Cinta Seorang Putri Yahudi

batu cinta1
TAHMID dan tahlil masih bergema dalam dada dan membasahi lisan kaum Muslimin setelah berhasil menaklukan Benteng Qamus dalam perang Khaibar. Banyak laki-laki Yahudi mati terbunuh, yang masih hidup menjad tawanan kaum Muslimin.
Di antara para tawanan terdapat Syafiyah binti Huyai bin Akhtab. Suaminya Kinanah bin Rabi, pemimpin benteng Qamus. Ayah dan pamannya termasuk pemimpin Bani Nadhir. Keduanya terbunuh, demikian pula saudara-saudara laki-lakinya. Shafiyah kini hidup sebatang kara dalam tawanan pasukan musuh.
Bersama tawanan lain, Bilal membawanya pada barisan terdepan. Mereka berjalan melewati mayat tentara Yahudi untuk dihadapkan pada Nabi. Melihat kedatangan tawanan wanita itu, nabi bangkit dan menaruh jubah di kepala Shafiyah. Beliau mendekati Bilal dan berkata, “Apakah kau sudah tidak punya perasaan kasih sayang, hingga membiarkan wanita-wanita itu melewati mayat orang-orang yang mereka cintai?”
Setelah melakukan pelucutan senjata dan pengumpulan rampasan perang, nabi mengambil keputusan terhadap para tawanan. Sambil menahan kesedihan yang mendalam, Shafiyah berusaha tampil tabah dan bersikap hormat di hadapan nabi. Rasulullah SAW berkata, “Ayahmu orang Yahudi yang paling keras memusuhiku, sehingga Allah membunuhnya.”
“Ya Rasulullah, sesungguhnya seorang hamba tidak menanggung dosa orang lain,” jawab Shafiyah.
“Pilihlah! Jika engkau memilih Islam, aku akan menikahimu. Dan jika engkau memilih agama Yahudi, insya Allah aku membebaskanmu supaya engkau bisa bergabung dengan kaummu,” tawar Rasulullah bijaksana.
“Ya Rasulullah. Aku telah menyukai Islam dan membenarkanmu sebelum engkau mendakwahiku. Aku tidak meyakini agama Yahudi. Orangtua dan saudara-saudaraku pun telah tiada. Allah dan Rasul-Nya lebih aku sukai daripada dibebaskan untuk kembali kepada kaumku,” jawab Shafiyah tegas.
Rasul gembira mendengarnya, segera beliau meminta orang-orang di sekitarnya agar berdiri untuk menghormati calon Ummul Mukminin. Dijelaskan pula kepada Shafiyah bahwa kebebasannya adalah mahar atas perkawinannya.

MASA bergabung Shafiyah telah habis. Rasa sedih karena kehilangan keluarganya mulai menipis. Calon pengantin itu telah bersedia untuk dirias. Maka dipanggilah Ummu Sulaim untuk merias Shafiyah.

“Sungguh, aku belum pernah melihat wajah secerah wajah Shafiyah,” kata Ummu Sulaim memuji hasil riasannya.
Walimatul ‘ursy dilaksanakan dengan penuh kegembiraan di kalangan kaum Muslimin. Hati yang masih berduka itu merasa terhibur. Malam itu, dua mempelai berangkat keperaduan dengan penuh rasa cinta. Rasul menatap istrinya dengan rasa takjub dan iba. Tiba-tiba beliau dapati waran kebiru-biruan membengkak di kelopak mata Shafiyah. Beliau pun bertanya kepada istrinya.
“Ini adalah bekas tamparan suamiku, Kinanah,” jawab Shafiyah. Berceritalah ia tentang pengalamannya. Suatu ketika Shafiyah bermimpi bulan jatuh di pangkuannya, mendengar hal itu Kinanah merasa berang. Ia lalu menampar wajah Shafiyah seraya berkata dengan kasar, “Ini berarti kamu mengharapkan Muhammad si Raja Hijaz itu.”
Meskipun berasal dari keturunan Yahudi, namun keimanan telah membentuk kejujuran hati Shafiyah. Dia mengakui sifat kaumnya yang kerap ingkar janji. Kaum Yahudi selalu mengatakan bahwa akan datang pada saatnya nanti, seorang nabi yang membantu dan menjaga mereka. Tapi kemarahan menyala di dada mereka begitu mengetahui yang ditunggu telah datang, namun tidak berasal dari golongannya sendiri.
“Aku adalah anak yang disukai ayah dan pamanku. Setiap bertemu, aku lebih diutamakan daripada anak-anaknya. Saat Rasulullah hijrah ke Madinah, ayah dan pamanku pergi seharian sejak dini hari. Ketika pulang, kulihat wajah mereka muram. Aku tak dipedulikan sejenak pun. Kudengar pamanku bertanya tentang suatu kebenaran. Ayah mendengar bahwa Muhammadlah yang dijanjikan dalam al-Kitab. Ayah sudah menyelidiki dengan teliti dan cermat. Lalu dia memutuskan untuk memusuhimu selamanya,” tutur Shafiyah.
bunga malam
MALAM itu, seseorang mengelilingi kemah Rasulullah dengan pedang terhunus. Nabi sama sekali tidak mengetahuinya. Setelah waktu shubuh tiba, beliau melihat gerak gerik orang itu, yang tidak lain adalah Aba Ayub, sahabatnya.
“Kenapa kau hai, Aba Ayub?” tanya nabi.
“Ya Rasulullah, aku khawatir akan keselamatanmu. Bukankah Anda baru saja membunuh orang tua, suami, dan sanak saudaranya? Dan dia juga baru saja masuk agama kita,” jawab Aba Ayub cemas sambil mendekati nabi.
“Allahumma. Jagalah Aba Ayub sebagaimana ia telah menjagaku,” doa nabi untuk sahabatnya.
Setelah rombongan Rasulullah tiba di Madinah, Shafiyah tidak diajak serta ke rumah nabi. Dia dititipkan pada keluarga Anshar bernama Haritsah bin Nu’man. Wanita Anshar berbondong-bondong melihat kecantikannya.
Tidak lama kemudian, nabi memboyong Shafiyah ke rumah beliau. Kesulitan baru muncul. Semua istri Rasulullah menjauhinya. Mereka tidak dapat menerima Shafiyah karena ia keturunan Yahudi. Shafiyah berusaha memperbaiki sikapnya, namun keramahannya tak membawa arti bagi mereka.
Suatu hari Rasulullah melihat Shafiyah menangis. Nabi mendekat dan menanyakan sebabnya. Terpaksa Shafiyah mengadukan masalahnya kepada suaminya, “Aku mendengar Aisyah dan Hafsah membicarakanku. Keduanya berkata bahwa mereka lebih baik dariku. Mereka putrid paman Rasulullah dan istrinya,” kata Shafiyah di sela isak tangisnya.
“Mengapa tidak kau katakana, bahwa aku lebih baik dari kamu. Ayahku Harun, pamanku Musa dan suamiku Muhammad SAW,” jawab Rasul menasihati istrinya.
SEJAK itu, setiap ada yang mengganggunya dengan ungkapan seperti itu, ia selalu menjawab dengan apa yang diajarkan Rasulullah sehingga tidak ada lagi yang berani mengolok-oloknya. Mereka mengetahui ucapan itu berasal dari Rasulullah.
Rasulullah terbiasa mengundi istri yang akan menemaninya dalam perjalanan. Suatu saat undian jatuh pada Shafiyah dan Zainab. Dalam perjalanan, unta Shafiyah sakit. Rasul meminta Zainab meminjamkan untanya pada Shafiyah. Tegas Zainab menjawab ia tidak sudi meminjamkan untanya pada Yahudi. Jawaban Zainab membuat Rasulullah marah. Sebagai hukuman, beliau tidak mendekati Zainab selama tiga bulan.
Begitulah. Rasulullah selalu membela Shafiyah sampai akhir hayat. Saat Rasulullah sakit dan dikelilingi istri, Shafiyah berkata, “Ya Rasullullah, seandainya yang engkau rasakan dapat berpindah ke dalam tubuhku.” Semua yang hadir saling pandang. Rasul bisa menebak perasaan yang bergejolak dalam dada istrinya.
“Kalian sakit hati? Demi Allah, Shafiyah jujur dengan katanya itu,” kata Rasulullah.
Setelah Rasulullah wafat, Shafiyah kehilangan pelindung. Kaum Muslimin tak pernah melupakan keturunannya. Keislaman dan kedudukannya sebagai ummul mukminin tak bisa menolongnya.

Saat Umar bin Khtaththab menjadi khalifah, budak Shafiyah mengadu kepadanya. Budak itu mengatakan, Shafiyah menyukai hari Sabtu dan masih berhubungan dengan orang Yahudi. Umar mengutus seseorang guna menanyainya.

“Aku tidak menyukai hari Sabtu sejak Allah menggantinya dengan hari Jumat bagiku. Aku berhubungan dengan orang Yahudi sekedar menjalin silaturahmi,” jawab Shafiyah.
Shafiyah bertanya pada budaknya tentang hasitan itu. Budak itu menjawab, syaitanlah yang menyuruhnya berbuat maksiat.
“Pergilah kamu telah bebas!” kata Shafiyah.
Shafiyah mengisi hari-harinya dengan membantu khalifa Utsman. Dia mengobarkan semangat jihad kaum Muslimin yang sedang kendur dengan mengeluarkan gamis Rasulullah. “Hai kaum Muslimin! Inilah gamis Rasulullah. Dia masih baik, tidak rusak,” seru Shafiyah lantang.
Ketika rumah khalifah Utsman dikepung, Shafiyah selalu mengantar makanan untuk keluarga itu. Dia menembus blokade yang mengepung rumah Utsman, tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam.
Shafiyah meriwayatkan sebanyak 10 hadits Rasulullah SAW, tetapi hanya satu hadits yang dipilih oleh Bukhari dan Muslim dengan derajat muttafaq alaih.
Shafiyah wafat pada tahun 50 Hijriyah, pada masa kekuasaan Muawiyah bin Sufyan. Jenazahnya dimakamkan di Baqi berdampingan dengan makam istri-istri Nabi SAW lainnya. [Sumber: Wikanti Hartati/Ummi Wanita Berpolitik No. 01/Xl Mei-Juni 1999/1420 H]

No comments: