Fatimah Az-Zahra Putri Rasulullah

KINI kita memasuki bulan Rabiul Awal yang sering kita rayakan dengan memperingati maulid (hari lahir) Nabi Muhammad saw. Tradisi ini setiap tahun dilaksanakan oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Aceh. Bahkan, kita di Aceh merayakan dan memperingati sampai tiga bulan plus 10 hari (Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, dan 10 hari pertama di bulan Jumadil Akhir).

Setiap merayakan dan memperingati maulid Nabi saw, kita kerap disuguhi dengan ceramah maulid seputar kelahiran, kehidupan dan perjuangan Nabi Besar Muhammad saw dalam menegakkan dinul Islam. Ini bisa dimaklumi, karena memang dalam diri beliaulah terdapat suri-teladan yang baik bagi manusia. Dalam suasana maulid ini, tak salah juga rasanya kita melihat sejarah kehidupan Rasulullah saw dari sisi putri kesayangan beliau, Fatimah Az-Zahra.

Fatimah Az-Zahra adalah putri bungsu Rasulullah saw bersama Sayidatina Khadijah ra. Saudara atau kakak-kakak Fatimah lainnya adalah Zainab, Ruqaiyah dan Ummu Kaltsum. Sedangkan saudara laki-lakinya yang tertua adalah Qasim dan Abdullah, meninggal dunia dalam usia muda. Fatimah adalah anak yang paling mirip, paling dekat dan paling lama bersama Nabi. Dari Fatimahlah keturunan Nabi Muhammad saw berkembang hingga tersebar ke hampir semua negeri Islam sekarang ini.

Fatimah lahir di Mekkah pada Jumat, 20 Jumadil Akhir atau 5 tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul. Ketika itu sedang terjadi perselisihan di kalangan suku Quraisy dalam menentukan siapa yang berhak meletakkan kembali Hajarul Aswad setelah Kakbah direnovasi. Guna menengahi perselisihan ini, Muhammad yang saat itu sudah digelari al-amin (orang terpercaya) ditunjuk sebagai mediator. Beliau mampu menawarkan solusi dalam perselesihan yang hampir menimbulkan pertumpahan darah di antara kabilah-kabilah Mekkah saat itu.

Kelahiran Fatimah disambut gembira oleh Muhammad dengan memberikan nama Fatimah dan julukannya Az-Zahra. Nama ‘Fatimah’ berasal dari suku kata ‘Fathama’ yang berarti ‘menyapih’ atau ‘menghentikan’ atau ‘menjauhkan’. Sebuah riwayat marfu’ menyebutkan, dinamakan ‘Fatimah’ karena Allah Swt menjamin dan menjauhkan putri bungsu Nabi saw berikut seluruh keturunannya dari neraka. An-Nasa’i menyebutkan bahwa Allah Swt akan membebaskan Fatimah beserta orang-orang yang mencintainya dari neraka.

Fatimah, memiliki banyak julukan, julukannya yang paling masyhur adalah Az Zahra yang artinya bercahaya, berkilau. Selain Az-Zahra, Fatimah mendapat julukan Ash-Shiddiqah (orang yang percaya), Al-Mubarakah, At-Thahirah, Az-Zakiyyah, Ar-Radhiyah, Al-Murdhiyyah. Ia juga mendapat julukan Al-Butul, sebagaimana Siti Maryam (ibunda Nabi Isa as) mendapat julukan tersebut. Al-butul bermakna memutuskan hubungan dengan dunia untuk beribadah kepada Allah.

Julukan yang tidak kalah istimewa lainnya terhadap Fatimah adalah Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Fatimah satu-satunya anak Rasulullah saw yang tinggal bersama Rasulullah setelah Khadijah wafat. Maka dialah yang menggantikan ibunya menyediakan keperluan Rasulullah saw. Rasulullah melalui wahyu sudah mengetaui bahwa hanya Fatimahlah di antara putra putrinya yang akan meneruskan keturunannya.

 Peristiwa besar
Sejak masih kanak-kanak, Fatimah menyaksikan sendiri ujian-ujian getir yang dialami ayahnya, baik berupa gangguan-gangguan maupun penganiayaan yang dilakukan orang-orang kafir Quraisy. Menginjak usia 5 tahun, ia menyaksikan satu peristiwa besar terhadap ayahnya, yaitu turun wahyu yang menandai pengangkatan dan pengukuhan ayahandanya sebagai seorang Rasul dengan tugas-tugas nubuwah yang sangat berat.

Fatimah juga menyaksikan kaum kafir Quraisy melancarkan gangguan kepada ayahnya, sampai cobaan yang berat dengan meninggal ibunya Khadijah. Dia hidup di udara Mekkah yang penuh dengan debu perlawanan orang-orang kafir terhadap Nabi dan keluarganya yang menjadi pusat iman, hidayah dan keutamaan. Dia pun menyaksikan keteguhan dan ketegasan orang-orang mukmin dalam perjuangan gagah berani menghadapi kekejaman kaum Quraisy.

Suasana perjuangan itu terus membekas dalam jiwa Fatimah Az-Zahra dan menjadikannya sebagai pelajaran penting dalam membentuk pribadi dan karakternya untuk menghadapi kesukaran-kesukaran di masa depan. Fatimah hidup bersama ayahanda yang sangat dicintai dan menyayanginya. Dialah yang meringankan penderitaan Rasulullah saw ketika ditinggal wafat isteri beliau, Sayidatina Khadijah ra.

Pada suatu hari, Fatimah menyaksikan ayahnya pulang dengan kepala dan tubuh penuh debu dan pasir, yang baru saja dilemparkan oleh orang-orang Quraisy, di saat ayahnya sedang sujud. Dia menangis tersedu-sedu menyaksikan kekejaman orang-orang Quraisy terhadap Ayahandanya. Sambil terus meneteskan air mata, dia pun membersihkan kepala dan tubuh Ayahandanya dari kotoran, dengan tulus, penuh takzim dan hormat.

Kesedihan hati puterinya itu dirasakan benar oleh Rasulullah saw. Untuk menguatkan hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya, maka sambil mengusap-usap kepala puteri bungsunya itu, Rasulullah berkata: “Jangan menangis... Allah melindungi ayahmu dan akan memenangkannya dari musuh-musuh agama dan risalah-Nya.”

Dengan tutur kata penuh semangat itu, Rasulullah saw menanamkan daya juang yang tinggi ke dalam jiwa Fatimah dan sekaligus mengisinya dengan kesabaran, ketabahan serta kepercayaan bahwa Islam akan menang. Meskipun orang-orang sesat dan durhaka seperti kafir Quraisy itu senantiasa mengganggu dan melakukan penganiayaan, namun Nabi saw tetap melaksanakan tugas risalahnya.

Pada saat lainnya, Fatimah menyaksikan ayahnya pulang dengan tubuh penuh dengan lumuran kotoran kulit janin unta yang dilemparkan oleh kafir Quraisy. Melihat ayahnya berlumuran kotoran najis berbau busuk itu, Fatimah segera membasuh dan membersihkannya dengan air, tentu lagi-lagi tak kuasa menahan isak tangis dan deraian air mata.

Fatimah tumbuh menjadi seorang gadis yang memiliki kepribadian yang sabar, dan penyayang karena dan tidak pernah melihat atau dilihat oleh lelaki yang bukan muhrimnya. Rasullullah saw sering sekali menyebut nama Fatimah, di antaranya beliau pernah berkata bahwa “Fatimah merupakan bidadari yang menyerupai manusia.”

Dalam beberapa riwayat dijelaskan bahwasanya Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah saw. Aisyah ra, misalnya mengatakan: “Tidak ada yang mirip Rasulullah dalam cara berjalan dan bertutur kata kecuali Fatimah.” Sementara Anas bin Malik dalam satu riwayatnya mengatakan: “Fatimah sangat mirip dengan Rasulullah, kulitnya putih dan berambut hitam.”

 Perempuan terhormat
Setahun setelah hijrah, Fatimah dinikahkan dengan Ali bin Abi Thalib. Banyak yang ingin menikahinya kala itu. Maklum saja, selain rupawan, ia adalah perempuan terhormat, anak Rasulullah saw. Dia pernah hendak dilamar oleh Abu Bakar dan Umar, keduanya sahabat Nabi, namun ditolak secara halus oleh Rasulullah.

Sementara itu, Ali tidak berani melamar Fatimah karena menyadari dirinya sangat miskin. Namun Nabi saw mendorongnya dengan memberi bantuan sekadarnya untuk persiapan rumah tangga mereka. Mas kawinnya sebesar 500 dirham (10 gram emas), sebagian diperolehnya dengan menjual menjual kwiras (perisai dari kulit) miliknya yang bagus. Kwiras ini dimenangkannya pada waktu Perang Badar.

Ia menerima 400 dirham sebagai hasil penjualan, dan dengan uang itu ia mempersiapkan upacara pernikahannya. Upacara yang amat sederhana. Nabi memilih Ali sebagai suami Fatimah karena ia adalah anggota keluarga yang sangat arif dan terpelajar, di samping merupakan orang pertama yang memeluk Islam.

Fatimah hampir berumur 18 tahun ketika menikah dengan Ali. Sementara dari ayahandanya sendiri, saat itu Fatimah memperoleh sebuah tempat air dari kulit, sebuah kendi dari tanah, sehelai tikar, dan sebuah batu gilingan jagung. Kepada putrinya Nabi berkata: “Anakku, aku telah menikahkanmu dengan laki laki yang kepercayaannya lebih kuat dan lebih tinggi daripada yang lainnya, dan seorang yang menonjol dalam hal moral dan kebijaksanaan.”

Kepada Ali, Rasulullah berpesan: “Wahai Ali, sesungguhnya Fatimah adalah bahagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku dan buah hatiku. Barangsiapa menyusahkan dia, ia menyusahkan aku, dan siapa yang menyenangkan dia, ia menyenangkan aku.”

Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk menjalin kehidupan bersama. Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerja sama, tolong menolong, cinta, dan saling menghormati. Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami istri yang bahagia.

Dari perkawinan Fatimah dan Ali, lahirlah Hasan dan Husein. Keduanya terkenal sebagai tokoh yang meninggal terbunuh di padang Karbala, Irak. Tak lama kemudian lahir berturut-turut: Muhsin serta tiga orang putri, Zaenab, Ummu Kaltsum, dan Ruqaiyah.

Begitu hebat dan mulia pengorbanan yang diberikan oleh Saidatina Fatimah dalam membantu perjuangan Islam sejak kecil sehingga kewafatannya. Fatimah meninggal dunia enam bulan selepas wafat Rasulullah saw, ketika beliau berusia 28 tahun dan dimakamkan oleh suami tercinta di Janat Ul Baqi’, Madinah. (dari berbagai sumber/asnawi kumar)

No comments: