Al-Ghazali dan Peranannya dalam Perbaikan Masyarakat

Al Ghazali menyadari, masalah umat Islam ada dalam diri mereka sendiri, bukannya ancaman yang datang dari luar
Al-Ghazali dan Peranannya dalam Perbaikan Masyarakat

IMAM Abu Hamid al-Ghazali (w. 505/1111) merupakan seorang ulama yang cemerlang serta merupakan tokoh utama kebangkitan kembali Ahlu Sunnah pada masanya. Al-Ghazali hidup pada era ketika Ahlu Sunnah sedang mengalami tantangan yang sangat hebat, berupa kemunduran dan perpecahan yang serius. Dengan kemampuan intelektualnya serta kesungguhan dalam mencari kebenaran dan jalan terbaik bagi ummat, karya-karyanya kemudian memberi arah perbaikan serta menjadi pilar kebangkitan bagi masyarakatnya.
Momen-momen utama dalam hidup al-Ghazali banyak beririsan dengan perubahan-perubahan penting di dalam sejarah kaum Muslimin. Ia lahir di Tus, Khurasan, pada 450/1058, tahun yang sama dengan terjadinya pemberontakan al-Basasiri di Baghdad.
[Lihat Lihat Ibn al-Ᾱthīr, The Annals of the Saljuq Turks: Selections from Al-Kāmil fi’l-Ta’rīkh of ‘Izz al-Dīn Ibn al-Ᾱthīr (diterjemahkan oleh D.S. Richards), London: RoutledgeCurzon, 2002].
Pemberontakan ini didukung oleh Dinasti Fatimiyah Mesir dan berhasil menghapuskan sementara kekhalifahan Abbasiyah, yang berarti telah membawa Abbasiyah yang Sunni ke titik terendah dan Fatimiyah yang befaham Syiah ke titik puncak peradabannya. Namun kurang lebih setahun kemudian, pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Bani Saljuk yang menegakkan kembali kekhalifahan Abbasiyah ke posisinya semula.
Al-Ghazali menuntut ilmu sejak usia belia dengan kemampuan diatas rata-rata serta membuat takjub guru dan rekan-rekannya. Ia mencapai puncak karirnya di Baghdad, seiring dengan pencapaian tertinggi Dinasti Saljuk di bawah kepemimpinan Wazir Nizam al-Muluk. Pada umur 34 tahun, bertepatan dengan tahun 484/1091, ia ditunjuk oleh Nizam al-Muluk sebagai profesor di Madrasah Nizamiyah, ‘the most celebrated and important centre of science and teaching in the Mashriq … at that time.’ [ Ibn Kathīr, Al-Bidāyah, vol. 16]
Pada tahun berikutnya, Nizam al-Muluk dibunuh oleh seorang anggota Assassin, salah satu cabang Batiniyah (Syiah Ismailiyah) yang nantinya banyak melakukan pembunuhan tokoh-tokoh Ahlu Sunnah. hal ini diikuti oleh wafatnya Sultan Bani Saljuk, Malikshah, pada tahun yang sama. Setelah itu Dinasti Saljuk mengalami perpecahan hebat dan tidak pernah pulih kembali pada kebesarannya semula. Dunia Sunni kembali mengalami kemunduran. Perpecahan kelompok keagamaan yang sudah ada di tengah masyarakat kini ditambah lagi dengan perpecahan politik yang panjang.

Pada masa yang kurang lebih bersamaan, al-Ghazali sendiri mengalami krisis spiritual, disebabkan upayanya yang begitu keras dalam merenungi kebenaran yang menjadi sumber perbedaan dan permusuhan di tengah masyarakat Muslim. Ketika tak seorang pun yang tampaknya benar-benar berpikir tentang apa yang salah dengan dunia Islam saat itu, al-Ghazali justru merenungi masalahnya secara mendalam, bahkan jauh ke dalam dirinya sendiri.
Seperti diceritakan sendiri oleh al-Ghazali di dalam bukunya Al-Munqidz min al-Ḍalāl bahwa sejak usia belianya ia telah menyelami esensi berbagai kelompok keagamaan yang ada. Kemudian ia pun merenungi hakikat ilmu untuk sampai pada hakikat segala sesuatu serta menguji berbagai pendekatan ilmu yang ada. Ia melakukan semua itu sehingga ia sendiri sempat terjatuh pada keadaan skeptis serta mengalami sakit selama dua bulan, tapi Allah menyelamatkannya dan membawanya kembali pada keyakinannya semula.
Setelah itu, ia berusaha menelusuri kebenaran di dalam empat kelompok yang ada: Kalam, Filsafat, Batiniyah (Ismailiyah), dan Tasawuf.
Marshal Hodgson dalam ‘The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 2’ mengkategorikan keempat hal ini pada kuadran eksoteris-esoteris dan kerygmatis-non-kerygmatis, walaupun tentu saja al-Ghazali sendiri tidak memilih empat kelompok ini berdasarkan kategori semacam ini, tetapi barangkali lebih disebabkan oleh pengaruh intelektual mereka yang besar di tengah masyarakat Muslim ketika itu. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menganggap adanya keterbatasan pada yang pertama (Kalam), menolak dua yang berikutnya (Filsafat dan Batiniyah), serta memilih yang terakhir (Tasawuf).
Bagaimanapun, untuk sampai pada keputusan itu al-Ghazali menyadari bahwa tasawuf bukan hanya sebuah konsep intelektual, tetapi juga sebuah pengalaman (dzawq) berupa pensucian hati dari noda dan keadaan lalai terhadap Allah serta pemurnian ibadah kepada-Nya. Al-Ghazali dapat memahami konsepnya dengan mudah, tetapi mengalami tantangan dalam mempraktikkannya. Apa yang diakui dan dilakukan oleh al-Ghazali setelah itu membuat kita takjub, karena sulit kita menemukan orang dengan pencapaian seperti yang dimilikinya sanggup melakukan apa yang ia lakukan. Dengan jujur ia mengevaluasi dirinya sendiri dengan sudut pandang tasawuf:
“Setelah itu saya memeriksa motif saya dalam aktivitas saya mengajar, dan menyadari bahwa hal itu bukanlah keinginan yang murni karena Allah, tetapi yang menggerakkan saya dalam melakukannya adalah hasrat untuk mendapatkan posisi yang berpengaruh serta pengakuan publik. Saya melihat secara pasti bahwa saya berada di tepian onggokan pasir yang sedang hancur dan berada dalam bahaya yang dekat berupa api neraka kecuali jika saya melakukan sesuatu untuk memperbaiki jalan hidup saya.”
Setelah itu, selama hampir enam bulan lamanya, sejak pertengahan tahun 1095 (Rajab 488H), ia berada dalam keadaan terombang-ambing antara hasrat duniawi dan dorongan pada kehidupan akhirat. Sehingga pada suatu hari lidahnya menjadi kelu dan ia tak mampu berkata-kata di kelas tempatnya mengajar. Hal itu menimbulkan kesedihan, mempengaruhi keadaan fisiknya, dan akhirnya membawanya pada sebuah keputusan dramatis dalam hidupnya. Ia meninggalkan karirnya yang cemerlang di Baghdad dan memutuskan untuk pergi berziarah ke Suriah, Palestina, dan Haramain dalam rangka melakukan pembersihan diri. Ia tidak sedang berpura-pura saat menjalankan semua itu. Seperti dikatakan oleh George Henry Scherer sebagai, “His conversion was real and its effects lasting.” [George Henry Scherer dalam ‘Al-Ghazali’s Ayyuha ‘l-Walad]
Pada tahun yang sama, 1095, Paus Katholik sedang mengumumkan Perang Salib I di Prancis dan sekitarnya, tentunya tanpa diketahui oleh al-Ghazali ataupun Muslim yang lainnya pada masa itu. Saat al-Ghazali menetap di Damaskus selama hampir dua tahun, kemudian berziarah ke al-Quds, dan akhirnya ke Makkah dan Madinah, gelombang pasukan salib sedang bergerak dari Eropa Barat menuju ke Palestina melalui jalur darat. Dari Makkah-Madinah, al-Ghazali terus kembali ke Baghdad, dan akhirnya ke tempat kelahirannya di Tus. Ia meneruskan usahanya menjalani kehidupan tasawuf hingga akhir hayatnya. Ia tentu mendengar tentang penguasaan al-Quds dan Palestina oleh tentara salib pada tahun 1099, walaupun ia kini telah berada jauh dari pusat konflik, tetapi kita tidak mendengar al-Ghazali menyebutkan tentang hal itu di dalam karya-karyanya. Tampaknya al-Ghazali menyadari bahwa masalah sesungguhnya yang sedang dialami oleh ummat Islam adalah masalah yang ada di dalam diri mereka sendiri, dan bukannya ancaman yang datang dari luar.
Salah satu pemicu utama kedatangan pasukan salib ke Palestina, serta keberhasilan mereka menguasai wilayah itu, adalah karena adanya konflik internal yang sedang melanda dunia Islam, khususnya di wilayah Suriah dan Asia Minor (Turki). Byzantium (Eropa Timur) yang mengetahui kelemahan itu minta tolong pada Paus untuk mengerahkan orang-orang Eropa Barat agar membantunya menghadapi tentara Turki, sehingga tercetuslah Perang Salib. Sementara ummat Islam sendiri belum menyadari tentang masalah internalnya, sehingga mereka pun mengalami kekalahan yang besar dan panjang.
Adalah hal yang menakjubkan bahwa pada masa sedini itu, al-Ghazali justru sedang mengevaluasi dirinya sendiri dengan sungguh-sungguh, menemukan masalah di dalam dirinya, dan kemudian secara sadar mengambil langkah untuk memperbaikinya. Dengan melakukan hal itu, al-Ghazali sebenarnya sedang memberi contoh dan mengingatkan tentang jalan yang perlu ditempuh oleh ummat untuk menjawab berbagai tantangan yang tengah mereka hadapi, Ummat Islam masih memerlukan waktu yang panjang untuk sampai pada kesadaran itu dan berbenah diri. Setidaknya setengah abad kemudian, kesadaran itu mulai muncul dan mulai membalikkan keadaan mereka dari kekalahan kepada kemenangan. Apa yang dilakukan oleh al-Ghazali tidak hanya bermakna bagi dirinya semata, tetapi juga bagi dunia Islam keseluruhannya. Karena itu, bersama Nizam al-Muluk dari kalangan negarawan, al-Ghazali dianggap sebagai tokoh utama kebangkitan kembali Ahlu Sunnah pada era tersebut. Keberpihakan al-Ghazali terhadap tasawuf juga tidak menghalanginya sikap kritisnya terhadap perilaku menyimpang dalam tafawuf

Wajibnya Menuntut Ilmu
PERAN utama al-Ghazali adalah dalam mengokohkan kembali pilar penting peradaban dan masyarakatnya, yaitu ilmu pengetahuan serta otoritas yang mengembannya (ulama). Dalam kapasitasnya sebagai ulama, ia berusaha mengungkapkan kebenaran dan membersihkannya dari kesalahan, serta menunjukkan mana jalan yang perlu ditempuh dan mana yang perlu dihindari.
Ia menunjukkan kesalahan-kesalahan mendasar pada paham-paham tertentu yang berkembang di dunia Islam, terutama filsafat dan Batiniyah (Syiah Ismailiyah). Ia menulis buku yang mengkritik Batiniyah kurang lebih dua tahun setelah Nizam al-Muluk dibunuh kelompok itu, yaitu pada tahun 487/1094. Tentang ini Dr. Ali M. Sallabi memberikan apresiasinya:
“… hal yang paling menakjubkan adalah keberanian yang ditunjukkan oleh al-Ghazali dalam kampanyenya menentang Batiniyah Ismailiyah, pada masa ketika dai-dai mereka tersebar luas di Persia …. Mereka melancarkan pembunuhan dalam skala luas, menargetkan banyak politisi dan pemikir, terutama Nizam al-Muluk sendiri. Al-Ghazali memulai kampanyenya berdasarkan permintaan dari pemerintah [Khalifah, pen.], sebagai tambahan atas keinginannya sendiri sebagai seorang ulama Sunni untuk menjalankan tugasnya dalam membela Islam yang benar.” [Dr. Ali M. Sallabi, Salah-ad-Deen al-Ayubi, Vol. 1: Crusaders prior to the Rise of the Ayubid State (diterjemahkan oleh Nasiruddin al-Khattab), Riyadh: International Islamic Publishing House, 2010].
Peran penting al-Ghazali lainnya adalah saat ia menunjukkan, dan memulai dengan dirinya sendiri, apa yang seharusnya menjadi orientasi atau tujuan seseorang dalam menuntut ilmu dan mengajar, dan ini juga menjadi tuntutan bagi semua hamba Allah, yaitu keridhaan Allah dan kehidupan akhirat. Al-Ghazali pun akhirnya memilih tasawuf sebagai jalan yang dianggapnya paling baik dalam menuju pada kebenaran dan kepada Allah. Saat memilih jalan sufi dan meninggalkan karirnya yang cemerlang di Baghdad, al-Ghazali memang memperbanyak uzlah serta berupaya membersihkan jiwa dan mendekatkan diri pada Allah. Namun, ia tidak sama sekali meninggalkan aktivitas keilmuan.
Sebagaimana dapat kita baca pada buku yang ditulis oleh ‘Abd al-Qādir ibn Muhammad al-Dimashqi al-Nu’aimī, dalam ‘Al-Dāris fī Tārīkh al-Madāris vol. 1,’ al-Ghazali tetap terlibat dalam aktivitas keilmuan selama berada di Damaskus, secara cukup signifikan, sehingga lokasi tempat majelis itu diadakan di Masjid Jami’ Damaskus dikenal sebagai al-Ghazaliyah. Al-Ghazali juga tetap mengajar dan menulis hingga ke akhir hayatnya, walaupun kini dengan pendekatan sufistik.
Keberpihakan al-Ghazali terhadap tasawuf juga tidak menghalanginya dari sikap kritis terhadap perilaku menyimpang atau tidak tepat di dalamnya. Di dalam bukunya Ayyuha ‘l-Walad, misalnya, ia menulis:
“Wahai anakku, adalah satu keharusan bagimu bahwa kata-kata dan perbuatanmu sejalan dengan hukum Islam, karena pengetahuan dan amal tanpa keselarasan dengan syariah adalah kesesatan. Dan adalah penting bahwa engkau tidak tertipu oleh ungkapan-ungkapan gembira yang berlebihan serta tangisan-tangisan yang keras dari kaum Sufi, karena ditempuhnya jalan ini adalah dengan perjuangan (mujahadah) dan pemutusan dari syahwat yang ada dalam jiwa serta penghancuran nafsu dengan pedang disiplin/ latihan (sayf al-riyāḍah), bukan dengan tangisan-tangisan yang keras dan hal-hal yang berlebihan.
Sebagai seorang ulama, al-Ghazali tidak terasing dari kompetensi dan peranan yang berkaitan dengan negara ataupun sosial kemasyarakatan. Dalam kitab Sejarah Ibn al-Athīr misalnya ada sebuah contoh menarik tentang pentingnya posisi al-Ghazali yang cukup didengar dan dipandang dalam permasalahan kenegaraan. Dikisahkan bahwa saat Sultan Bani Saljuk Malikshah meninggal dunia pada tahun 1092, salah seorang istrinya ingin agar putranya yang baru berumur empat tahun, Mahmud, diangkat menjadi sultan yang baru sebagai pengganti. Khalifah dan juga para emir menyetujui keinginannya itu. Namun Khalifah mensyaratkan bahwa dalam pelaksanaannya urusan administrasi, pajak, dan pengaturan negara secara umum dikendalikan oleh wazir Tajul Muluk, sementara ketentaraan dipegang oleh emir yang lain lagi.
Ibu Mahmud pada awalnya tidak setuju dengan hal ini. Namun setelah al-Ghazali turun tangan dan menyampaikan nasihatnya, ia menerima keputusan itu. Al-Ghazali berkata kepadanya, “Putramu masih muda dan Hukum tidak membolehkannya untuk menjadi penguasa.” Setelah al-Ghazali beralih ke tasawuf, ia memang lebih menjaga jarak dengan pemerintah. Namun, ia tidak meninggalkan peranannya sama sekali dalam menasihati pemimpin negara. Di antara karya-karyanya setelah ia meninggalkan Baghdad, kita menemukan satu karya yang ia buat secara khusus berkaitan dengan ini, yaitu Naṣīḥat al-Mulūk. Sebagaimana judulnya, kitab itu merupakan nasihat untuk pemimpin.
Tarikan al-Ghazali ke arah tasawuf tampaknya begitu kuat sehingga kita menemukan kebanyakan ulama pada generasi berikutnya, dimana Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani menjadi salah satu tokoh utamanya, memadukan ilmu dan tasawuf di dalam diri mereka.
Perubahan yang terjadi sejak era al-Ghazali hingga al-Jilani serta sumbangan mereka dalam gerakan perbaikan digambarkan dengan sangat baik di dalam buku yang ditulis oleh Dr. Majid Kirsan al-Kilani. [Dr. Majid ‘Irsan Al-Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib (terjemahan dari Hakadza Zhahara Jil Salah al-Din wa Hakadza ‘Adat al-Quds]
Perpaduan ilmu dan tasawuf tentunya membantu dalam mengurangi fanatisme madzhab yang pada gilirannya membolehkan kalangan Ahlu Sunnah untuk bersatu. Ia juga membantu bagi terbentuknya kesolehan di tengah masyarakat Muslim yang terlihat buahnya yang ranum pada era kepemimpinan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi di Suriah dan Mesir. Saat membahas tentang Shalahuddin al-Ayyubi, Abdul Rahman Azzam menulis:
“… adalah di Baghdad, satu abad sebelum kelahiran Shalahuddin, … semangat kebangkitan kembali Ahlu Sunnah dilahirkan dan adalah cita-cita yang melekat pada kebangkitan ini, lebih dari apa pun juga, yang mempengaruhi dan membentuk keyakinan dan perbuatan Shalahuddin. Shalahuddin adalah anak kandung Kebangkitan Ahlu Sunnah (Sunni Revival) dan ia adalah seorang anak yang setia dan patuh. Popularitasnya setelah itu, ditambah dengan obsesi Barat dengan Perang Salibnya, cenderung mengaburkan hal yang mendasar bahwa bagi Shalahuddin pemulihan ortodoksi Sunni di dalam lipatan Islam adalah sama pentingnya – bahkan lebih penting – dibandingkan pemulihan kembali Yerusalem.”
Tentu saja al-Ghazali tidak sendirian dalam memicu terjadinya semua itu, tetapi rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kontribusi al-Ghazali merupakan salah satu yang paling utama dalam memperbaiki keadaan masyarakat Muslim pada era itu. Dapat dikatakan bahwa al-Ghazali adalah cermin zamannya yang bukan hanya merefleksikan realitas jalan-jalan yang ada di hadapan, tetapi juga menunjukkan dengan jelas jalan terbaik yang perlu diambil oleh kaum Muslimin.
Pada akhirnya, tentu saja al-Ghazali bukanlah manusia yang tidak memiliki kekurangan. Ada juga kritik-kritik yang diarahkan kepada beliau, terutama berkaitan dengan metode al-Ghazali dalam memilah antara hadis-hadis yang shahih dan tidak di dalam karyanya.
Bukan berarti beliau tidak faham dalam ilmu hadis seperti yang dituduhkan. Imam Ghazali punya guru-guru hadis yg berisnad, namun beliau tidak meriwayatkan hadis. Di akhir hayatnya beliau fokus menelaah ilmu hadis. Hal ini berarti, tuduhan kepada beliau tidaklah sebanding dengan keutamaannya serta tidak boleh menghalangi kita dari mengapresiasi sumbangannya yang sangat besar bagi masyarakat Muslim. Sebenarnya, kalaulah tidak ada Imam al-Ghazali, kita mungkin akan melihat wajah sejarah yang berbeda dengan yang kita ketahui saat ini. Hanya saja, apa yang ditetapkan oleh-Nya telah terjadi dan pasti terjadi. Wallahu a’lam.*

Alwi Alatas
 [Abdul Rahman Azzam dalam Saladin, 2009] */
Penulis adalah ahli sejarah, penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” dan“Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III”. Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari rencana penerbitan buku tentang Imam al-Ghazali yg akan dikeluarkan oleh Ma’had Aly Hujjatul Islam, Depok

No comments: