditelan laut (karena mereka tidak familiar dengan laut). Angkatan laut baru dipergunakan pada zaman Usman bin Affan untuk membebaskan Cyprus.
Sebagaimana Umar, Usman bin Affan tidak memakzulkan Muawiyah. Ia terus memberi Muawiyah kekuasaan, menjadi Gubernur daerah mayoritas Syam. Ia menguasai daerah yang sangat luas dan telah menjadi gubernur Usman yang paling berpengaruh. Di awal pemerintahan Usman, di Syam ada beberapa gubernur, yakni Muawiyah bin Abu Sufyan, Umair bin Saad al-Anshari (Himsh), dan Alqamah bin Khalid bin Walid (Palestina). Namun, karena Umair sering sakit-sakitan, ia mengundurkan diri dari jabatannya.
Usman pun memberikan Himsh kepada Muawiyah. Setelah itu Alqamah wafat, Usman pun memberikan Palestina kepada Muawiyah. Hal ini membuat Muawiyah menjadi gubernur Syam seluruhnya. Sampai akhir hayat Usman, Muawiyah mengontrol daerah Syam. Pada zaman modern, Syam meliputi Palestina, Yordania, Lebanon, dan Syria. Jadi bisa dibayangkan seluas apa daerah kekuasaan Muawiyah ketika itu.
Pada zaman Usman, Muawiyah cukup banyak melakukan inspeksi militer ke daerah perbatasan daerah kekuasaannya di Syam. Misalnya, ke Anthakiyah dan Tarsus (25 H.), ke Daruliyah (31 H.). Perbatasan yang berbentuk kepulauan ia serahkan penjagaannya kepada Habib bin Maslamah. Muawiyah juga beberapa turun langsung memimpin pasukannya sampai merambah celah bukit di Konstantinopel.
Setelah sebelumnya ditolak Umar, Muawiyah kali ini mencoba meyakinkan Usman untuk memakai angkatan laut demi membebaskan Qubrush (Cyprus). Usman mengizinkannya dengan syarat Muawiyah harus membawa istrinya dan pasukan yang berangkat harus dengan kemauan sendiri. Dalam misi pembebasan ke Cyprus, kekhalifahan berhasil mengumpulkan hingga 1.700 armada kapal.
Muawiyah memang bak bintang bersinar terang pada masa kekhalifahan Usman bin Affan. Sayangnya, di akhir pemerintahannya, Usman menerima cobaan yang berat. Ia, misalnya, dituduh korupsi, boros, mengangkat keluarganya sendiri untuk menduduki jabatan penting, dan sebagainya, sampai akhirnya ia wafat dibunuh dan posisinya digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.
Pada masa-masa genting tersebut, Muawiyah tetap setia membantu Usman. Bahkan, saat mendengar berita terbunuhnya Usman, Muawiyah berpidato di depan penduduk Syam. Ia bersumpah akan menuntut balas kematiannya. Benarkan ‘bara dendam’ dan semangat tueng bila ini termasuk kontroversi, yang kerap menyala dan tak pernah bisa dipadamkan sampai sekarang? (dari berbagai sumber/asnawi kumar)

No comments: