Berkaca pada Jalan Hidup Muhammad Natsir Muda

natsirTAHUN 1930 Mohammad Natsir menghadapi sebuah pilihan hidup. Kala itu umurnya menginjak 22 tahun. Sebagai seorang siswa AMS (Algemene Middelbare School – setingkat SMA) yang menjelang kelulusan, ia harus menentukan langkah hidupnya ke depan.
Setiap orang selalu menginginkan jalan hidup yang terbaik. Jalan hidup yang memapankan dirinya. Jalan hidup yang bisa dibanggakan oleh orang-orang yang disayanginya. Begitu juga Natsir muda, bisa menyenangi orang tua dengan pekerjaan yang mapan dan gelar pendidikan terpandang menjadi cita-citanya sejak awal masuk AMS di Bandung.
Tapi Allah punya kehendak lain. Sejak berkenalan dan berguru dengan Ahmad Hasan, sang guru dari organisasi Persatuan Islam (Persis), cara pandang Natsir berubah. Tawaran beasiswa kuliah Fakultas Hukum di Batavia dengan gelar Mr (gelar Sarjana Hukum saat itu) yang selama ini di harapkan tak lagi membuatnya berminat. Batinnya bergejolak. Ada tugas besar yang harus dia emban. Berkhidmad kepada Islam secara total menjadi jalan pilihan hidupnya.
“Aneh!“ Kata Natsir dalam sebuah surat kepada istri dan anak-anaknya di tahun 1958 dalam mengenang masa lalunya, “Semua itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali. Aba merasa ada satu lapangan yang lebih penting dari itu semua. Aba ingin mencoba menempuh jalan lain. Aba ingin berkhidmat kepada Islam dengan langsung. Belum terang benar bagi Aba pada permulaannya, apa yang harus dikerjakan sesungguhnya. Tapi dengan tidak banyak pikir-pikir Aba putuskan tidak akan melanjutkan pelajaran ke Fakultas mana pun juga. Aba hendak memperdalam pengetahuan tentang Islam lebih dahulu. Sudah itu bagaimana nanti.”
Sejak kecil, orang tua Natsir memiliki harapan agar sang anak bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik. Bisa bersekolah di sekolah miliki Pemerintah Kolonial saat itu memiliki prestise tersendiri. Berbagai upaya dilakukan agar Natsir kecil bisa masuk sekolah di HIS (Sekolah setingkat SD) milik pemerintah. Usaha itu berhasil berkat kepintaran Natsir kecil. Ia pun dengan mudah melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu MULO (setingkat SMP) yang ada di Padang. Meski ia bersekolah di sekolah Pemerintah Kolonial Belanda, Natsir tetap mempelajari agama Islam. Ia belajar agama di Sekolah Diniayah di sore harinya.
Cita-cita untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi tidak hanya sampai pada tingkat MULO. Ia bertekad ingin melanjutkan sekolah sampai tingkat AMS. Saat itu, sekolah AMS belum ada di Padang. Bandung, salah satu kota yang menyediakan pendidikan AMS menjadi pilihan. Sebenarnya bersekolah di AMS cukup mahal. Biasanya hanya bisa diisi oleh anak para pegawai pemerintah yang mapan, atau anak orang-orang Belanda. Tapi, karena nilai yang baik saat di MULO ia pun mampu melanjutkan ke AMS dengan beasiswa beserta uang saku dari pemerintah Kolonial Belanda. Tak semua anak pribumi bisa seperti Natsir.

Di Bandung inilah takdir Allah mempertemukannya dengan Ahmad Hasan. Bersama Ahmad Hasan, Natsir banyak bertanya soal keislaman. Kali ini Islam yang ia pelajari bukan sekedar belajar formalitas seperti saat masih mengikuti program Sekolah Diniyah Sore hari ketika masih bersekolah
di HIS dan MULO, namun belajar Islam secara pastisipatif dalam menghadapi realitas jaman.

Sejak bersekolah di AMS Natsir sadar bahwa pendidikan yang ia geluti selama ini membuat mereka jauh dari agama yang dianutnya; yaitu Islam. Politik Etis yang lahir di akhir abad 19 oleh Pemerintah Kolonial melahirkan sekolah-sekolah yang bertujuan untuk mendidik para pribumi menjadi tenaga ahli alat-alat industri dan perangkat pegawai pemerintahan.
Pendidikan yang diajarkan jauh dari nilai-nilai Agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat. Tidak hanya itu, dalam proses belajar mengajar pun Islam banyak direndahkan. Bahkan, para siswa AMS lebih tertarik bergaya dan berbudaya kebarat-baratan dari pada budaya tanah airnya. Dalam berbahasa pun, belajar dengan bahasa Belanda terlihat lebih intelektual dari pada menggunakan bahasa melayu (bahasa Indonesia saat itu). Proses sekulerisasi inilah yang menyadarkan Natsir bahwa ia harus terlibat aktif berdakwah dilingkungannya.
Keaktifannya di JIB (Jong Islamiten Bond : Perkumpulan Pemuda Islam) cukup membantu Natsir dalam aktivitas Dakwahnya. Sebab, tujuan dilahirkannya JIB adalah untuk memfasilitasi para pelajar baik dari tingkat MULO, AMS hingga Perguruan Tinggi untuk mengenal Islam.
Di JIB ia bertemu dengan beberapa kawan seperjuangan seperti Kasman, Moh. Roem, Prawoto, yang kelak menjadi kawan seperjuangannya di Partai Masyumi untuk menegakkan Negara Republik Indonesia berlandaskan Islam. Tidak hanya itu, di JIB ia juga banyak berguru dengan Agus Salim, yang saat itu menjadi pimpinan Partai Sarikat Islam. Natsir menjadi Ketua JIB Bandung tahun 1928- 1932.
Tidak hanya aktif di JIB, Natsir juga sering mengisi kelas pelajaran Agam Islam di beberapa sekolah MULO yang ada di Bandung sebagai pelajaran tambahan di luar kurikulum atas inisiatif beberapa siswa yang muslim. Setiap hari minggu Natsir meluangkan waktunya untuk memberikan pelajaran Agama Islam di kelas.
Tidak hanya MULO Bandung, sekolah HIK (Hollandsch Inlandsche Kweekschool atau Sekolah Guru Bumiputera) juga meminta Natsir mengisi kelas pelajaran Agama Islam meski hanya sebagai pelajaran tambahan. Yang menarik ketika mengajar di sekolah HIK, tidak hanya mengajarkan murid-murid saja, tetapi para guru pun ikutan nimbrung mengikuti kelas yang digurui Natsir.
Semangat Natsir menjadi guru di sekolah-sekolah tersebut adalah rasa tanggung jawabnya untuk bisa menanamkan pemahaman Islam kepada anak-anak pribumi terdidik. Dengan adanya kelas pelajaran Agam Islam, menjadi ruang penyaluran Natsir atas keresahannya yang terjadi di dunia intelektual muda masyarakat Hindia Belanda.
Terutama bahaya atas maraknya pemahaman sekulerisme yang merebak pada kelompok intelektual pribumi saat itu. Bagi Natsir dan para kaum Muslim hanya Islam-lah yang bisa membawa persatuan dan mewujudkan kemerdekaan. Tidak dengan pemahaman nasionalisme sekuler atau dikenal dengan pergerakan “netral agama” saat itu yang justru membawa semangat chauvisme dan menjauhkan akidah masyarakat dari akidah Islam.
Ridwan Hd

No comments: