Mak Sukaerah Saksi Hidup Keberadaan R.Dewi Sartika “Ngungsi” di Cineam

1418752974205653806
Makam R.Dewi Sartika Di Cineam Kabupaten Tasikmalaya(docpri)
“Dia seorang tamu yang datang ke Rumah *Mama (*Bahasa Sunda Bapak Tertua yang di Hormati Keluarganya) dia di iring-iringkan Oleh para Tokoh dari Pemerintahan (Mungkin Orang-orang dari pihak Pemerintahan Kecamatan sekarang –Pen) badan (Body)nya Wanita itu yang seingat emak mah,,Berbadan Tinggi Besar ,kulitnya putih mulus walaupun dia Telah Kelihatan Tua namun ada Gurat Keningratan dan bukan wanita sembarangan , maklumlah emak kan Orang Kampung tapi emak telah punya penilaian waktu itu karena Emak berumur sekitar 10-11 Tahunan ketika itu” Ucapan itu terlontar langsung Dari Mak Sukaerah (80) Anak Tertua Dari Bapak Komico (Kadus) Suharyo (Almarhum/ALM) yang Pertama di Titipi oleh utusan dari pihak pemerintahan setempat , Raden Dewi Sartika “Sang Pahlawan Nasional” Pejuang Pendidikan Istri (Wanita) Kebanggaan Warga Pasundan. *Baca; Biografi Singkat Raden Dewi Sartika Di Bawah.
Sore tadi (Selasa 16/12/2014) Penulis sempat mendatangi Kediaman Mak Sukaerah yang Terletak di Kampung Babakan Ciampanan Rt.06 Desa Ciampanan Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya.
Letak Kampung tersebut kurang lebih 1Km dari Pusat Pemerintahan Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya ,
Dia (Mak Sukaerah 80Thn) itu adalah Saksi Hidup ketika Ibu R.Dewi Sartika itu mengungsi ke Cineam ketika Zaman Penjajahan Jepang dulu, Mak Sukaerah tersebut adalah Anak Sulungnya Kepala Dusun (Komico-Bhs Jepang) di Kampung Tersebut, dia masih terlihat segar dan kelihatan Sehat walau Usianya telah memasuki Kepala Delapan (80 Tahun) namun informasi yang didapatkan penulis hanya “ terbatas” dan penulispun mencoba mengambil manfaat dari informasi yang hanya bisa di ingat dengan sangat sederhana , dari Daya Ingatnya Mak Tua yang energik tersebut.
“Perlu kamu ketahui nak,,Mama Suharyo (Alm) adalah seorang yang sangat perduli tentang keberadaan kaum lemah yang mencoba menginginkan pertolongannya , dari manapun dan kapanpun bila tamu yang datang ke Kampung ini meminta pertolongan maka mama Suharyo selalu berusaha untuk menolong Mereka , mungkin itulah yang melatar belakangi kenapa Ibu Raden Dewi Sartika di Titipkan Oleh (mungkin) - Pengurus Kecamatan (Waktu Itu) ketika Ibu Dewi datang mengungsi dan akan tinggal di Kampung ini (Kampung Babakan Ciampanan-Pen)” Emak mencoba membuka profile Bapaknya tercinta.
Sebagai Anak sulung dari enam (6) Kakak beradik (anaknya Almarhum Komico Suharyo) barangkali emak Sukaerah itu yang paling ingat ketika Ibu R.Dewi Sartika itu mengungsi dan tinggal Di Rumah Panggung “Besarnya”, Dia mengingat-ingat sebentar ketika ditanyakan “di Ruangan Mana ketika R,Dewi Sartika itu tinggal di Rumahnya ketika itu ,
” Dia datang ke sini beserta seorang Ibu-ibu yang kerap di panggil dengan nama Enong oleh Ibu R.Dewi Sartika , Nampak ketika itu Perempuan yang bersama Ibu Dewi tersebut membawa seorang Anak Kecil Perempuan !” Emak Mencoba mengingat-ingat Nostalgia berharga tersebut, dan mereka Berdua tidurnya di *Enggon (*Bhs Sunda yang Arti Katanya Ruangan Dekat Dapur ) Samping ruangan Dapur Awu tempat masak kami sekeluarga” Jelasnya.
Namun Sangat di Sayangkan , Rumah Panggung Besar Milik Keluarga Komico Suharyo (Alm) yang meninggal pada Umuran kira-kira 70 Tahunan itu telah di rubah Wujudnya jadi Sebuah Rumah semi Permanent tempat Tinggal Cucunya Mak Sukaerah,” Duch..mungkin kalau rumah panggung besar itu masih Ada dan tak berubah Wujudnya maka Tulisan sederhana ini akan sangat lengkap nuansanya,,!” Penulispun bergumam dalam relung Kalbu yang paling dalam.
Di tengah-tengah perbincangan hangat penulis dengan Emak ,datanglah Seseorang yang di kenalkan Emak bahwa dia adalah Adiknya Emak Sukaerah “Ini Adik emak namanya Rasidin (70-Tahun)!” Ungkap Emak.
Yang sempat di Perkenalkan Emak sebagai adiknyapun ikut melengkapi Obrolan Hangat seputar Tinggalnya R.Dewi Sartika di Rumah Bapaknya ketika itu ,” Ibu Dewi Sartika itu hanya sebentar tinggal di Rumah kami , dia keburu sakit dan tidak lama meninggal dan kamipun beserta Orang-orang kampung pergi ke Tempat Pemakamannya yang di makamkan di Pemakaman Umum (TPU) Kampung Kami , dan saya ingat ketika itu saya di kasih makanan berupa bungkusan nasi oleh Bapak (Komico/Kadus Suharyo) , dan ke tempat Pemakaman (Peristirahatan Terakhir) Ibu Dewi itu banyak yang datang tamu dan saya Asing ketika itu , karena bukan Warga Daerah saya !” Rasidin (70) mencoba melengkapi orolan hangat seputar Cerita bersejarah tersebut.
Emak Suhaerahpun balik bertanya Kepada Penulis “Ada maksud apa nak,,,kau tanyakan hal-hal semacam itu pada Emak?” Penulis mencoba menjawab dengan sejujurnya bahwa ; “ Ketika Bangsa Indonesia telah Merdeka dan Kini tengah mencoba memperjuangkan jadi sebuah Negara yang berdaulat dari berbagai Upaya dan Thema Daulat itu sendiri, maka ada Seorang pejuang Perempuan dari Pasundan yang mencoba memperjuangkan Pendidikan untuk para Wanita di Sekelilingnya ketika pada waktu itu sangat terzdalimi oleh Penjajah, dan saya sepakat dengan Ungkapan Nyata Bung Karno sang Proklamator bahwa Sebuah Negara Yang Besar itu adalah Sebuah bangsa yang menghargai Jasa-jasa pahlawannya!” Penulis mencoba menerangkan kepada Emak.
Sebuah Puisi Tertuangkan;
Kau laksana kilat yang hadir manakala di sebuah lembah itu gelap gulita
Kau laksana Minyak Kesturi yang di Suling Di Ruangan Wanginya Surgawi
Ibu Dewi Sartika kau Harum mewangi ke relungnya Para Wanita Sejati
Kau telah disana namun Cahayamu di Relung Hati kami disini
Dan tak akan Pernah Pudar warna dan cahayanya , kau Istri Salehah kiprahmu abadi TuhanMu mencintai Manusia Sejati yang member setitik cahaya pada relung Wanita Pasundan…
Kau tiupkan wangi harum bungan Kesturi ke Hidung-hidung kami ……
Di Tulis Di *Tugu Makam Dewi sartika ketika rintik hujan membasahi Sejatinya Persemayaman Terakhir Wanita Cantik nan Perkasa dari Pasundan.# Kompasiana.
*Keterangan Photo; Tugu Persemayaman Raden Dewi Sartika di Kampung Babakan Ciampanan Desa Ciampanan Kec;Cineam Kabupaten Tasikmalaya , Suasana Tugu itu terlihat kurang perawatan , dan sebuah Logam Perunggu berbentuk Lima Bunga Teratai telah di curi tangan-tangan jahil tak bertanggung jawab.
Oleh; Asep Rizal.

14187533281174550771
Mak Sukaerah Dan adiknya Saksi Hidup Keberadaan R.Dewi Sartika Ketika Berada Di Cineam(docpri)
*BIOGRAFI “SINGKAT” DARI WANITA SUNDA NAN MENAWAN RADEN DEWI SARTIKA PAHLAWAN ISTRI DARI PASUNDAN.
Raden Dewi Sartika dilahirkan di Bandung, tanggal 4 Desember 1884. Ia terkenal dengan julukan “Djuragan Dewi” atau “Djuragan Ageung”. Ayahnya adalah seorang patih, berkedudukan di Bandung dan namanya Raden Somanagara, sedangkan ibunya bernama Raden Aju Radjapermas.
Foto Dewi Sartika
Suasana masyarakat Bandung saat Raden Dewi Sartika dilahirkan dan dibesarkan adalah suasana yang masih feudal-kolonial. Saat itu juga terjadi tindakan melawan ketidakadilan pemerintahan feudal-kolonial, salah satunya adalah adanya peristiwa peletakan bom di bawah panggung pacuan kuda di Tegallega, di mana saat itu para pembesar kolonial akan hadir di pacuan itu, dan akan diledakkan saat pacuan berlangsung.
Saat bom ditemukan dan telah diadakan pengusutan, bukti mengarah kepada ayah Raden Dewi Sartika. Saat pengusutan berlangsung Patih Somanagara dipindahkan ke Mangunredja, Priangan Timur. Setelah dinyatakan bersalah Raden Somanagara dibuang ke Ternate hingga meninggal dunia di sana.
Raden Dewi Sartika pada awalnya disekolahkan oleh ayahnya di sekolah Belanda, namun sekolah tersebut tidak bisa meluluskannya karena saat itu ayahnya menjalani pembuangan. Dan tidak ada sekolah yang saat itu terbuka pintunya bagi anak seorang buangan.
Raden Dewi Sartika kemudian dirawat oleh bapak-tuanya Patih Aria Tjitjalengka. Di dalam keluarga inilah ia melanjutkan pendidikannya, baik dalam pekerjaan kerajinan kewanitaan, maupun dalam hal perkembangan intelektualnya.
Raden Dewi Sartika adalah seorang gadis yang periang, rajin dan suka bergaul dengan anak-anak rakyat, sabar dan tidak suka berselisih. Ia mempunyai kebiasaan bermain-main guru dan sekolah ketika selesai melaksanakan tugasnya.
Di belakang dapur kepatihan ia mengajar menulis dan membaca teman-teman sesama gadis, anak-anak pembantu rumah tangga Kepatihan. Dan anak-anak rakyat sekeliling kepatihan itu yang termasuk temannya. Batu tulis yang digunakan saat itu adalah pecahan genting. Papan tulis menggunakan papan-papan yang ada, sedangkan kapur tulis yang digunakan adalah arang kayu. Bakat mengajarnya sudah tampak saat ia masih gadis kecil dan kemudian berkembang saat ia dewasa.
Ketika remaja, Raden Dewi kembali ke ibunya di Bandung. Ia berpikir bagaimana caranya agar bisa mendirikan sebuah sekolah, dimana ia berkesempatan memberikan pelajaran kepada gadis-gadis, baik anak-anak golongan priyayi, maupun anak-anak dari golongan rakyat. Ia ingin memberikan kemajuan kepada kaum wanita, yang di zamannya, yakni zaman feudal-kolonial, sangat dibelakangkan, jika dibandingkan dengan pendidikan kaum pria saat itu.
Jalanpun terbuka, ketika keinginannya sampai kepada Bupati Bandung R.A.A. Martanagara. Dengan pertolongan Bupati ini, dan bantuan pembesar-pembesar yang berwajib saat itu, maka pada tanggal 16 Januari 1904, Raden Dewi mulai membuka sekolah gadis pertama di Priangan (Bandung), bahkan yang pertama di Indonesia, dengan mengambil tempat di ruangan persidangan kabupaten sebelah barat. Dibuka sekaligus kelas satu dan kelas dua dengan tiga orang guru. Sekolah itu bernama “Sakola Istri”.
Padatahun 1905, karena kekurangan ruangan maka “Sakola Istri” dipindahkan ke suatu tempat di luar halaman kabupaten, di jalan yang kemudian bernama DJalan Raden Dewi.
Di sekolah tersebut, para gadis tidak hanya mendapat pelajaran yang bersifat umum saja tetapi juga kerajinan tangan wanita yang saat itu bermanfaat bagi rakyat seperti menjahit menisi, menambal, menyulam, dan merenda.
Pada tahun 1906, Raden Dewi Sartika, menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, yang masih kaum kerabatnya guru di sekolah Karangpamulangan di Bandung. Dengan bantuan moril suaminya ini maka semakin berkembang pula cita-cita dari Raden Dewi.
Sekolah yang semula dinamakan “Sakola Istri” itu pada tahun 1910 diganti namanya dengan “Sakola Kautamaan Istri” dan mata pelajarannya ditambah dengan memasak, mencuci, menyetrika, dan membatik.
Perhatian dari pihak berwajib saat itu kian bertambah. Murid-murid tidak hanya terbatas pada gadis-gadis yang berada di Bandung dan sekitarnya tetapi datang pula dari Sumatera. Beberapa gadis datang dari Bukittinggi untuk belajar dan kemudian diaplikasikan kembali di kampung halamannya dengan mendirikan sekolah keutamaan istri.
Sekolah gadis ini menyebar ke beberapa tempat di Jawa Barat, Garut, Purwakarta, dan Tasikmalaya.
Karena baktinya kepada bangsa dalam usahanya mengangkat kaum wanita ketingkatan yang lebih baik, maka pemerintah saat itu memberikan penghargaan dan tanda-tanda jasa kepada Raden Dewi. Nama sekolahnya kemudian menjadi “Sakola Raden Dewi”
Pada tanggal 16 Januari 1939, Raden Dewi Sartika menghadiri perayaan ke-35 tahun berdirinya sekolah yang ia idam-idamkan bagi kemajuan kaum wanita. Perayaan ini mendapat sangat banyak perhatian baik dari kalangan masyarakat di Jawa Barat maupun dari kalangan pemerintah.
Enam bulan kemudian, tanggal 25 Juli 1939, Raden Dewi Sartika ditimpa musibah. Ia ditinggal oleh suaminya yang telah memberikan bimbingan dan dukungan yang menghasilkan tercapainya cita-citanya. Raden Agah Suriawinata meninggal dunia saat itu.
Di saat Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942, Sekolah Raden Dewi dibubarkan oleh Jepang dan diganti dengan Sekolah Gadis. Pada tahun 1946 saat peristiwa Bandung Lautan api, gedung sekolah saat itu terhindar dari bahaya api.
Raden Dewi sekeluarga saat itu meninggalkan Bandung, mengungsi ke Tjiparaj, sebelah tenggara Bandung, kemudian karena adanya pertempuran berpindah lagi ke Garut, dan dari sini berpindah ke daerah pegunungan di sebelah selatan Tjiamis, yakni di Tjineam.
Sementara itu keadaan Raden Dewi telah menjadi lemah. Di Tjineam ini ia menderita sakit keras, dan dirawat di rumah sakit darurat Republik Indonesia, di mana ia kemudian menyusul suaminya pulang menghadap Ilahi.
Raden Dewi Sartika meninggal pada hari Kamis, tanggal 11 September 1947, pukul 09.00 pagi. Dimakamkan di tempat itu, lalu dipindahkan ke Bandung, sisa-sisa jasadnya diperistirahatkan untuk selama-lamanya berdekatan dengan peristirahatan sang suami -kawan seperjuangan. Hal ini terjadi di tahun 1951*Dari Berbagai Sumber.

Asep Rizal.

No comments: