JENDRAL SOEDIRMAN – PANGLIMA MUDA YANG TAK SELALU SEJALAN

Cermin bagi orang muda Indonesia dalam memandang pemimpinnya.

Soedirman adalah Peletak pertama fondasi bagi kultur ketentaraan Indonesia. Seorang Jendral yang sederhana, berkharisma, tegas dan dicintai bawahannya. Dia juga seorang yang kritis dan berani namun juga seorang yang berjiwa besar.

Kisah Soedirman menginspirasi kita, bagaimana dia mencurahkan pandangan dan sikapnya demi menegakkan Republik ini. Namun dia juga menunjukkan kebesaran jiwanya sebagai seorang prajurit dan Abdi Negara dengan mengedepankan semangat kesatuan di atas perbedaan sikap dalam perjuangannya. Sikap ini menjadikan namanya besar dan menjadi inspirasi bagi generasi-generasi setelahnya.

MENGABDI

Soedirman terlahir sebagai anak yang periang, gemar bermain sepak bola dan sangat luwes bergaul. Dia dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah. Setelah lulus HIS, dia masuk MULO (Meer Uitgebreid Larger Onderwijs) – setara dengan sekolah menengah pertama - ditahun 1935. Di sekolah inilah dia mendapatkan banyak hal mengenai Nasionalisme dari para guru yagn kebanyakan aktif di BOEDI OETOMO.

Dalam keorganisasian, di usia 17 tahun, di Hizbul Wethan (HW) Soedirman didapuk menjadi Menteri Daerah (Setara dengan Kwartir Daerah) untuk Banyumas. HW adalah organisasi Kepanduan di bawah payung Muhammadiyah.

Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Soedirman hanyalah seorang Guru di sekolah Muhammadiyah. Keinginannya menjadi tentara sempat terhambat karena keraguann akibat kakinya pernah terkilir pada saat bermain sepak bola, yang membuat sambungan tulang lutut kirinya bergeser.

Namun pada akhirnya pada 10 Agustus 1944 di Bogor , Soedirman dilantik sebagai seorang daidancho dari Angkatan Kedua pendidikan perwira PETA. Daidancho adalah jabatan setingkat komandan batalion. Dia dan perwira lainnya diberi pedang samurai dan disebar ke 55 daidan (batalion). Soedirman sendiri ditempatkan di Kroya, Jawa Tengah. Saat itu usianya 26 Tahun.

Saat Jepang menyerah kepada sekutu ditahun 1945, sebagai Komandan Batalion Kroya dia berhasil meyakinkan Jepang agar menyerahkan senjata secara damai kepada tentara Indonesia. Hal ini sangat membantu sebagai sumber pasokan senjata bagi Tentara Indonesia saat itu di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Mulai saat itu namanyapun mulai bersinar.

Setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pada tanggal 5 Oktober 1945 dibentuklah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) – 5 Oktober dirayakan sebagai HUT TNI. Seluruh elemen tentara – Eks PETA, KNIL dan Laskar - berbaur dalam TKR. Oerip Soemohardjo ditunjuk sebagai Kepala Staff Umum. Tugas utamanya adalah membenahi organisasi tentara yang masih semrawut. Dimana saat itu para pejuang dari berbagai kelompok berjalan sendiri-sendiri. Pangkat dan jabatanpun diatur sendiri.

12 November 1945 merupakan hari bersejarah bagi TKR. Pada hari itu, di Markas Tinggi TKR di Gondokusuman, Yogyakarta diadakan sebuah pertemuan yang Revolusioner. Rapat itu dihadiri oleh semua wakil tentara dan laskar. Perundingan sempat memanas, namun pada akhirnya semua yang hadir setuju untuk melakukan pemilihan pucuk pimpinan TKR sebagai salah satu agendanya. Pemilihan dilakukan secara sederhana namun demokratis. Nama-nama calon dituliskan di papan tulis dan pendukungnya diminta tunjuk tangan dan dihitung. Kalkulasi suara langsung ditulis di papan tulis. Soedirman mendapatkan dukungan terbanyak dan Oerip mendapat suara terbanyak kedua. Di hari itu Soedirman yang masih berusia 29 Tahun dan berpangkat Kolonel terpilih menjadi Panglima Besar TKR. Oerip Soemihardjo yang saat itu berusia 52 tahun dengan pangkat Letnan Jenderal diminta tetap sebagai Kepala Staff Umum. Di markas Tinggi TKR,pada tanggal 18 Desember 1945 Presiden Soekarno melantik Jendral Soedirman sebagai Panglima Besar. Generalissimo – alias jendral paling jenderal.

Kita harus mengapresiasi kebesaran Hati seorang Oerip Soemihardjo yang menerima tanpa keberatan keputusan para yang menjatuhkan pilihan pada Soedirman, walaupun sebenarnya Oerip jauh lebih senior jika dilihat dari usia dan jabatan/pangkatnya.

Pada masa yang sama, pertempuran melawan Inggris meletus di berbagai daerah. Hal ini dikarenakan kekhawatiran para pejuang terhadap Kehadiran Belanda yang membonceng Rehabilitation Allied Prisoners of Wars and Internees – badan yang didirikan oleh sekutu untuk mengurus tawanan perang. Konflik ini menjadi tidak terkendali setelah pemimpin tentara Inggris – Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh di Surabaya dan memicu terjadinya pertempuran 10 November 1945.

Tak hanya di Surabaya, Malang dan Ambarawa juga memanas. Pertempuran brutal terjadi di daerah-daerah tersebut. Perang Ambarawa yang kita kenal sebagai Palangan Ambawara, yang dikenang sebagai salah satu kemenangan besar Soedirman. Perang 4 hari ini berakhir tanggal 15 Desember 1945.

Peristiwa yang tak kalah pentingnya dalam karir Soedirman adalah keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menguasai Yogyakarta selama 6 jam. Tujuan utamanya adalah menunjukkan eksistensi Tentara Republik Indonesia dan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia di mata Internasional – walaupun saat itu pimpinan Negara ditawan Belanda.

PELAJARAN BERHARGA

21 Juli 1947, Belanda melakukan aksi yang berkedok Aksi Polisinil dengan sandi Operatie Product yang mereka tafsirkan sebagai implementasi dari salah satu isi perjanjian Linggarjati (15 November 1946). Dalam Aksi ini, Belanda juga mengerahkan Pasukan khususnya yaitu KST (Korps Speciale Troepen) yang dipimpin Kapten Westerling – sebelumnya perwira ini beraksi di Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai peristiwa berdarah Pembantaian Westerling (Desember 1946 – Februari 1947).

Namun sejatinya aksi ini bertujuan merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan memiliki sumber daya alam, terutama minyak seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Timur. Peristiwa ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda I . Aksi ini mengundang protes Internasional. Melalui Radio Republik Indonesia Soedirman meminta seluruh rakyat Indonesia bersatu untuk menyelamatkan Negara. Namun perlawanan yang terjadi menyebar dan masih setengah matang. Terlebih lagi para pemimpin TNI masih dipusingkan oleh kerumitan konsolidasi laskar dan tentara – Penggabungan Milisi sipil dan tentara yang jumlahnya sebanyak 500.000 orang. Dalam tempo 2 minggu, korban jatuh di pihak Belanda sebanyak 6.200 orang dan Indonesia 150.000 orang.

Dari peristiwa ini Soedirman menyimpulkan bahwa pertahanan frontal tak bermanfaat. Ia menggantinya dengan memperkuat kantong-kantong gerilya.

KEKECEWAAN TERHADAP SOEKARNO

19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan “Aksi Polisinil”nya dengan melakukan serangan mendadak terhadap Kota Yogyakarta dengan sandi Operation Kraai atau Operasi Gagak – yang saat itu adalah Ibu Kota Republik Indonesia. Aksi ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II. Serangan ini sangat mengejutkan para pemimpin Indonesia. Terlebih Soedirman yang baru empat hari pulang dari rumah sakit setelah operasi paru-paru.

Hari itu juga Soedirman meminta ajudannya untuk mengantarkannya ke Gedung Agung untuk bertemu langsung dengan Soekarno dan meminta agar Soekarno dan pejabat lainnya meninggalkan kota Yogyakarta agar tidak ditangkap Belanda. Selain itu Soedirman juga berniat mengingatkan langsung Soekarno akan janjinya untuk mengambil alih TNI dan memegang komando perang gerilya jika Belanda menyerang. Soekarno menolak pergi (keputusan yang diambil melalui sidang kabinet) dan membujuk Soedirman untuk tetap tinggal di Yogyakarta. Soedirman menolak mentah-mentah tawaran itu. Dengan perasaan kecewa dia memutuskan untuk angkat senjata dan bergerilya. Soedirman paham, selaku pimpinan militer, ia tak boleh ditangkap musuh, agar menjadi salah satu pemegang komando negara.

Perkiraan Soedirman tak meleset. Esok harinya pukul 5 sore, pasukan Belanda masuk Gedung Agung. Soekarno, Hatta, Perdana Menteri Sjahrir dan beberapa anggota kabinetnya ditangkap dan menjadi tahanan rumah. Mereka diasingkan ke luar Jawa yakni Prapat – Sumatera Utara dan Pulau Bangka.

Soedirman lolos dan ditandu meninggalkan kota Yogakarta bersama semua kesatuan tentara nasional. Sejak hari itu perang gerilya atau wehrkreise dimulai. Inilah awal keretakan hubungan antara pemimpin sipil dan militer.

Para pemimpin sipil Republik Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, tampaknya membiarkan dirinya untuk ditangkap dengan konsekuensi diasingkan. Mereka berharap penangkapan ini akan memiliki kekuatan diplomatik dengan menggugah opini internasional tentang peristiwa pendudukan militer pada Desember 1948. Di sisi lain, para pemimpin militer Republik tidak memahami pemikiran pemimpin sipil mereka, sehingga berkomitmen menghadapi serangan Belanda dengan perang gerilya.

Dari peristiwa ini terlihat jelas bagaimana perbedaan garis perjuangan kedua tokoh ini. Soedirman memilih untuk masuk hutan, berjuang dengan angkat senjata dan menolak perjuangan melalui meja perundingan. Selama bergerilya Soedirman tetap konsisten dan menyampaikan kritik keras kepada Syarifuddin Prawiranegara – Kepala Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat. Melalui radiogram dia mempertanyakan legitimasi Soekarno-Hatta. “Apakah pantas orang-orang yang berada dalam tahanan atau berada di dalam pengawasan tentara Belanda berhak melakukan perundingan dan mengambil keputusan politik buat menentukan nasib Repubilk?”. Namun walaupun Soekarno-Hatta ditahan Belanda, Soedirman tetap tunduk dan berkoordinasi dengan PDRI yang dipegang Syarifuddin.

Soekarno-Hatta tiba di Yogyakarta pada 6 Juli 1949, dan pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta. Keesokan harinya Letnan Kolonel Suharto membawa surat yang ditulis oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk Soedirman yang isinya agar Soedirman harus kembali ke Yogyakarta agar tidak ada kesan terjadi perpecahan di dalam pucuk pimpinan Republik.

Tiga Hari kemudian, di pagi buta Soedirman turun gunung dan disambut oleh T.B Simatupang. Soedirman mengendarai mobil bersama Simatupang menuju Gedung Agung, Yogyakarta.

Sore Hari, Soedirman tiba di Gedung Agung. Suasana tampak menegangkan, karena Soedirman masih tampak marah, dia tidak mau masuk dan hanya berdiri kaku dengan tangan kirinya memegang tongkat. Akhirnya, Soekarno dan Hatta yang sebelumnya menunggu di beranda datang menghampiri Soedirman. Dia merangkul tubuh Sang Jendral yang ringkih itu. - Momen ini diabadikan oleh fotografer Frans Mendur. Walau momen rangkulan ini terpaksa diulang Soekarno karena sebelumnya tidak tertangkap oleh kamera Frans. Digambarkan pertemuan itu laksana pertemuan antara dua kakak-adik yang lama tak bersua.

Namun setelah pertemuan ini, ketegangan antara Militer dan Sipil tetap tinggi. 2 Agustus 1949, Soedirman bertemu dengan Soekarno dan A.H Nasution. Soedirman membawa amanat semua tentara yang masih berjuang di luar Yogyakarta yang menyatakan menolak gencatan senjata. Namun Soekarno berpendapat gencatan senjata dibutuhkan agar Konferensi Meja Bundar (KMB) bisa berlangsung di Den Haag, Belanda. Soedirman meminta dibebastugaskan sebagai Panglima Besar karena dia merasa tidak bisa lagi mengikuti kebijakan politik pemerintah. Namun Soekarno manjawab, ”Bila pemimpin TNI mengundurkan diri, Soekarno-Hatta akan lebih dulu mengundurkan diri”. Suasana Hening. Mata Soekarno, Soedirman dan Nasution berkaca-kaca. Mereka berpisah tanpa ada satu keputusan.

Sore harinya Nasution bertemu dengan Soedirman yang berbaring di tempat tidur. Surat pengunduran sudah ditulisnya dan diperlihatkan ke Nasution. Nasution berkata, ”Saya sampaikan bahwa persatuan antara TNI dan Soekarno-Hatta lebih penting ketimbang strategi perjuangan”. Soedirman menyetujui pemikiran itu. Dia batal mengundurkan diri. Besoknya, Soekarno mengumumkan gencatan senjata dan meminta pasukan gerilya mematuhi perintah tersebut.

Suatu hari, tanggal 27 Desember 1949 - sebelum pindah ke Jakarta, Soekarno menulis surat kepada Soedirman yagn terbaring sakit di tempat tidur. Soekarno berharap Soedirman tetap memberi bantuan dan pikiran demi meneruskan perjuangan. Soekarno juga minta maaf atas segala kesalahan dan berharap Soedirman lekas Sembuh.

Namun pada hekekatnya keakraban antara Soekarno dan Soedirman memang bak hubungan kakak-adik. Soekarno begitu menghormati dan menyayangi panglimanya itu. Dalam suratnya kepada Soedirman, Soekarno menyebut dirinya Kanda dan Soedirman sebagai Adinda. Tampak terdapat ikatan emosional yang sangat erat diantara mereka. Usia Soedirman 15 tahun terpaut dari Soekarno.

PERBEDAAN DENGAN HATTA

Tak bisa dipungkiri mengenai keakraban yang terjadi antara Hatta dan Soedirman. Soedirman sering berdikusi politik dengan Hatta. Meskipun dalam keadaan terbaring di rumah sakit, Soedirman tetap meladeni obrolan Hatta. Selain itu juga Hatta sangat perhatian terhadap sehabatnya ini. Mereka adalah sahabat yang sangat dekat.

Dikisahkan bagaimana suatu ketika dimana Hatta baru kembali dari Belanda, ia langsung mencari Jenderal Soedirman. Dia membawakan Obat yang sengaja di beli dan dicarinya di Belanda. Namun sang Jendral saat itu sedang berada di Magelang, Jawa Tengah. Hatta menulis surat pendek kepada keluarga Soedirman dan mendoakan kesehatan koleganya itu.

Walaupun akrab, Hatta dan Soedirman tidaklah selalu sejalan. Hatta dikenal dengan pendapatnya yang menempatkan militer tunduk kepada pemerintah. Seperti halnya Soekarno, Hatta juga sangat mengedepankan perjuangan melalui strategi perundingan yang sebenarnya sangat bertentangan dengan strategi perjuangan Soedirman.

Hatta juga pernah menegur Soedirman karena memberikan keterangan pada pers tentang tentara yang harus bersikap ofensif. Keterangan tersebut dinilai Hatta mengkhawatirkan karena bisa di cap agresive oleh Komisi Tiga Negara (AS, Belgia dan Australia), yang sedang mengawasi gencatan senjata. Hatta mengingatkan Soedirman agar terlebih dahulu bermufakat dengan pemerintah sebelum memberikan keterangan sehingga sesuai dengan strategi politik. Menurut Hatta Tentara adalah alat negara, Tentara tidak berpolitik.

Kabinet Amir Sjarifoeddin runtuh di tahun 1947, dilanjutkan oleh kabinet Hatta. Hatta tetap melanjutkan kebijakan Amir - ReRa (Reorganisasi dan Rasionalisasi) pada Januari 1948. Hatta mengangkat kembali Soedirman sebagai Panglima Besar - Soedirman “disingkirkan” akibat kebijakan ReRa pada pada kabinet Amir.

Hatta memandang Soedirman sebagai tokoh militer muda yang cakap dan patut mendapat peran dan jabatan penting. Sesudah Soedirman wafat pada tanggal 29 Januari 1950, Hatta tidak memutus tali silahturahmi dengan keluarga sang Jenderal. Beberapa kali Hatta datang menjenguk istri dan anak Soedirman di Yogyakarta. Bahkan Hatta menghadiri pernikahan putri pertama dan ketiga Soedirman di tahun 1961 dan 1964.

Ketika Soedirman Wafat, Soekarno tengah melakukan kunjungan kenegaraan ke India. Bung Hatta selaku Perdana Menteri RIS mengucapkan pidato radio di Jakarta pada hari itu. Dalam pidatonya, Bung Hatta meyatakan,”…Soedirman adalah orang yang keras hati yagn suka membela pendiriannya dengan bersemangat. Tapi, apabila pemerintah telah mengambil keputusan, ia selalu taat dan menjalankan keputusan itu dengan sepenuh tenaganya. Jendral Soedirman adalah orang yang sangat disipliner yang harus menjadi contoh dan teladan bagi tentara kita seluruhnya….Soedirman juga menjadi kampium dari semboyan bahwa suatu negara yang ada dan modern, hanya ada satu tentara dengan segala kebijaksanaannya yang ada padanya….”

PERTENTANGAN DENGAN SJAHRIR

Salah satu hasil rapat TKR tanggal 12 November 1945 di Gondokusuman, Yogyakarta adalah ditunjuknya Sri Sultan Hamengkubowono IX sebagai Menteri Pertahanan. Saat itu Sultan Hadir sebagai tamu istimewa bersama Pakubowono XII, Mangkunegoro dan Paku Alam. Namun 2 hari setelah rapat tersebut, Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengumumkan komposisi kabinetnya. Sjahrir menunjuk Amir Sjarifoeddin sebagai Menteri Pertahanan. Penunjukan Amir ini menjadi pemantik ketegangan antara Soedirman dan Sjahrir.

Amir mengubah TKR menjadi TRI (tentara Republik Indonesia) pada tanggal 24 Januari 1946. Tujuannya adalah untuk melebur semua laskar bersenjata ke dalam satu wadah. Karena gagal merangkul laskar-laskar ke TRI Amir membentuk Biro Perjuangan, yang merupakan naungan bagi laskar-laskar tersebut. Mereka dipelihara dan dipersenjatai dengan biaya yang ditanggung oleh Menteri Pertahanan.

Hal ini membuat jengkel Soedirman dan perwira di Markas Besar Tentara. Karena Anggaran yang diperuntukkan bagi Biro ini jauh lebih besar dibanding dengan TRI. Selain itu kewenangan Soedirman di TRI juga terpangkas.

Kebijakan Amir lain yang tidak disukai oleh Soedirman adalah pembinaan opsir-opsir politik lewat Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Sebanyak 55 opsir Pepolit dilantik di bulan Mei 1946. Semuanya berasal dari Pemuda Sosialis Indonesia, pendukung Amir. Mereka lalu disebar ke berbagai kesatuan tentara dan diberi pangkat Militer.

Tujuan pembentukan Pepolit ini didasarkan ketidakpercayaan Amir kepada TRI. Dimana TRI dibentuk dari mantan anggota Militer bentukan penjajah – Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) dan Pembela Tanah Air (PETA).

Sjahrir sendiri bercita-cita tentara Indonesia harus bebas dari unsur-unsur fasisme Jepang. Seperti halnya Soekarno dan Hatta, Perjuangan Sjahrir melalui meja perundingan ditentang keras oleh Soedirman.

Puncaknya adalah peristiwa kudeta 3 Juli 1946 – kudeta militer pertama di Indonesia. Diawali dengan diculiknya Perdana Menteri Sjahrir tanggal 27 Juni 1946 oleh Abdul Kadir Jusuf, perwira yang ditugasi oleh Mayor Jendral Soedarsono yang berhaluan ke kelompok Persatuan Perjuangan (kelompok Tan Malaka, Soebardjo dan Sukarni). Tanggal 3 Juli 1946 Soedarsono datang ke Istana Yogyakarta, menyampaikan maklumatnya untuk ditandatangai Soekarno dan mengklaim mendapat perintah Soedirman. Isi maklumat tersebut antara lain adalah pembubaran Kabinet Sjahrir dan penyerahan pimpinan politik, sosial dan ekonomi ke Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka. Maklumat ini tidak diterima oleh Soekarno. Soedarsono dan tokoh-tokoh yang terlibat ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara. Sjahrir dibebaskan setelah Soekarno meminta Soedirman melepaskannya. Kecurigaan mengarah ke Soedirman. Hal ini juga dikarenakan kedekatan Soedirman dengan tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan. Namun belakangan semua kecurigaan itu tak terbukti.

Setelah peristiwa itu, hubungan Soedirman dan Sjahrir perlahan membaik. Soedirman bersedia memenuhi undangan Sjahrir di Jalan Pegangsaan Timur 56, rumah dinas Sjahrir pada November 1946. Dalam perbincangan 30 menit itu Sjahrir menjelaskan soal jalur diplomasi yang lebih tepat sasaran ketimbang konfrontasi. Sjahrir menjelaskan, kekuatan tentara Indonesia saat itu tak cukup untuk melawan Belanda. Setelah penjelasan itu, Soedirman maklum. Dugaan selama ini bahwa Sjahrir bersekongkol dengan sekutu ternyata tak terbukti.

Pasca pertemuan di Jakarta itu, Soedirman berbalik mengagumi Sjahrir. Kepada Sultan Hamengkubowono IX pada January 1950 dia menyatakan bahwa Sjahrir sebagai pemimpin besar yang pantas memimpin Republik, “Sjahrir adalah tokoh Besar”.

Catatan Penulis:

Soedirman terlahir dengan kecakapan dan ambisi dengan keyakinan yang kuat. Dia didapuk sebagai Panglima Besar TKR pada usia 29 tahun. Panglima dari sebuah Negara yang baru saja berdiri. Terpilih pada situasi semrawutnya organisasi militer dan kacaunya situasi ekonomi, sosial dan politik Indonesia. Seorang Jendral yang wafat diusia muda – 34 tahun, namun telah mewariskan segudang inspirasi.

Dia berani dan memegang teguh pendiriannya. Keputusannya untuk masuk hutan dan bergerilya adalah sebuah keajaiban. Dia memimpin gerilya selama delapan bulan, terus bergerak keluar-masuk hutan dengan separuh paru-parunya.

Namun dibalik sosok yang tegas itu, Soedirman sangat penuh pertimbangan dan berjiwa besar. Dia tetap mengikuti perintah pimpinan Negara yang dipimpin sipil. Dia bersedia datang, bertemu dan berdiskusi dengan Soekarno ataupun Sjahrir dengan mengesampingkan “sikap” pribadinya dan mengedepankan cita-cita perjuangan. Selain itu, selama Soekarno-Hatta ditahan Belanda, dia pun tetap patuh pada pemerintah saat itu (PDRI) yang dipegang oleh Sjarifuddin Prawiranegara. Ketundukan pada pemerintah sipil itulah salah satu warisan Soedirman dan kawan seangkatannya sebagai kultur Tentara Nasional Indonesia.

Perbedaan prinsip dan cara tidak menyebabkan perpecahan persatuan selama tujuan kita sama. Kritik dan sikap berbeda Soedirman bukanlah karena alasan suka ataupun tidak suka, ataupun dikarenakan alasan latar belakang pribadi atau kelompok dari tokoh-tokoh yang tak sepaham dengannya itu. Perbedaan itu tidak menjadikan dirinya musuh bebuyutan ataupun “musuh abadi” terhadap tokoh-tokoh tersebut. Soedirman menunjukkan pada kita bahwa dibalik ambisi, strategi dan pengabdian harus disertai dengan kebesaran jiwa.

Akhirnya…

Negara ini didirikan oleh orang-orang yang memiliki perbedaan prinsip, pandangan dan latar belakang. Namun mereka mampu meletakkan tujuan bangsa dan negara diatas perbedaan itu. Mereka adalah orang-orang yang berjuang tanpa pamrih, tanpa mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Perbedaan itu bisa menyatu dan mewujudkan suatu Negara Kesatuan yang kita diami sampai saat ini. Kita harus jaga Persatuan ini dari segala bentuk apapun yang menginginkan perpecahan bangsa. Karena harga NKRI dan Pancasila adalah selalu tetap…harga mati.

Balikpapan,  12 January 2015

Referensi

    SOEDIRMAN - Seorang Panglima, Seorang Martir, SERI BUKU TEMPO: TOKOH MILITER, Kepustakaan      Populer Gramedia (KPG) bekerja sama dengan Majalah Tempo.

    THE GREAD COMMANDERS of the BATTLE FIELDS (Panglima-Panglima Perang Terhebat),  Angkasa Edisi Koleksi No.XLVI,2008

    http://nationalgeographic.co.id

    http://tni-au.mil.id

Ivo D

No comments: