Kristenisasi di Indonesia dari Masa ke Masa

salib kristen

“It seems strange and perhaps it is, indeed, that I, a man so very different from you in place, speaking a different language, having a state of lifes separate from yours, a stranger to your customs and life, write from fast west to men who inhabit the lands of the east and shouth, and that, by my speech, I attack those whom I have never seen, whom I shall perhaps never see. But I Attack you not, as some of us (Christians) often do, by arms, but by my words, not by force, but by reason, not in hatred, but in love … I love you, loving you, I write to you: writing to you, I invite you to salvation (PierreMaurice de Montboissier – Peter the Venerable 1094-115) [2].
BIARA Cluncy Perancis, dimana Peter the Venerable menjadi kepalanya, pada masa itu adalah salah satu biara paling berpengaruh di Eropa pada suasana perang Salib, perang legendaris antara muslim dengan Barat yang Kristen. Peter merasa terpanggil untuk merumuskan cara lain untuk menundukkan umat Islam, sebab kekuatan militer terbukti selalu kandas.
Bahkan Yerusalem yang sempat dikuasai pasukan salib pun, akhirnya bisa direbut kembali oleh kaum muslim. Oleh karena itu, paska kunjungannya ke salah satu pusat keilmuan dan peradaban Islam di Toledo, Spanyol, ia menugaskan tim penerjemah untuk membuat karya berseri yang akan dijadikan landasan bagi para missionaris.
Dalam pandangannya, Islam adalah sekte terkutuk sekaligus berbahaya, doktrin yang berbahaya, ingkar, terlaknat, dan Muhammad adalah orang jahat [3]. Ia ingin mengajak orang Islam ke jalan keselamatan yang hanya bisa didapatkan dalam gereja, sesuai doktrin masyhur dari zaman Konstantine ‘extra ecclessiam nulla salus‘ (tiada keselamatan diluar gereja).
Apa yang dilakukan Peter the Venerable memiliki landasan Biblikal yang kuat. Adalah Mathius 28: 18-20, yang oleh kalangan Kristen disebut sebagai amanat agung untuk mewartakan Bible kepada seluruh umat manusia.
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu, dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mathius 28: 19-20).
Apalagi, penyangkalan umat Islam atas status Yesus sebagai anak Tuhan dianggap sebagai rancangan setan. Setan telah mempersiapkan Muhammad, orang paling nista untuk menjadi anti Kristus. Setan telah mengirim seorang informan kepada Muhammad, yang memiliki kitab setan (diabolical scripture)[4].
Bisa dikatakan, apa yang dilakukan oleh Peter the Venerable merupakan tonggak dari kerja intelektual pemuka Kristen secara sistematis dan berkelanjutan untuk menaklukkan pemikiran keagamaan umat Islam.
Paska kejatuhan Andalusia pada 2 Januari 1492 oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella yang berlanjut dengan pembentukan Inquisisi [5], para pemuka Kristen makin percaya diri. Mereka berhasil merebut kembali (reconquista) tanah yang selama 800 tahun dikuasai kaum muslimin. Umat Islam Andalusia dipaksa pada dua pilhan, murtad menjadi Kristen (converso) atau pergi meninggalkan Andalusia. Hukum gantung menanti mereka yang menolak dua opsi tersebut.
Menyambut kemenangan ini, Paus Alexander VI dalam maklumat (bulla) 4 Mei 1493yang kemudain diperkuat Perjanjian Tordesillas [6], 9 Juni 1494 [7] yang membagi dua dunia untuk dua negara kesayangannya, yakni Spanyol dan Portugis.
Pemilihan kedua negara ini dikarenakan ada hubungan khusus antara Kepausan Gereja Katolik Roma dengan kedua negara ini. Hubungan ini biasanya diungkapkan dengan istilah padroado (Portugis) atau patroato (Spanyol) yang kurang lebih berarti negara atau raja menjadi majikan atau pelindung gereja.
Pendek kata, kedua negara ini mengemban tiga misi: berdagang (gold), menaklukkan (glory), dan menyiarkan agama Kristen (Gospel). Hal ini tercermin dari pidato Alfonso d’Alburquerque ketika berhasil menduduki Malak pada tahun 1511.
“Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita dalam mengusir orang-orang Moor dari negara ini dan memadamkan api sekte Muhammad sehingga ia tidak muncul lagi sesudah ini … Saya yakin, jika kita berhasil merebut jalur perdagangan Malaka ini dari tangan mereka, (orang-orang Moor), Kairo dan Mekkah akan hancur total dan Venesia tidak akan menerima rempah-rempah kecuali para pedagangnya pergi dan membelinya di Portugis.” [9]
Penaklukan Malaka ini merupakan tonggak sejarah kedatangan misionaris ke kepulauan Nusantara, dimana mereka membawa spirit reconquista secara politik dan misi penaklukan pemikiran spiritual sebagaimana sudah dirancang Peter the Venerable.
Dari Katolik ke Protestan
Misionaris yang datang bersama pasukan Portugis ke Malaka adalah tokoh besar bernama Santo Franciscus Xaverius (1506-1552). Ia bersama Santo Ignatius Loyola adalah pendiri ordo Jesuit. Pada tahun 1546-1547 Santo Franciscus Xaverius bekerja diantara orang-orang Ambon, Ternate dan Morotai (Moro) serta meletakkan dasar-dasar bagi suatu misi Katolik yang mapan.
Kunci keberhasilan Franciscus Xaverius dalam misi kristenisasi dikarenakan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Melayu dan penguasaan atas kebiasaan spiritual dan kesenangan orang-orang pribumi terhadap musik lokal [10]. Optimisme Franciscus Xaverius akan masa depan misi Katolik di kepulauan Maluku terlihat jelas dalam suratnya yang dikirim dari Ambon 10 Mei 1546 kepada pimpinan ordo Yesuit di Eropa:
… Jika hanya selusin saja imam mau datang kemari dari Eropa setiap tahunnya untuk membantu, tidak lama lagi akan berakhir gerakan agama Islam dan semua orang di kepulauan ini akan menjadi Kristen. [11]
Misi Katolik terhenti karena serangan Sultn Baabullah terhadap Portugis. Motif serangan ini didasarkan pada pembalasan atas pengkhianatan Portugis terhadap Sultan Khairun. Setelah kedatangan Belanda[12] tahun 1596, imam-imam Katolik dilarang memasuki wilayah-wilayah yang berada dibawah kendali Belanda.
Tanpa banyak masalah, orang-orang Katolik Maluku tak berpendidikan dibujuk untuk menerima tradisi Kalvinis. Selama periode Serikat Dagang Hindia Timur (1602-1799), Kalvinisme adalah satu-satunya tradisi Kristen yang diperbolehkan
Kristen Ambon 1923,
Kristen Ambon 1923,

Abad Misi
AWAL abad ke XIX merupakan tahun-tahun yang berat bagi eksistensi kolonialis Belanda di Indonesia. Serentetan perang perlawanan datang silih berganti dari satu tempat ke tempat lain.
Beberapa perang yang terkenal antara lain Perang Diponegoro atau Perang Jawa (Java Oorlog, 1825 – 1830), Perang Padri (1821 – 1837), Perang di Sulawesi Selatan (sekitar 1825), Perang Banjarmasin (1859 – 1905), Perang di Bali (1846 – 1849) dan Perang Aceh (Aceh Oorlog, 1873 – 1904).
Perspektif Sejarah Indonesia memandang peristiwa itu benar-benar sebagai bentuk perang [1]. Selain perang berskala besar (war atau oorlog), juga terdapat pemberontakan-pemberontakan dalam skala yang lebih kecil.
Untuk melihat besarnya eskalasi perang Jawa yang dibobarkan Pangeran Diponegoro, kita bisa melihat dari jumlah korban perang, tercatat, korban meninggal pada orang Eropa mencapai 8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20 juta gulden.
Total orang Jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun pengikut Diponegoro 200.000 orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu itu baru tujuh juta orang dan separuh penduduk kota Yogyakarta terbunuh [2].
Meski Perang Diponegoro menyebabkan semakin ditekannya politik Islam di tanah Jawa, akan tetapi, ternyata hasrat untuk terus mempelajari dan mendakwahkan Islam tidak pernah surut.
Snouck Hurgronje yang menyamar menjadi muslim dan melakukan perjalanan Haji, mendapati, betapa ulama asal nusantara menempati posisi yang tinggi di dua kota suci kaum muslimin, yakni Mekah dan Madinah.
Pada akhir abad ke 19 muncul beberapa ulama kelahiran Indonesia yang diakui ketinggian ilmunya di Timur Tengah. Mereka menjadi pengajar tetap di Masjid Mekkah, seperti Syekh Nawawi (dari banten), Syekh Khatib Al Minangkabawi dan Syekh Machfudz (dari Tremas). Satu hal yang cukup menarik dari perkembangan ini ialah, bahwa pelajar dari berbagai daerah yang melanjutkan pelajaran di Mekah biasanya baru dianggap dapat menyempurnakan pelajaran mereka setelah memperoleh bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran Indonesia tersebut [3].
Selain itu, jumlah pelajar atau santri asal kepulauan nusantara juga mendominasi dari sisi jumlah, dibanding pelajar dari wilayah lain yang menuntuk ilmu di Mekkah dan Madinah.
Pada waktu Snouck Hurgronje melakukan penelitian selama 6 bulan di Mekah, ia mencatat jumlah mahasiswa Indonesia di sana mencapai 5.000 orang, mewakili 50 persen mahasiswa asing di Saudi [4].
Fenomena itu tentu membangkitkan trauma tersendiri bagi pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebab masyarakat terdidik di kalangan santri terbukti mampu menggerakkan masyarakat.
Di samping itu, meskipun perang dalam skala besar sudah berakhir, tapi letupan pemberontakan kecil di berbagai wilayah tetap berlangsung di bawah pimpinan para kyai dan pemimpin tarekat. Peristiwa yang terjadi secara beruntun ini menjadi pembicaraan besar di negeri Belanda.
Media massa ikut aktif menyuarakan usulan untuk menangulangi pemberontakan. Pasca pemberontakan petani di Cilegon misalnya, surat kabar Standaard sebuah artikel tentang pentingnya pengkristenan Hindia Belanda.
Artikel dalam surat kabar itu menyatakan persetujuannya dengan pendapat Groneman, penulis artikel itu –Ottolander dari Pancur (Situondo)- melangkah lebih jauh dari Groneman dalam mengecam pemerintah. Seperti dikatakannya “Semangat VOC masih menjiwai kalangan pemerintah”. Ia menyusun daftar sebab-sebab yang mencetuskan kerusuhan-kerusuhan itu lalu menganjurkan pembaruan-pembaruan seperti penurunan pajak, penghapusan wajib tanam, perbaikan sarana-sarana komunikasi, perbaikan pendidikan pejabat pamong praja, dan yang tidak kurang pentingnya, Kristenisasi seluruh nusantara.[5]
Fenomena tersebut telah menjadikan Di beberapa kalangan sejarawan, periode ini disebut sebagai abad misi, yang terentang dari pertengahan abad 19 sampai hengkangnya Belanda dari Indonesia.
Pada periode inilah muncul sastra-sastra anonim yang bersifat anti Islam seperti Darmagandhul dan Gatholoco, pembangunan sekolah dan rumah sakit kristen secara besar-besaran, dan kegiatan penginjilan yang dilindungi oleh negara, yang saat itu di bawah penjajahan Kerajaan Belanda.
Sampai-sampai seorang Haji Misbach yang dikenal sebagai Haji merah karena berhaluan komunispun menyebut kegiatan kristenisasi sebagai satu dari empat setan besar yang harus diperangi, yakni kolonialisme, kapitalisme, feodalisme dan kristenisasi.

Arif Wibowo
Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)

No comments: