Ritual Asyuro: Antara Darah dan Rasa Sakit Palsu

Acara-Asyura01

SEBAGAI negara dengan mayoritas Islam, perkembangan faham Syi’ah yang meniru ajaran-ajaran Islam dengan lihai sering membuat kaum muslimin geram dan heran.
Geram, karena perilaku mereka yang kerap melecehkan para sahabat, ummahatul mu’miniin[1] dan bahkan Al Qur’an sendiri. Heran, karena banyak sekali ritual-ritual aneh yang tidak dikenal oleh kaum muslimin pada umumnya.
Salah satu dari sekian ritual aneh tersebut adalah ritual melukai diri yang diadakan dalam perayaan Asyuro.
Dalam Islam, jangankan melukai diri, meratap sedih berkepanjangan saja dilarang. Ritual menyakiti diri seperti yang dilakukan para penganut Syi’ah justru ditemukan dalam tradisi Kristen radikal dan beberapa agama pagan.
Penganut Kristen radikal mencambuk diri untuk menghapus ketergantungan terhadap tubuh yang fana, dan agama pagan menjadikan ritual darah sebagai ritual pengorbanan agar tuhan-tuhan mereka senang.
Lalu untuk alasan apa para penganut Syi’ah melukai diri sendiri dalam ritual Asyuro?
Ritual Darah: Krisis Identitas dan Krisis Teladan
Tahun 2008, Mustafa Zaidi, pria berumur 44 tahun yang berprofesi sebagai pengawas gudang di Inggris mendapat dakwaan hukum atas kasus kekejaman terhadap anak.
Zaidi didakwa karena telah memaksa dua orang anak berumur 13 dan 15 tahun agar memukul diri mereka dengan benda tajam untuk ‘merayakan’ Asyuro.[2]
Namun, kekejaman ini mendapat pembelaan dari rekan sejawat Syi’ahnya bernama Nadeem Kazmi dari yayasan Al Khoei yang berbasis di London.
Nadeem mengatakan, bahwa wajar jika orang tua berusaha untuk memotivasi anak-anak mereka untuk melukai diri sendiri demi menghayati teladan penderitaan Hussein ra di Karbala [3].
Dari sini muncul pertanyaan besar, mengapa penghayatan teladan justru dilakukan dengan ritual melukai sendiri? tidakkah ritual melukai diri justru melestarikan dendam? Apa yang dicari dari rasa sakit itu?
Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan melihat hakikat Syi’ah sebagai gerakan politik radikal berlandaskan imamah yang menjadikan agama sebagai tunggangan.
Dalam tinjauan sejarah, klaim Syi’ah yang memuliakan Ali ra diatas para sahabat Nabi lainnya tidak mendapat justifikasi ilmiah. Semua pakar sejarah Islam sepakat bahwa tidak ada perebutan kekuasaan antara Khulafa’ Rosyidin.
Ketiadaan pembuktian ilmiah lewat jalur sejarah atas klaim-klaim politik Syi’ah menggiring mereka pada krisis identitas.
Krisis identitas ini dapat dilihat dari beraneka ragamnya aliran dan sekte Syi’ah. Bahkan Dinasti Syi’ah Fatimiyyah yang sempat berkuasa di Mesir runtuh karena perbedaan Imam.
Walau Khomeini dengan doktrin wilayatul faqihnya terlihat mampu untuk mengisi “kekosongan” Imam dan mengkonsolidasikan kekuatan Syi’ah internasional, namun krisis identitas ini masih terus menghantui karena ketiadaan akar sejarah yang kuat lagi valid.
Akibatnya, mereka menggunakan teori marxisme (benturan kelas)[4] dan permainan psikologis (merawat dendam terhadap sahabat Nabi) untuk mengisi krisis identitas tersebut.
Disinilah ritual berdarah Asyuro memainkan perannya. Dengan melukai dan menyakiti tubuh, para penganut Syi’ah mengidentifikasikan diri mereka sebagai “pihak teraniaya” yang harus melawan “penindas”.
Emosi sebagai “pihak teraniaya” ini terus dipelihara tiap tahunnya lewat ‘perayaan-perayaan’ sampai akhirnya efek-efek imbasan yang diinginkan muncul.
Diantara efek imbasan tersebut adalah militansi yang kuat, merasa terikat sesama Syi’ah karena satu penderitaan (sama-sama memukul/melukai diri dalam ritual), dan pada akhirnya melahirkan kepercayaan buta terhadap para pemimpin mereka.
Dari sini dapat kita fahami, bahwa semangat meneladani perjuangan Hussein telah dipelintir sedemikian rupa untuk memenuhi kepentingan serta misi-misi Syi’ah.
Hiperealitas Rasa Sakit
Apa yang terjadi dalam ritual menyakiti diri di perayaan Asyuro sejatinya adalah kegagalan kaum Syi’ah dalam memahami kiprah Hussein ra.
Melukai diri lantaran idolanya terluka karena dizholimi mirip dengan perilaku fans yang ikut menangis saat aktris pujaannya sedang memerankan peran sedih.
Walau Hussein ra. memang wafat di Karbala dengan berbagai luka, tindakan me’re-kreasi’ penderitaan beliau dengan cara melukai diri sendiri bahkan sampai mati sekalipun, tidak akan bisa berkolerasi dengan penghayatan pernjuangannya.
Sebab, aksi Asyuro, meminjam istilah Baudillard, adalah simulasi dari kejadian sebenarnya. Padahal, simulasi memiliki kecenderungan besar untuk ‘terpeleset’ dari sumber rujukan simulasi tersebut [5].
Simulasi, selain memiliki kecenderungan untuk meleset dari rujukan fakta asli, juga berpotensi menjadi ‘lebay’. Konteks ‘lebay’ disini merujuk pada konsep Hiperealitas yang diusung oleh Umberto Eco, seorang pakar semiotik [6].
Contoh dari hiperealitas adalah saat kita melihat replika Ka’bah saat manasik haji, namun merasa bahwa replika yang ada saat itu terlihat seolah lebih nyata, lebih bagus, dan lebih agung dari Ka’bah aslinya di Makkah sana.
Maka, rasa sakit, luka dan mungkin darah yang didapat saat perayaan Asyuro, tidak lebih dari hiperealitas yang menyesatkan.
Ritual melukai diri ini pada akhirnya adalah budaya pembodohan yang dipelihara terus menerus demi melanggengkan ide-ide ‘ketertindasan’ kaum Syi’ah yang kemudian dimanfaatkan untuk memenuhi ambisi politik mereka.

Sumber:
[1] Henri Shalahuddin, Teologi dan Ajaran Shi’ah Menurut Referensi Induknya, INSISTS, Jakarta (2014) hal 269
[2] http://www.theguardian.com/world/2008/aug/28/islam.religion
[3] http://www.theguardian.com/commentisfree/2008/aug/28/religion.islam
[4] Abdul Chair Ramadhan, Syi’ah Menurut Sumber Syi’ah: Ancaman Nyata NKRI, Lisan Hal, Jakarta (2014) hal 95
[5] Jean Baudillard, Simulacra and Simulation
[6] Umberto Eco, Tamasya dalam Hiperealitas, Jalasutra, Jakarta

Azeza Ibrahim Rizki, Pengamat Budaya Komunikasi

No comments: