NWO Untold Sejarah Tersembunyi Freemasonry dan Iluminaty

moses_snake

Berpegang pada pendapat dan temuan para peneliti di ataslah, penulis The Hiram Key meyakini para Templar telah menemukan sesuatu yang telah mengubah pandangan mereka terhadap dunia dan kehidupan. Ada pula yang secara kritis memandang bahwa kedatangan para Templar ke Yerusalem tentulah ada yang membawanya. Para Templar itu, asalnya adalah penganut Kristen dan datang dari Dunia Kristen, namun setelah di Yerusalem dan menemukan sesuatu, mereka kemudian dengan cepat mengalami perubahan fundamental dan diketahui mulai mempraktekkan ritual-ritual yang tak ada hubungannya sama sekali dengan kekristenan, upacara sihir, dan berbagai bid’ah lainnya. Sesuatu itu diyakini sebagai Kabbalah.
Menurut Encarta Encyclopedia (2005), istilah Kabbalah berasal dari bahasa Ibrani yang memiliki pengertian luas sebagai ilmu kebatinan Yahudi atau Judaism dalam bentuk dan rupa yang amat beragam dan hanya dimengerti oleh sedikit orang. Pada abad ke-13 petilasan Kabbalah ditemukan di Spanyol dan Provence (Perancis). Sedang secara harfiah, Kabbalah memiliki arti sebagai ‘tradisi lisan’. Kabbalah ini mempelajari arti tersembunyi dari Taurat dan naskah-naskah kuno Judaisme. Walau demikian, diyakini bahwa Kabbalah sesungguhnya memiliki akar yang lebih panjang dan merujuk pada ilmu-ilmu sihir kuno di zaman Fir’aun yang biasa dikerjakan dan menjadi alat kekuasaan para pendeta tinggi di sekitar Fir’aun.
Kabbalah yang juga secara harfiah memiliki arti sebagai ‘Tradisi lisan’ ini di dalamnya sarat dengan berbagai filsafat esoteris dan ritual penyembahan serta pemujaan berhala, bahkan penyembahan iblis, yang telah ada jauh sebelum Taurat dan telah menyebar luas bersama Judaisme, yang seluruhnya berurat dan berakar pada praktek-praktek kebatinan serta penyembahan dewa-dewi yang sudah ada pada zaman Mesir Kuno. Hal tersebut diutarakan oleh pakar sejarah Yahudi Fabre d’Olivet. “Kabbalah merupakan suatu tradisi yang dipelajari oleh sebagian pemimpin Bani Israil di Mesir Kuno, dan diteruskan sebagai tradisi dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi,” demikian d’Olivet. Banyak kalangan percaya, Kabbalah adalah induk dari segala induk ilmu sihir yang ada di dunia hingga hari ini.
Dianutnya Kabbalah oleh orang-orang Yahudi mengundang tanda tanya besar pada diri seorang Harun Yahya. “Ini sungguh aneh. Jika kita memandang Yahudi sebagai sebuah agama Monoteistik, yang diawali dengan turunnya Taurat kepada Nabi Musa a.s. Tapi kenyataannya, di dalam agama ini ada sebentuk sistem yang disebut Kabbalah, yang mengadopsi praktik-praktik dasar sihir yang sebenarnya dilarang dan bertentangan dengan Taurat. Hal ini memperkuat apa yang telah disebutkan sebelumnya, dan menunjukkan bahwa Kabbalah sebenarnya merupakan elemen yang menyusup ke dalam agama Yahudi dari luar.”
Pelacakan terhadap Kabbalah, intisari pijakan ideologis Biara Sion yang kemudian ditularkan ke Ordo Ksatria Templar, lalu diturunkan kepada Freemason, dan sebagainya yang kemudian mengejawantah dalam bentuk konspirasi kelompok Neo-Con di Amerika, Judeo-Christian atau Zionis-Kristen yang berasal dari The Holy Scofield Bible, dan termasuk di alam bawah sadar para pemimpin Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa—Oikumene negeri-negeri Kristen Eropa dan sebagainya, membawa kita pergi jauh ke masa silam, saat Fir’aun masih disembah sebagai Tuhan, saat Nabi Musa a.s. berjuang mendakwahkan ketauhidan pada bangsa Israil yang keras kepala di Mesir kuno.
eye horus
Sihir Dan Militer

Salah satu peradaban tertua dunia yang hingga kini masih bisa kita saksikan sisa-sisa peninggalannya dengan baik, bahkan walau sudah banyak yang ditemukan, namun rahasia dan misteri yang tersimpan di dalamnya masih saja belum terhampar dengan jelas, adalah sisa peradaban Mesir Kuno di bawah kekuasaan para Fir’aun. Mesir kuno merupakan sebuah sejarah purba yang sarat dengan misteri dan tradisi paganisme, okultisme, di mana ilmu-ilmu sihir dipraktikkan dengan bebas bahkan menjadi salah satu tiang penyangga kekuasaan Fir’aun, selain tentu saja para tentaranya.
Ada begitu banyak catatan para peneliti yang mengupas asal-muasal dan legenda tentang zaman Mesir Kuno ini. Kitab-kita suci dari berbagai agama juga memaparkan secara panjang lebar keberadaan Fir’aun dan kerajaannya. Al-Qur’an memuat secara detil tentang hal ini melalui kisah pertemuan Nabi Musa a.s. dengan Fir’aun.
Bahkan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu, demikian Harun Yahya, kita akan bisa dengan jelas melihat adanya dua titik fokus kekuatan yang ada di Mesir yang menjadi dua tonggak penyangga rezim penguasa yakni sosok Fir’aun dan para pembesar istana yang sering menjadi penasehatnya. Para pembesar istana ini berkumpul di satu dewan yang sering memberi nasehat atau pandangan kepada Fir’aun. Mereka tertdiri dari Dewan Militer dan Dewan Penyihir Tertinggi. Fir’aun pun sering berkonsultasi dan meminta pandangan-pandangan mereka. Bahkan tidak jarang, nasehat dan masukkan dari para penasehatnya—terutama dewan penyihir tertingginya—mengalahkan pendapat pribadinya sendiri. Fir’aun sangat menghormati Dewan Penyihir Tertingginya ini.
Dalam Al-Qur’an dikisahkan tentang pertemuan antara Nabi Musa a.s. dengan Fir’aun: “Dan Musa berkata: “Hai Fir’aun, sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Tuhan semesta alam, wajib atasku tidak mengatakan sesuatu terhadap Allah, kecuali yang hak. Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersama aku”.
Mendengar permintaan Musa yang begitu berani, Fir’aun menjawab, “Jika benar kamu membawa sesuatu bukti, maka datangkanlah bukti itu jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang benar.” Maka Musa lalu menjatuhkan tongkatnya. Seketika itu juga, tongkat kayu yang dipegang Musa berubah menjadi ular yang besar. Musa kemudian mengeluarkan tangannya dari balik jubahnya dan terlihatlah tangan itu menjadi putih berkilauan dan terlihat oleh orang-orang di sekitarnya.
Menyaksikan hal ini para pemuka kaum Fir’aun dengan sinis berkata kepada Fir’aun, “Sesungguhnya Musa ini adalah ahli sihir yang pandai yang bermaksud hendak mengeluarkan kamu dari negerimu.” Mendengar hal tersebut, Fir’aun lalu bertanya,”Maka apakah yang kamu anjurkan?.”
Para penasehat Fir’aun itu menjawab, “Beri tangguhlah dia dan saudaranya, serta kirimlah ke kota-kota beberapa orang yang akan mengumpulkan (ahli-ahli sihir), supaya mereka membawa kepadamu semua ahli sihir yang pandai.” Ini semua bisa disimak di dalam Al-Qur’an surat Al A’raaf ayat 104-112. Fir’aun lalu menerima masukan dari para penasehatnya tersebut.
Dalam kisah ini jelas terlihat peran penting para penasehat Fir’aun. Para penasehat itu sering berkumpul di sisi Fir’aun dan disebut sebagai Dewan Penasehat. Mereka inilah yang berperan besar dalam menasihati Fir’aun, yang menghasutnya untuk terus melawan melawan Musa, dan merekomendasikan kepadanya metode-metode tertentu dalam menghadapi Nabi Musa a.s. Jika diamati dengan seksama, maka kita akan mendapati bahwa rezim Fir’aun itu ditopang oleh dua kekuatan besar yang solid berada di belakangnya yaitu para tentaranya dan para pendetanya.
Yang pertama, tentara, agaknya tidak perlu dibahas lebih panjang karena peranannya sudah amat jelas dan terang. Sedang yang kedua, peranannya sangat penting namun terkesan diabaikan dan tidak dianggap penting. Padahal, dasar pijakan ideologis Fir’aun dan ‘agamanya’ berasal dari golongan ini. Para pendeta Mesir Kuno merupakan golongan yang disebutkan di dalam Al Quran sebagai ahli-ahli sihir. Mereka merepresentasikan sekte yang mendukung rezim dan memiliki kekuatan khusus serta menguasai pengetahuan rahasia. Dengan otoritas ini mereka mempengaruhi rakyat Mesir, dan mengukuhkan posisi mereka di dalam pemerintahan Fir’aun.
Golongan ini oleh sejarah disebut sebagai “Para Pendeta Amon” dan memusatkan perhatiannya untuk mempraktikkan ilmu sihir dan memimpin sekte pagan mereka. Cabang ilmu yang dipelajari para Pendeta Amon ini meliputi beragam ilmu pengetahuan seperti astronomi, matematika, dan geometri, namun kesemuanya itu ditujukan untuk menggali ilmu-ilmu sihir mereka. Mereka sangat tertutup, mengadakan ritual-ritual sihir dengan sesama mereka, membanggakan diri dan kelompoknya bahwa merekalah yang terhebat dan memiliki pengetahuan khusus tentang sihir, dan menyebut kelompoknya sebagai ordo.
Seiring perjalanan waktu dan perkembangan pemikiran manusia, ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan. Bersamaan itu, jumlah rahasia pun meningkat di dalam pengetahuan pada sistem esoterik. Dalam perkembangannya, ritual-ritual yang bermula dari Mesir ini kemudian menyebar ke wilayah lain dan kemudian diketahui muncul di Cina dan Tibet, kemudian India, Mesopotamia, dan daerah lainnya. Mesir tetap menjadi basis kegiatan ritual esoterik hingga pada abad-abad modern.
Lantas bagaimana sesungguhnya hubungan antara filsafat esoterik para pendeta Mesir Kuno dan Biarawan Sion dan segala derivatnya? Untuk menemukan jawabannya, demikian Harun Yahya, kita harus mencermati berbagai kepercayaan para pendeta Mesir Kuno yang berhubungan dengan asal usul alam semesta dan kehidupan.
satanastroyear

Ilmu sihir yang ada sekarang ini diyakini berasal dari tradisi dan kepercayaan Babilonia kuno dan Mesir Kuno. Biarawan Sion diyakini telah mewarisi atau setidaknya mempelajari dengan kesungguhan yang luar biasa ilmu yang jelas-jelas berada di luar ajaran Tuhan ini. Semuanya bisa ditelusuri dalam kisaj antara Nabi Musa dan Bani Israil.

Nabi Musa dan Bani Israil

Dalam Taurat kitab “Keluaran” (Exodus) ada kisah tentang Nabi Musa a.s. dan Bani Israil. Namun sayangnya, keotentikan kitab Taurat ternyata sudah tercemar dengan berbagai penambahan yang dilakukan pihak-pihak tertentu. Dalam Kitab Ulangan ditemukan kisah kematian dan penguburan Nabi Musa a.s. Padahal kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Tidak bisa tidak, inilah bukti bahwa Taurat sudah tidak lagi asli.
Hal yang sama terjadi pula pada kitab-kitab suci lainnya, terkecuali Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an-lah kita bisa menemukan kisah yang paling akurat tentang eksodusnya Nabi Musa a.s. dan Bani Israil dari Mesir. Pada pengisahan tentang keluarnya Bani Israil dari Mesir, sebagaimana juga pada semua kisah lain yang berhubungan dengannya, tidak ada sedikit pun pertentangan. Kisah tersebut diceritakan kembali dengan jelas.
Lewat Al-Qur’an kita menjadi tahu betapa sikap kelakuan Bani Israil tidak bisa berubah walau mereka telah diselamatkan Allah SWT dengan diseberangkannya mereka melewati Laut Merah yang terbelah. Bani Israil tidak mampu memahami ajaran tauhid yang disampaikan Musa kepada mereka, dan terus cenderung kepada penyembahan berhala. Al-Qur’an memaparkan sikap mereka yang aneh ini pada ayat berikut:
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai pada suatu kaum yang tetap meyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)’. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”.
Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al A’raaf: 138-139)
Walau telah diperingatkan oleh Nabi Musa a.s., Bani Israil tetap dalam pendirian dan penentangannya. Dan ketika Musa meninggalkan mereka, mendaki Bukit Thursina seorang diri untuk menerima “Firman yang Sepuluh” (The Ten Commandment), penentangan itu tampak sepenuhnya. Dengan memanfaatkan ketiadaan Musa, tampillah seorang bernama Samiri. Dia meniup-niupkan kecenderungan Bani Israil terhadap keberhalaan, dan membujuk mereka untuk membuat patung seekor anak sapi dan menyembahnya. Samiri[1] merupakan salah satu tokoh tinggi Kabbalah.
“Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: “Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?”.
Mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, maka kami telah melemparkannya, dan demikian pula Samiri melemparkannya”, kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka (dari lobang itu) anak lembu yang bertubuh dan bersuara, maka mereka berkata: “Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa.” (QS. Thahaa, 20: 86-88)
abraham_pharaoh_thumb

Mengapa ada kecenderungan yang gigih di kalangan Bani Israil untuk membangun berhala dan menyembahnya? Dari mana kecenderungan ini bersumber? Harun Yahya, yang meneliti dan memaparkan kisah ini sampai pada satu hipotesis: “Sudah tentu, suatu masyarakat yang sebelumnya tidak pernah menyembah berhala, tidak akan secara tiba-tiba berkelakuan bodoh seperti membangun patung dan menyembahnya. Hanya mereka yang memiliki kecenderungan alami terhadap berhala yang akan mempercayai omong kosong semacam itu.”
Namun walau demikian, dahulu kala sebelumnya Bani Israil adalah kaum yang bertauhid. Nama ‘Bani Israil’ pertama kali diberikan kepada putra-putra Ya’kub, cucu Ibrahim, dan setelahnya semua bangsa Yahudi merupakan keturunannya. Bani Israil telah menjaga iman tauhid yang mereka warisi dari leluhur mereka Ibrahim, Ishak, dan Ya’kub a.s. Bersama Yusuf a.s., mereka pergi ke Mesir dan memelihara ketauhidan itu dalam waktu yang panjang. Walau mereka hidup di tengah masyarakat Mesir yang masih menganut paganisme, banyak dewa. Jadi, ketika Musa datang kepada mereka, Bani Israil masih merupakan satu kaum yang bertauhid.
Satu-satunya penjelasan untuk ini adalah bahwa Bani Israil secara perlahan terpengaruh oleh kaum pagan yang hidup bersama mereka, dan mulai meniru mereka. Satu bukti penting yang mendukung kesimpulan ini adalah bahwa anak sapi emas yang disembah Bani Israil saat Musa berada di Gunung Sinai. Anak sapi emas ini merupakan tiruan dari berhala Mesir Kuno bernama Hathor dan Aphis. Penulis Kristen Richard Rives dalam bukunya Too Long in the Sun menulis:
Hathor dan Aphis, dewa-dewa sapi betina dan jantan bangsa Mesir, merupakan perlambang dari penyembahan matahari. Penyembahan mereka hanyalah satu tahapan di dalam sejarah pemujaan matahari oleh bangsa Mesir. Anak sapi emas di Gunung Sinai adalah bukti yang lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa pesta yang dilakukan berhubungan dengan penyembahan matahari….
Pengaruh agama pagan bangsa Mesir terhadap Bani Israil terjadi dalam banyak tahapan yang berbeda. Begitu mereka bertemu dengan kaum pagan, kecenderungan ke arah kepercayaan bidah ini muncul dan sebagaimana disebutkan dalam ayat, mereka berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka memunyai beberapa tuhan (berhala).” (QS. Al A’raaf, 7: 138) Apa yang mereka ucapkan kepada Nabi mereka, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.” (QS. Al Baqarah, 2: 55) menunjukkan bahwa mereka memiliki kecenderungan untuk menyembah benda nyata yang dapat mereka lihat, sebagaimana yang terdapat pada agama pagan bangsa Mesir.
Kecenderungan Bani Israil terhadap paganisme Mesir Kuno penting untuk dipahami dan hal itu kelak memberi kita wawasan tentang perubahan dari teks Taurat dan asal usul dari Kabbalah. Jika kita pikirkan kedua topik ini dengan hati-hati, kita akan mencermati bahwa, pada sumbernya, ditemukan paganisme Mesir Kuno dan filsafat materialis sebagai asal-muasal Kabbalah.
Dari Al-Qur’an dan keterangan pendukung lainnya diketahui bahwa semasa Nabi Musa a.s. masih hidup, Bani Israil telah mulai membuat tiruan dari berhala-berhala yang mereka lihat di Mesir dan menyembahnya. Setelah Musa wafat, makin besarlah pengikut keyakinan sesat ini. Tentu saja, ini tidak terjadi pada semua orang Yahudi. Masih ada orang-orang Yahudi yang tetap dalam ketauhidan mereka. Namun jumlah yang berjalan dengan lurus ini sangatlah sedikit dibanding yang menyeleweng. Namun bagaimana pun juga, hati kecil orang-orang ini sebenarnya mengetahui bahwa hal tersebut tidaklah benar. Sebab itu, mereka kemudian mulai menyusupkan ajaran paganisme ini sedikit demi sedikit ke dalam Taurat mereka, sehingga di kemudian hari terciptalah Taurat—yang sesungguhnya kitab yang mendukung ketauhidan—menjadi sebuah kitab yang membenarkan Kabbalah, suatu keyakinan esoterik bangsa Mesir purba. Taurat yang telah banyak dicampuri dengan tangan manusia itu kemudian menjadi tidak beda dengan Kitab Talmud, sebuah kitab kuno yang merangkum tradisi dan ritual bangsa Yahudi awal.
Dengan mengadopsi doktrin-doktrin dari Kabbalah yang berlandaskan ilmu sihir ini, Bani Israil telah mengubah Taurat dan memasukkan Kabbalah sebagai doktrin mistis di dalam agama Yahudi, walau ini sesungguhnya bertentangan dengan Taurat yang asli. Penulis Inggris Nesta H. Webster dalam Secret Societies and Subversive Movements, menulis:
Ilmu sihir telah dipraktikkan oleh bangsa Kanaan sebelum pendudukan Tanah Filistin oleh Bani Israil; Mesir, India, dan Yunani juga memiliki tukang tenung dan peramal. Walau di dalam Hukum-Hukum Musa terkandung pelarangan atas ilmu sihir, bangsa Yahudi, dengan mengesampingkan peringatan ini, tertular dan mencampurkan tradisi suci yang mereka warisi dengan pemikiran-pemikiran yang sebagian dipinjam dari bangsa lain dan sebagian karangan mereka sendiri. Secara bersamaan, sisi spekulatif dari Kabbalah Yahudi meminjam dari filsafat Persia Magi, Neo-Platonis, dan Neo-Phytagorean. Maka, terdapat justifikasi bagi pendapat kelompok anti-Kabbalah bahwa apa yang kita kenal sebagai Kabbalah saat ini tidaklah murni asli dari Yahudi.
Tentang hal ini Al-Qur’an telah menyinggungnya dan menyatakan bahwa Bani Israil mempelajari ritual persihiran setan dari sumber-sumber di luar agama mereka sendiri.
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”.
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 102) [Bersambung/rizki ridyasmara]
[1] Ada yang mempercayai bahwa istilah “Uncle Sam’ berasal pula dari nama Samiri ini atau yang dalam bahasa Ibrani disebut Shamir. Istilah Semit pun diduga berasal dari Nama Samiri. Walau demikian, ada pula yang berpandangan bahwa ‘Uncel Sam’ sesungguhnya merujuk pada Sain-Germain, yang juga tidak jelas latar belakangnya. Hanya saja bangsa Amerika percaya, Saint Germain merupakan reinkarnasi dari orang-orang besar yang pernah hidup di dunia dan disetarakan dengan ‘Dewa Kebebasan’.
Sejak segolongan dari Bani Israil membuat patung-patung untuk disembah mengikuti kaum pagan Mesir kuno, menyisipkan ayat-ayat bikinan sendiri yang mendukung Kabbalah ke dalam Taurat, sejak itulah banyak di antara golongan bangsa Yahudi yang kemudian jatuh terperosok ke dalam kepercayaan yang salah dan sesat. Walau demikian, tetap ada hingga kini orang-orang Yahudi yang tetap berjalan lurus mengikuti ajaran Taurat Musa a.s. Bisa jadi, sekarang ini mereka diwakili oleh kelompok orang Yahudi yang anti kepada Zionisme-Israel. Hal tersebut sesuatu yang lumrah dan biasa.
Kaum Yahudi penganut Kabbalah, yang karena beberapa ajaran mistismenya menjadi kelompok-kelompok rahasia dan tertutup terhadap ‘orang luar’, meneruskan tradisi ini turun-temurun secara lisan. Beberapa tradisi ajaran pagan ini diyakini ditulis dalam perkamen-perkamen dan naskah-naskah kuno, namun yang tertulis ini dibuat dengan sandi-sandi dan kode tertentu, dan juga disimpan di suatu tempat yang dianggap aman. Tradisi lisan inilah yang kemudian disebut sebagai Kabbalah. Jadi, ketika Bani Israil berjumpa dengan ajaran pagan ini, namanya belumlah Kabbalah, namun yang lain dan tidak diketahui secara pasti mana nama yang dahulu dipakai.
ASAL MUASAL BIARAWAN SION
cabalaJika Harun Yahya dan penulis lainnya menganggap Bani Israil terkontaminasi dengan ajaran paganisme yang dilakukan oleh para pendeta penyihir yang berada di sekeliling Fir’aun, sehingga mencampakkan ketauhidan dengan memegang erat ajaran Kabbalah yang berasal dari kata Ibrani ‘Qibil’ yang bermakna: menerima. Maka seorang Z.A. Maulani dengan berdasarkan penelitian literaturnya merujuk akar Kabbalah dan asal-muasal Biarawan Sion lebih jauh lagi, ke masa-masa di mana Nabi Ibrahim a.s., Bapak Para Nabi, masih hidup.
Menurut Maulani, sejak Bani Israil terlahir dari anak keturunan Ishaq, telah ada sebagian yang cenderung pada kesesatan. Apakah kesesatan itu sesuatu yang sudah inheren berada dalam diri mereka atau karena faktor eksternal, hal ini tidak diketahui secara pasti.
Yang jelas, bagian dari Bani Israil awal yang telah condong pada kesesatan ini membentuk satu kelompok tersendiri, bersifat tertutup dan penuh dengan kerahasiaan, dan memelihara ajaran Kabbalah. Shamir atau Samiri yang diabadikan namanya dalam Al-Qur’an merupakan salah satu pendeta tinggi Kabbalah.
Beberapa waktu setelah berakhirnya pendudukan Romawi atas Palestina, para pendeta tinggi Kabbalah merekam secara tertulis ajaran Kabbalah ini ke atas papyrus berupa gulungan (Scroll) sebagai usaha agar ajaran itu dapat diwarisi kepada generasi Yahudi berikutnya. Tugas menyalin ajaran Kabbalah itu dibebankan kepada dua orang petingginya yakni Rabi Akiva ben Josef yang menjadi The Grand Master Pendeta Sanhedrin, dan wakilnya, Rabi Simon ben Joachai. Saat itu Kabbalah tersusun dalam dua kitab: Sefer Yetzerah (Kitab Genesis yang menguraikan proses penciptaan alam semesta menurut Kabbalah), dan Sefer Zohar (Kitab Keagungan).[1]
Kitab Zohar penuh dengan ayat-ayat yang hanya bisa dipahami dengan memecahkan kode-kode dan sandi-sandinya. Amsal dan ayat-ayat dalam Kitab Zorah hanya bisa dipahami dengan bantuan Kitab Yetzerah yang berfungsi sebagai kitab tarjamah. Beberapa abad sesudah Masehi, di Eropa muncul lagi sebuah kitab Kabbalah yang diberi nama Sefer Bahir atau Kitab Cahaya. Walau pada awalnya hanya ditulis dalam bahasa Ibrani, atas pertimbangan pragmatisme kemudian juga disalin dalam bahasa latin. Ketiga kitab itu samapi saat ini menjadi pegangan suci para penganut okultisme (Gereja Setan dan Kabbalah).
zohar_640x360Di Palestina, kelompok persaudaraan Kabbalah dipimpin oleh Herodus II (Herodes), Gubernur Romawi untuk Yerusalem, yang dibantu dua orang: Ahiram Abiyud dan Moav Levi. Herodus II memimpin kaum Kabbalis melawan penyebaran ajaran Yesus dan berupaya membangun kembali Haikal Sulaiman di Yerusalem sebagai basis gerakan mereka. Majelis Tertinggi Kabbalah yang terdiri dari sembilan pendeta tertinggi menggelar sidang pada tanggal 10 Agustus 43 Masehi. Sidang itu dipimpin langsung oleh Herodus II dan menyepakati akan mengakhiri kegiatan Yesus serta para muridnya. Sebelumnya, Herodus II inilah yang telah memerintahkan penyembelihan terhadap Nabi Zakaria a.s. dengan memakai gergaji pemotong kayu. Ia juga yang bertanggungjawab dalam kasus pembunuhan Nabi Yahya a.s. dan memerintahkan agar mempersembahkan kepala Nabi Yahya yang telah dipenggal di atas sebuah nampan ke hadapannya.
Dengan kekuasaannya, Herodus memerintahkan Majelis Tinggi Pendeta Sanhedrin, badan tertinggi pada hirarki kependetaan Yahudi, agar mengeluarkan dekrit hukuman mati berdasarkan hukum Romawi di atas kayu salib terhadap Yesus dengan tuduhan telah menghujat Tuhan. Dengan waktu singkat berdiri pula empatpuluhan gereja Kabbalis di Palestina dan kemudian menyebar ke seluruh kekaisaran Romawi dan membangun akarnya di Eropa.
Apakah dengan ini berarti Tahta Suci Vatikan merupakan hasil kerja dari Herodus II? Jika benar, mengapa Kaum Kabbalis yang mengejawantah dalam organisasi Templar dan Freemason kemudian hendak menghancurkan Tahta Suci Vatikan dan membangun Tahta Suci di Yerusalem bagi The Second Coming Yesus Kristus, seolah kaum Kabbalis ini adalah kaum pembela Yesus?
Bukankah kaum ini merupakan satu kaum pembunuh para nabi? Atau mungkin ini terkait dengan kelaziman mereka dalam menjaga situasi konflik agar mereka bisa terus bekerja dengan rapi? Dan jika mereka membunuh Yesus, mengapa Yesus malah diselamatkan kaum Esenes dengan para Zealotnya yang juga merupakan kaum Yahudi? Apakah dengan ini menjadi satu pembuktian bahwa sesungguhnya Bani Israil atau kaum Yahudi itu tidaklah satu, bukan satu kaum yang bersatu, melainkan terpecah-belah ke dalam berbagai kepentingan?
Sekte Esenes dengan Zealotnya serta kaum Gnostik lainnya yang meyakini Yesus hanyalah seorang Nabi, bukan Tuhan, yang hidup penuh dengan kesederhanaan dan lurus di satu sisi, berhadapan dengan para Yahudi Talmudian yang cenderung menyembah setan dan hidup berkomplot dalam kejahatan demi menguasai dunia bagi diri mereka sendiri. Di masa modern, pemilahan ini bisa jadi tergambar dalam friksi tajam di antara kaum Yahudi sendiri antara yang pro-Zionis-Israel, berhadapan dengan kaum Yahudi yang anti Zionis-Israel. Di Amerika Serikat, berdiri organisasi Yahudi bernama Neturei-Karta yang merupakan kelompok Yahudi yang anti terhadap Zionisme dan Israel.
Kelompok persaudaraan Kabbalah diyakini telah berusia lebih dari 4.000 tahun. Jauh lebih tua dari agama Kristen itu sendiri. Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan ordo ini lahir. Namun sejumlah peneliti mencatat, pada era Dinasti Ur ke III (antara 2112-2004 SM), saat masa-masa pembuangan suku-suku Bani Israil ke Babylonia, di saat itulah Ordo Kabbalah terbentuk. Sejak awal berdiri hingga kini ada tiga jenis Ordo Kabbalah yakni Ordo Hijau, Ordo Kuning, dan Ordo Putih.
Maulani menyatakan, dari ketiga ordo tersebut, yang paling menarik karena kemisteriusannya adalah Ordo Putih. Ordo ini jarang teridentifikasi oleh para peneliti. Jika ordo yang lain lebih menekankan pada aspek-aspek ritual, ajaran penyembahan Lucifer, maka Ordo Putih ini lebih menekankan misi politik dan kekuasaan. Merekalah yang merumuskan bahwa tujuan akhir Kabbalis adalah untuk membentuk “Satu Pemerintahan Dunia” (Unity of the World atau meminjam seloka mereka “E Pluribus Unum”) dan “Tata Dunia Baru” (Novus Ordo Seclorum atau The New World Order). Merekalah peletak dasar-dasar peradaban Barat sekarang.
Tidak semua orang yang berdarah Yahudi bisa masuk dalam Ordo Putih. Hanya orang Yahudi murni yang terpilihlah yang bisa mencapainya. Itu pun harus melewati sejumlah seleksi yang ketat. Salah satunya, hanya orang Yahudi murni yang telah mencapai gelar magister pada semua disiplin ilmu yang terkait Kabbalah yang bisa memasuki ordo ini. Disiplin ilmu ini berada di luar berbagai disiplin ilmu yang kita kenal di perguruan-perguruan tinggi terkemuka dunia. Ini berarti, seorang Yahudi yang murni, yang berasal dari garis keturunan yang sungguh-sungguh lurus, setelah 40 tahun menjalani ‘seleksi’ baru bisa diterima menjadi anggota ordo tersebut. Rizki Ridyasmara)
[1] Z.A. Maulani; Zionisme, Gerakan Menaklukan Dunia; Daseta; cet.1; April 2002; Jakarta; hal. 38.

No comments: