Cerita Kartosoewirjo Dieksekusi Mati karena Ingin Dirikan Negara Islam


Salah satu foto eksekusi mati Kartosoewirdjo yang dimuat dalam buku Fadli Zon |


Sementara Soekarno lebih melihat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama hanya bisa dipersatukan tanpa embel-embel satu agama sebagai dasar negara.

PEMERINTAH Indonesia telah melakukan eksekusi terhadap enam terpidana narkoba pada Minggu dinihari, 18 Januari 2015.

Hukuman eksekusi mati juga pernah dijatuhkan terhadap seorang tokoh perjuangan, yang kemudian berbeda pandangan dengan Soekarno soal bentuk sistem pemerintahan Indonesia. Namanya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Kartosoewirjo yang sempat menjabat Sekretaris Jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) bercita-cita mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Itu sebabnya, ia menolak segala bentuk kompromi dengan Belanda.

Sementara Soekarno lebih melihat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama hanya bisa dipersatukan tanpa embel-embel satu agama sebagai dasar negara. Itu sebabnya, dalam Piagam Jakarta, kata "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa."

Pengubahan redaksional ini ikut disetujui oleh Mr. Teuku Muhammad Hassan dari Aceh. Hasan juga diminta oleh Soekarno untuk membujuk tokoh Islam lain yang menentang penghilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Kartosoewirdjo tetap pada pendiriannya. Ia bahkan menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri. Seorang tokoh bernama Sugondo Djojopuspito kemudian mencoba membujuk Kartosoewirjo, namun ditolaknya. "Emoh, nek dasar negoro ora Islam (Tidak mau, kalau dasar negaranya bukan Islam)," kata Kartosoewirjo.

Lahir di Cepu, Jawa Tengah, pada 7 Januari 1905, Kartosoewirdjo sempat menjadi Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar Asia. Dalam tulisan-tulisannya, ia kerap mengritik kaum bangsawan Jawa yang bekerjasama dengan Belanda. Ia menyerukan kaum miskin dan buruh bangkit melawan penindasan. Kaum nasionalis juga tak luput dari kritikannya.

Perbedaan pandangan yang kian mengkristal kemudian membuat Kartosoewirjo menempuh jalannya sendiri. Pada 7 Agustus 1949, Kartosoewirdjo kemudian memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII). Beberapa daerah mendukung ide Kartosowirdjo, termasuk Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.

Di Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh yang kecewa dengan Soekarno --yang pernah berjanji mengizinkan Aceh menerapkan syariat Islam namun tidak ditepati -- menyatakan mendukung Kartosoewirjo. Pada 23 September 1953, Daud Beureueh memproklamirkan DI/TII sebagai bagian dari gerakan Kartosoewirjo. (Baca: Inilah Kurir Penghubung Daud Beureueh dengan Kartosuwiryo)

Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi keras: menjalankan operasi militer menangkap Kartosoewirdjo. Naas, Kartosoewidjo tertangkap di kawasan pegunungan di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Sementara di Aceh, sebulan kemudian, tepatnya pada 9 Mei 1962, Daud Beureueh turun gunung secara damai.

Sementara Kartosoewirdjo diputuskan harus dieksekusi mati. Soekarno menandatangani surat keputusan eksekusi. Pada 5 September 1962, nyawa Kartosoewirdjo berakhir di tangan regu tembak di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Foto-foto Kartosoewirdjo menjalani hukuman mati dimuat dalam buku Fadli Zon berjudul Hari Terakhir Kartosoewirjo.[] Dari berbagai sumber
Editor: Yuswardi A. Suud

No comments: