Infiltrasi Politik Syī`ah dalam Daulah Islam

Klan Bani Buwaih, penganut ideologi Syi`ah mulai menginfiltrasi Daulah Abbasiyah dan melakukan syi`ahisasi. Bahkan tak segan mulai menghina sahabat Infiltrasi Politik Syī`ah dalam Daulah Islam
ilustrasi
Era Bani Abbasiyah

BERBICARA masalah Syi`ah, tidak bisa dilepaskan dari aspek historis yang menggambarkan proses kelahirannya. Dari ranah ini, yang paling bisa dirasakan terutama pada bidang politik. Pada zaman Abu Bakar dan Umar, sekte ini masih belum ada. Namun, di akhir kekhilafaan Umar bin Khatthāb, gejala ini mulai muncul. Paling tidak bisa dimulai dari peristiwa terbunuhnya Umar Ra. (23 H).

Dalam literatur sejarah (spt: al-Bidāyah wa al-Nihāyah, al-Kāmil fī al-Tārikh, Tāriku al-Islām li al-Dzahabi, al-Mihan dll), sudah jamak diketahui bahwa pembunuh Umar adalah Abu Lu`lu`ah (Fairūz) al-Majusi, budak al-Mughīrah bin al-Syu`bah. Pembunuhan ini murni faktor politik, yang dilatarbelakangi oleh rasa dendam yang begitu tinggi, akibat jatuhnya negeri Persia ke tangan kaum Muslimin (baca: Minhāju al-Sunnah al-Nabawiyah, Ibnu Taimiyah, 6/371). Kelak -meskipun Abu Lu`lu` beragama Majusi- ia dianggap sebagai pahlawan agung bagi orang Syi`ah (baca: Farhatu al-Zahrā`, Syaikh Abu `Alī al-Ashfahāni, 125). Bahkan oleh ulama Syi`ah, ia dijuluki sebagai ‘Bābā Sujāu al-Dīn’ [Bapak Pemberani Agama] (baca: al-Kunā wa al-Alqāb, `Abbās al-Qummi, 2/62). Kejadian ini minimal sedikit menggambarkan bagaimana cara pandang politik Syi`ah dalam Daulah (baca: negara) Islam. [Baca juga: Umar: Sang Pemadam Api Majudi [1] dan bagian [bagian 2]]

Di zaman Khalifah Utsman, wilayah Islam yang sedimikian luas meliputi Yaman, Hijāz, Syām, Afrika dan Persia, menimbulkan tantangan tersendiri. Bagaimanapun juga, meluaskan wilayah jauh lebih mudah daripada mempertahankannya. Umar dalam posisi meluaskan, sedangkan Utsman mempertahankan wilayah. Pada zaman Utsman inilah, nantinya lahir pemberontakan-pemberontakan. Orang-orang persia yang pura-pura beragama Islam (menyimpan dendam kusumat) di bawah komando Abdullah bin Saba`(orang Yahudi yang mengaku Islam) untuk menyulut pemberontakan (baca: Tārikhu al-Umam wa al-Rusul wa al-Mulūk, Imam Thabari, 2/647).

Singkat cerita, sifat lembut Utsman, dan kengototannya untuk tetap tinggal di Madinah –padahal sudah ditawari Mu`awiyah untuk pindah ke Damskus atau mengirim pasukan ke Madinah, namun tetap ditolak (baca: Taisīr al-Karīm al-Mannān fī Sīrati Utsmān bin `Affān Syakhshiyatuhu wa `Ashruhu, Muhammad al-Shallābi, 363)-, serta kekuatan militer di Madinah yang begitu rawan, ditambah pula ketidakbersediaan Utsman dalam menghabisi kaum pemberontak (di bawah pimpinan al-Ghāfiqi bin Harb) –lantaran tak mau terjadi pertumpahan darah karena dirinya (baca: Tārikh Dimasyq, Ibnu `Asākir, 398)-, akhirnya Utsman berhasil dibunuh pemberontak dirumahnya sendiri. Kelak, Abdullah bin Saba` -otak di balik pemberontakan ini- adalah sosok yang membidani lahirnya Syi`ah.

Dalam suasana yang begitu mencekam pasca pembunuhan Utsman, negara dalam kondisi tidak stabil. Keadaan inilah yang mendesak Ali bin Abi Thalib segera menerima jabatan Khalifah. Awalnya ia tidak mau -karena yang memaksanya menjadi pemimpin adalah para pemberontak-, namun demi terciptanya kestabilan negara, akhirnya –meskipun terpaksa- ia mau menjadi khalifah pengganti Utsman (baca: al-Khulafāu al-Rāsyidūn, Mushthafā Murād, 583).

Dengan sangat sigap dan cekatan, Ali segera berusaha menstabilkan kondisi negara. Yang menjadi prioritas di awal kekhilāfaannya, ialah mewujudkan stabilitas keamanan, dan menyatukan kaum Muslimin, baru kemudian mengeksekusi pembunuh Utsman. Ternyata, kondisi lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Belum tuntas ia mengamankan negara, pihak dari kalangan sahabat yang tak terima atas pembunuhan Utsman, meminta Ali segera mengeksekusi pembunuh Utsman. Suasana pun memanas. Ali bersikeras dengan pendapatnya, sahabat lain seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah, juga bersikeras dengan pendapatnya (dalam Tārikh Thabari, Imam Thabari, 5/481).

Perang saudara pun tak dapat dihindarkan. Perang Jamal, yang melibatkan Thalhah, Zubair dan Ibunda Aisyah, melawan Ali bin Abi Thalib –sebagai kepala negara resmi- tak terelakkan. Pihak Aisyah akhirnya kalah. Beliau diperlakukan dengan sebaik-baiknya dan dikembalikan ke Madinah. Baru saja masalah ini tuntas, muncul lagi persoalan baru di mana Mu`awiyah bin Abi Sufyan tidak mengakui Ali sebagai khalifah (al-Khulafāu al-Rāsyidūn, Mushthafā Murād, 606) sebelum menindak tegas para pemberontak yang membunuh Utsman. Akhirnya terjadilah pertempuran Shiffīn (36 H). Waktu itu kemenangan hampir di pihak Ali, namun atas kecerdikan Amru bin Ash terjadilah peristiwa tahkīm [arbitrase] (Riwayat ini bersumber dari Abu Mikhnaf, Sejarawan Syi`ah, yang didustakan oleh Ibnu al-`Arabi dalam kitabnya, al-`Awāshim min al-Qawāshim,31).

Dari pihak Mu`awiyah diwakili Amru bin Āsh, sedangkan dari Ali diwakili Abu Musa al-Asy`ari. Kesepakatan damai pun terjadi. Namun dari peristiwa ini, muncul lagi masalah yang tidak kalah peliknya. Kaum Muslimin semakin terpecah-pecah. Sebagian pihak yang mendukung Ali, ada yang pro Muawiyah. Ada juga yang kecewa dan keluar dari keduanya yang kemudian dinamakan: Khawārij. Dari sebagian pendukung Ali inilah, Syi`ah lahir secara nyata untuk pertama kalinya (yang dibidani Abdullah bin Saba`).

Kondisi yang tidak stabil seperti ini damanfaatkan dengan baik oleh para pemberontak. Direncanakanlah -oleh orang Khawārij- pembunuhan para petinggi kaum Muslimin, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Mu`awiyah bin Abi Sufyan, dan `Amru bin Ash. Dari rencana tersebut, yang berhasil dibunuh hanya Khalifah Ali bin Abi Thalib, oleh Abdurrahman bin Muljam (baca: al-Thabaqāt al-Kubrā, Ibnu Sa`ad, 3/25-27)

Syiaisasi penduduk Baghdad

SEPENINGGAL Ali Bin Abi Thalib, Hasan diangkat menjadi khalifah. Namun pada tahun 41 Hijriah –demi terciptanya stabilitas keamanan- akhirnya ia rela menyerahkan tampuk kepemimpinan pada Muawiyah bin Sufyan (baca: Amīru al-Mu`minīn al-Hasan bin `Ali bin Abi Thālib Syakhshiyatuhu wa `Ashruhu, Muhammad al-Shallābi, 368), dengan beberapa syarat di antaranya ialah sepeninggal Mu`awiyah, yang menjadi pemimpin harus diserahkan pada kaum Muslimin.

Pada kenyataannya, Muawiyah malah mewariskan kekuasaannya pada anaknya, Yazid (bukan karena cinta anak, tapi karena memang layak. (baca: al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Ibnu Katsir, 11/308). Pihak pendukung Ali pun kecewa. Husain dan Abdullah bin Zubair menolak kekuasaan resmi Umawi. Pada ujungnya, nanti keduanya –Ibnu Zubair dan Husain- terbunuh. Kematian Husain –di Karbala-, semakin menjustifikasi pengikut Syi`ah untuk melakukan infiltrasi politik dalam negara.

Pada zaman Dinasti Umawi, Syi`ah melakukan berbagai macam pemberontakan seperti yang dilakukan Sulaimān bi al-Shard dengan gerakan al-Tawwābīn (pendukung Husain), dan pemberontakan al-Mukhtār al-Tsaqafī (baca: al-Masū`ah al-Muyassarah fī al-Tārikh al-Islāmī, 187) namun selalu bisa diredam. Baru saat berada dalam kondisi lemah, akhirnya mereka mampu menumbangkan Dinasti Umawi ketika berkoalisi dengan Bani Abbās. Pada ujungnya mereka pun ditumpas, sehingga yang berkuasa penuh adalah Dinasti Abbasiyah. Ketika Dinasti Abbasiyah masih berada pada masa keemasan, mereka belum bisa melakukan apa-apa. Namun ketika mulai lemah, Bani Buwaih (penganut ideologi Syi`ah) melakukan infiltrasi pada Daulah Abbasiyah (334-447 H). Penduduk Baghdad yang sebelumnya bermadzhab Ahli Sunnah, mulai di-syi`ah-kan. Bahkan pada tahun 351 H, di masjid-masjid ada titah untuk menulis kalimat berikut: “Allah melaknat Mu`awiyah bin Abi Sufyān, serta orang yang membenci Fathimah Ra. Dan orang yang melarang jenazah Hasan dikubur disamping kakeknya”. Di tahun yang sama mereka mulai berani merayakan hari raya Ghadīr khum (baca: al-Masū`ah al-Muyassarah fī al-Tārikh al-Islāmī, 309-312).

Ketika Klan Bani Buwaih -penganut ideologi Syi`ah- menginfiltrasi Daulah Abbasiyah, ada beberapa perkara yang dilakukan mereka di antaranya: menyebarluaskan ideologi Syi`ah, tidak segan-segan menghina sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar dan Umar, kondisi negara semakin tidak stabil sehingga Romawi mampu merebut kembali wilayah dari orang-orang Islam, konflik Sunni-Syi`ah semakin meruncing (baca: al-Masū`ah al-Muyassarah fī al-Tārikh al-Islāmī, 309-312). Demikian juga ketika Daulah Fathimiyah berkuasa di Maghrib (Maroko-Tunis), mereka melakukan tindakan berikut: menabikan bahkan menuhankan Ubaidillah Al-Mahdi, bertindak zalim terhadap orang sunni, mengeksekusi setiap yang bersebrangan dengan pendapatnya, guru-guru sunni dilarang mengajar, mencurigai dan melarang berbagai bentuk perkumpulan, melenyapkan karangan Ahli Sunnah, membekukan beberapa syari`at, bekerja sama dengan Pasukan Salib dan tindakan anarkis lainnya (baca: Shalāhuddīn al-Ayyūbi wa Juhūduhu fi al-Qadhā `alā al-Daulah al-Fāthimiyah wa Tahrīru Baiti al-Maqdis, karya Syaikh Muhammad Shallābi).

Sebagai pamungkas dari tulisan ini -tanpa bermaksud membatasi infiltrasi politik Syi`ah lainnya- yang perlu diketengahkan pada tulisan ini ialah infiltrasi dua tokoh Syi`ah ternama yang dikenal dengan Nashīru al-Dīn al-Thūsi (baca: Ab`ādu al-Tahāluf al-Rāfidhī al-Shalībi fī al-`Irāq, Abdu al-Muhsin al-Rāfi`i, 17) dan Muayyidu al-Dīn al-`Alqamī al-Syī`ī (baca: Qisshatu al-Tatār min al-Bidāyah ilā `Ain Jālūt, Rāghib al-Sirjāni, 139). Kedua tokoh ini dianggap berpengaruh lantaran berperan besar dalam proses penghancuran Daulah Abbasiyah. Kalau Nashīru al-Dīn al-Thūsi diangkat menjadi konsultan dan wazīr (setingkat mentri) Hulagu dalam upaya pembunuhan Khalifah. Adapun al-`Alqami selama 13 tahun dipercaya menjadi wazīr oleh Khalifah al-Mustashim Billāh.

Namun apa balasannya terhadap Sang Khalifah? “Air susu pun dibalas dengan tuba”. Ia merongrong daulah dari dalam. Dengan kelicikannya –secara internal- ia memperlemah daulah dengan cara menghasut Khalifah untuk mengurangi jumlah pasukan (padahal pada waktu itu ancaman invasi tentara Mongolia mendesak Khalifah untuk memperbanyak jumlah prajurit), ia pun –secara eksternal- bersekongkol dengan Panglima Tartar, Hulagu Khan untuk menjatuhkan Daulah Abbasiyah. Akibatnya jelas, pada tahun 656 H/1258 M Daulah Abbasiyah Islamiyah jatuh di tangan Hulaghu Khan.

Dari beberapa peristiwa tersebut minimal bisa ditarik kesimpulan, bahwa ketika Syi`ah melakukan infiltrasi politik dalam Daulah (negara) Islam, ada beberapa perkara yang biasa dilakukan di antaranya:

Pertama, keberadaannya selalu membuat negara tidak stabil.
Kedua, memanfaatkan kondisi yang kacau untuk mendapatkan kekuasaan.
Ketiga, merongrong negara dari dalam.
Keempat, sewaktu belum berkuasa, mereka pura-pura pro negara secara lahir, namun secara batin sangat licik dan tak segan bersekongkol dengan musuh untuk menghancurkannya.  Ketika berkuasa secara penuh, biasanyanya baru diketahui watak aslinya (bertindak sewenang-wenang, memaksakan ideologinya ke khalayak umum).
Kelima, orang yang ditugasi melakukan infiltrasi biasanya dikenal pandai berdiplomasi, cerdas, penuh intrik, dan mampu membangun jaringan dengan penguasa. Karena itulah infiltrasi politik Syi`ah patut diwaspadai oleh negara bila tak mau mengalami nasib yang sama. Wallāhu A`lam bi al-Shawāb.*

Mahmud Budi Setiawan
Penulis adalah peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014

No comments: