Muhammad Berabad Lampau

 Wahai Kekasih Allah, Salam Alaika ]

Hari ini berabad lampau, engkau wahai kekasih Allah, matahari dan rembulan, cahaya dari segala cahaya, hadir dalam sepi di bumi. Tak ada ayah yang menyambutmu haru dan membenamkanmu dalam peluk hangat penuh semangat. Dalam masyarakat yang mengagungkan garis turunan, ketiadaan ayah bagimu hanya berarti satu: engkau bukan siapa-siapa.

Mekkah abad ke-6 sungguh tak bersahabat bagi seorang janda pun bagi anak yatim. Tak ada ayah berarti tak ada warisan. Dalam masyarakat yang berkabilah, tak ada harta milik pribadi, hanya milik suku. Maka menjadi yatim bagi sebuah suku adalah beban, bukan berkah meski terlahir sebagai lelaki.

Mekkah sebagaimana kota-kota lain di masa-masa itu adalah tempat paling tidak mungkin untuk membesarkan bayi. Maka mencari inang untuk menyusui bayi bagi kalangan aristokrat pada masa itu, bukan semata-mata karena alasan ibu yang sudah melahirkan sulit segera subur kembali [padahal mereka bertugas melahirkan ahli waris-ahli waris lelaki]. Tetapi juga karena sangat sedikit bayi yang bisa bertahan hidup hingga usia 5 tahun. Kota-kota padat tersebut memiliki sistem pembuangan yang buruk, udara yang buruk hingga infeksi menyebar memangsa manusia.

Tak hanya itu. Di waktu awal pada tahun kelahiran Muhammad, wabah cacar melanda Timur Tengah. Timbul dan menghilang begitu saja. Maka Mekkah yang berada di dataran rendah dikepung gunung hingga seolah udara hanya berpusar di kerendahan, sungguh bukan tempat yang tepat untuk bertumbuh.

Tetapi siapa yang hendak mengambil seorang bayi yatim? Para inang dari Suku Badui yang datang berombongan ke kota Mekkah mencari bayi susuan menolaknya. “Bayi yatim? Tanpa ayah untuk membayar kami?”

Hanya tersisa seorang perempuan miskin, Halimah. Sukunya bertahan hidup di pinggiran. Keledai yang ditungganginya lemah dan tak banyak air susu di payudaranya, hingga anaknya sendiri hampir selalu menangis sepanjang malam karena kelaparan. Ia tahu dia bukan inang yang akan dipilih. Aminah pada saat yang sama sudah putus asa untuk menemukan inang yang akan membawa anaknya ke dataran tinggi. Itu mungkin alasan utama mengapa akhirnya ia merelakan anaknya dirawat oleh seorang perempuan kurus tanpa air susu.

Halimah sesungguhnya perempuan penuh tekad. Ia tidak akan menjadi satu-satunya wanita dalam rombongan mereka yang pulang tanpa membawa bayi. Kepada suaminya sebelum berangkat ia berkata, “Demi Tuhan, aku tidak tidak suka membayangkan pulang tanpa bayi susuan. Aku akan pergi mengambil anak yatim itu.”

“Lakukan semaumu, kata suaminya. “Mungkin Tuhan akan memberkati kita.”
Seperti kita ketahui, kisahnya kemudian menjadi sebuah keajaiban. Panyudara Halimah penuh air susu. Demikian pula ternak-ternaknya. Ketika mereka kembali ke tenda mereka di daratan tinggi, keluarga itu segera memiliki cukup susu untuk diminum, makanan untuk disantap. Bagi Halimah dan suaminya, keberadaan anak yatim itu telah membawa berkah Ilahiah bagi mereka.

Mekkah demikian juga Aminah yakin ada vitalitas yang terserap dari air susu para inang. Apa yang diminum anaknya dari air susu Halimah adalah keaslian: esensi menjadi putra padang pasir. Di dalamnya mengalir kehormatan, kebanggaan, kesetiaan, kemandirian dan keberanian menantang kehidupan yang keras. Karakter dasar yang kelak sangat berguna bagi Muhammad dalam tugas kerasulannya.

Kekuatan karakter Badui, yang orang Mekkah menyebutnya Arabiyyah, Arab, menampakkan bentuk awalnya ketika Muhammad ikut pamannya sebagai pedagang. Ia tahu mengantisipasi kebutuhan Abu Thalib, pamannya. Ia ada di samping pamannya ketika dibutuhkan dan menghilang ketika tak dibutuhkan. Menjalankan tugas bahkan ketika pamannya belum menyadari bahwa itu perlu dilakukan, memeriksa barang kiriman dan mengawasi persediaan. Di usia remaja ia sudah menjadi andalan pamannya, membawa Muhammad ke mana pun ia melakukan perjalanan bisnis.

Sekali lagi Muhammad melalui satu tahap hidup yang penting. Perjalanan bisnis itu mengajarkannya berbagai hal, mulai dari tradisi keramah-tamahan, cara menyantap makanan dan meminum susu yang dicampur madu hingga tradisi agama-agama leluhur yang dituturkan oleh pedagang-pedagang yang ditemuinya. Di penginapan, di halaman-halaman gereja hingga di pasar-pasar di mana mereka menggelar dagangan.

Ia menyaksikan bagaimana pamannya selalu menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan berjabat tangan dengan orang lain, jabat tangan politisi, membuat orang lain merasa dihormati, dekat dan istimewa. Ia belajar bagaimana keakraban bisa dijalin lewat keramahan yang diberikan dengan murah hati dan diterima dengan rasa syukur. Pengalaman yang kelak di masa kerasulan ia jalankan hingga membuat siapapun yang berada bersamanya merasa istimewa.

Kekayaan pengalaman berpadu dengan keistimewaan pribadinya kelak diceritakan orang-orang: “Muhammad jika berada di tengah kaum yang sederhana sama sederhananya, dan jika berada di kalangan ningrat akan terlihat lebih ningrat”. Keistimewaan yang membuat Khadijah, seorang perempuan saudagar kaya jatuh hati kepadanya.

Kehidupan Muhammad berubah. Dalam masyrakat Mekkah di tidak lagi “bukan siapa-siapa”. Ia seorang duta niaga yang menikah dan berbahagia serta dihormati rekan-rekannya. Mungkin hanya Khadijah, istrinya yang sangat faham, mengapa dalam hidup nyaman itu Muhammad masih mengenakan pakaian sederhana jubah bertambal, sendal jepit yang telah luntur warnanya dan memilih menghabiskan malam-malamnya di ceruk salah satu gunung di sana. Merenung dan berdiri di atas batu menatap kota yang tidur di bawahnya. Isolasi diri yang berujung pada perjumpaan dengan malaikat utusan Tuhan.

Seharusnya Muhammad mengabarkan kepada setiap orang Mekkah perjumpaan itu dengan perasaan megah dan terpilih. Tetapi tidak. Ia ketakutan, badannya gemetar dan berlari pulang masuk ke dalam pelukan Khadijah. Itu bukan pengalaman biasa. Pengalaman bertemu Jibril yang kelak digambarkan sangat besar dengan sayap yang bisa memeluk gunung sungguh sesuatu yang menakutkan. Mungkin setelah bermalam-malam menyepi ia sudah berhalusinasi begitu jauh dan kehilangan kewarasan.

Lesley Hazleton, penulis buku Muslim Pertama: Melihat Muhammad Lebih Dekat, seorang Sarjana Psikologi dari Manchester University dan Master Psikologi dari Hebrew University of Jerussalem, menggambarkan peristiwa di Gua Hira seperti ini:

“…lelaki yang melarikan diriknya dari Gua Hira itu gemetar bukan dengan sukacita melainkan dengan ketakutan yang purba dan amat sangat. Dia dikuasai bukan oleh keyakinan melainkan oleh kebimbangan. Dia hanya yakin akan satu hal: apapun yang terjadi, hal itu bukan ditakdirkan untuknya. Bukan kepada lelaki paruh baya yang hanya mengharapkan anugerah yang sederhana. Bukan wahyu yang luar biasa menyilaukan. Kalau dia tidak mengkhawatirkan jiwanya, dia pastinya mengkhawatirkan kewarasannya. Ia mungkin telah melewati ambang batas kewarasannya.

Apapun yang terjadi di Gua Hira di atas sana, kengerian Muhammad adalah reaksi yang benar-benar manusiawi –terlalu manusiawi bagi sebagian orang. Kengerian itu mengungkapkan pengalaman yang nyata. Argumen paling kuat atas kebenaran historis peristiwa tersebut. “

Hari ini hari kelahiranmu Ya Habiballah. Kami hanya bisa merindukanmu, mengagumi ketabahanmu. Karena seperti apapun mencoba, tak akan sampai kami untuk tahu seberapa besar kengerian itu. Kengerian yang oleh karya awal Biografi Islam disebut berujung pada adanya percobaan bunuh diri. Sesuatu yang oleh para teolog muslim konservatif awal dilarang untuk diriwayatkan.

Tetapi bahkan oleh Allah engkau Ya Rasul diabadikan dalam Al Quran sebagai manusia biasa. Manusia mana yang tak akan ngeri menghadapi pengalaman luar biasa seperti itu? Tetapi tidakkah dengan kesanggupanmu Ya Rasulullah menjalani semua rintangan itu telah menjadikanmu manusia biasa yang sangat istimewa?

Berkah atas manusia atas hari kelahiranmu yang Ya Habiballah, pada hari kematianmu dan pada hari engkau kelak dibangkitkan kembali. Sertakan kami di sisimu kelak untuk bersimpuh di keteduhan senyum Tuhan.
Tanlaram

No comments: