Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Modern

NAMA lengkapnya Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdullah Ibn Sina, namun ia lebih dikenal dengan panggilan Ibnu Sina atau Avicenna. Ibnu Sina lahir pada 370 Hijriyah atau bertepatan dengan 980 Masehi di Afsyahnah, satu desa dekat Bukhara (dulu termasuk wilayah Persia, namun sekarang merupakan bagian dari Uzbekistan). Pendidikan awalnya ditempuh di tanah kelahirannya Bukhara dalam bidang Bahasa dan Sastera.

Selain itu, ia mempelajari juga Geometri, Logika, Matematik, Sains, Fiqh, dan Kedokteran (pengobatan). Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, ia sudah mahir dalam bidang kedokteran. Bahkan, Raja Bukhara Nuh bin Mansur (memerintah 366-387 H) saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya. Keahliannnya dalam bidang ini tidak ada tolok-bandingnya ketika itu, sehingga ia diberi gelar al-Syeikh al-Rais (Mahaguru Pertama).

Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah, terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol, sehingga seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apa pun selain belajar dan terus menimba ilmu. Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan.

Ibnu Sina juga seorang penulis yang produktif. Tidak kurang dari 450 buku telah ditulisnya, yang sebagian besar fokus pada bidang filsafat dan kedokteran (pengobatan). Karena itu pula Ibnu Sina dianggap sebagai “Bapak Kedokteran Modern” dan banyak sebutan lain yang disematkan kepadanya. Karya Ibnu Sina yang sangat terkenal adalah Qanun fi At-Thib (The Canon of Medicine) yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.

 Zaman keemasan
Ibnu Sina merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dokter dan penulis aktif yang lahir di zaman keemasan peradaban Islam. Pada zaman tersebut ilmuwan-ilmuwan muslim banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India. Teks Yunani dari zaman Plato sampai Aristoteles secara intensif banyak diterjemahkan dan dikembangkan lebih maju oleh para ilmuwan Islam. Pengembangan ini terutama dilakukan oleh perguruan yang didirikan oleh Al-Kindi.

Pengembangan ilmu pengetahuan di masa ini meliputi Matematika, Astronomi, Aljabar, Trigonometri, dan Ilmu Kedokteran (pengobatan). Pada zaman Dinasti Samayid di bagian timur Persia wilayah Khurasan dan Dinasti Buyid di bagian barat Iran dan Persia memberi suasana yang mendukung bagi perkembangan keilmuan dan budaya. Di zaman Dinasti Samaniyah, Bukhara dan Baghdad menjadi pusat budaya dan ilmu pengetahun dunia Islam.

Pada masa itu Ibnu Sina memiliki akses untuk belajar di perpustakaan besar dan banyak koleksi buku di wilayah Balkh, Khwarezmia, Gorgan, Kota Ray, Kota Isfahan dan Hamadan. Saat itu hidup pula beberapa ilmuwan muslim seperti Abu Raihan Al-Biruni seorang astronom terkenal, Aruzi Samarqandi, Abu Nashr Mansur seorang matematikawan terkenal dan sangat teliti, Abu al-Khayr Khammar seorang fisikawan dan ilmuwan terkenal lainya, serta Al-Razi dan Al-Farabi menyumbangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu pengobatan dan filsafat.

Ibnu Sina beruntung lahir di keluarga yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Sejak kecil sang ayah mengajarinya untuk cinta ilmu. Oleh sang ayah, Ibnu Sina diajari Quran dan Sastra. Seorang guru pun didatangkan khusus untuk mengajari Ibnu Sina menghafal Alquran. Di usia 10 tahun Ibnu Sina telah berhasil menghafal isi Alquran dan mendalami berbagai karya sastra.

 Belajar filsafat
Ibnu Sina belajar filsafat dari Abu Abdillah an-Natili, seorang filosof kenamaan yang kebetulan sedang berkunjung ke Bukhara. Beliau diminta ayah Ibnu Sina tinggal di kediamannya untuk mengajarkan filsafat pada anaknya. Dalam waktu yang singkat Ibnu Sina berhasil menguasai filsafat sehingga membuat kagum gurunya.

Tetapi sebelum itu, Ibnu Sina sudah tekun mempelajari ilmu fiqih dari seorang ulama besar bernama Ismail yang tinggal di luar kota Bukhara. Dengan semangat yang tinggi, Ibnu Sina tidak keberatan harus bolak-balik ke rumah gurunya. Kecerdasan Ibnu Sina semakin terlihat saat beliau berusia 16 tahun. Ia sudah sanggup menerangkan kembali pada gurunya isi dari buku Isagoge (ilmu logika), buku al-Mages (ilmu astronomi kuno) dan buku Ecludis (ilmu arsitektur).

Ibnu Sina memang benar-benar tergolong sebagai seorang murid yang cerdas. Di depan guru-gurunya, ia dapat menerangkan rumus-rumus dan berbagai kesulitan yang terdapat dalam buku-buku tersebut. Bahkan konon dalam bidang ilmu astronomi (perbintangan), beliau sudah sanggup menciptakan sebuah alat yang belum pernah dibuat para ahli sebelumnya.

Setelah berhasil mendalami ilmu-ilmu alam dan ketuhanan, Ibnu Sina pun merasa tertarik untuk mempelajari ilmu kedokteran, mulai mendidik di bidang kedokteran, sehingga dalam waktu singkat ia meraih hasil yang luar biasa. Berkat ketekunan dan semangatnya yang tinggi dalam mempelajari ilmu tersebut, Ibnu Sina sanggup mengobati orang-orang yang sakit.

Semakin lama nama Ibnu Sina semakin terkenal, bukan saja di sekitar Bukhara melainkan juga di berbagai pelosok wilayah. Orang-orang yang tertarik di bidang kedokteran mulai mendatangi Ibnu Sina untuk menimba ilmu darinya. Ibnu Sina sendiri tidak menjadikan ilmunya itu sebagai alat untuk mencari kekayaan dunia.

Ibnu Sina mau mengajar dan menolong orang-orang sakit ikhlas karena Allah dan terdorong rasa kemanusiaannya. Ia merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya akan mendapat pahala di sisi Allah di akhirat kelak. Ibnu Sina menghabiskan waktunya untuk mengadakan penelitian-penelitian, menulis dan membaca buku-buku yang bermanfaat bagi kemajuan berbagai ilmu.

 Terserang penyakit
Di hari tuanya, Ibnu Sina sina terserang penyakit Colic, dan karena keinginannya yang kuat untuk sembuh, sehingga dikisahkan bahwa pada saat itu Ibnu Sina pernah minta obat sampai delapan kali dalam sehari. Namun sekalipun kondisinya yang memburuk karena penyakit yang ia derita, ia masih saja tetap aktif menghadiri sidang-sidang majelis ilmu di Ishfahan.

Kemudian ketika al-Daulah bermaksud akan pergi ke Hamadan, Ibnu Sina memaksakan ikut dalam rombongan tersebut. Di tengah perjalanan ia kembali diserang penyakit yang menggerogoti seluruh bagian tubuhnya. “Segala tenaga pengatur kekuatan tubuhku sudah lumpuh sama sekali, dan segala pengobatan sudah tidak berguna lagi,” katanya memelas sambil menahan sakit.

Pada hari-hari terakhirnya, Ibnu Sina mandi, bermunajat mendekatkan diri pada Allah Swt, menyumbangkan hartanya untuk fakir-miskin, membela orang-orang yang tertindas, menolong orang yang lemah, memerdekakan budak, dan tekun membaca Alquran sehingga beliau bisa menamatkannya tiap tiga hari sekali. Semua itu terus ia lakukan hingga ajal menjemput.

Ibnu Sina wafat pada hari Jumat di bulan Ramadhan 428 H bertepatan 1037 M dalam usia 58 tahun. Ia dimakamkan di Hamadan dan hingga sekarang ramai dikunjungi orang dari berbagai penjuru dunia. Sungguh besar jasa Ibnu Sina bagi umat manusia. Semoga Allah Swt menerima amalnya dan mendapat balasan yang terbaik di sisi-Nya. (dari berbagai sumber/asnawi kumar)

No comments: