Nabi Pembawa Rahmat

SAYA terinspirasi dengan pengantar dakwah Maulid Nabi Muhammad saw yang dicetuskan oleh Darul Ifta Mesir, sebuah lembaga fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Aceh. Dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw. tahun ini, Darul Ifta melakukan dakwah terbuka yang utamanya ditujukan kepada orang di luar Islam, program ini diberi nama An Introduction to Prophetic Mercy (Mengenal Nabi Pembawa Rahmat).

Peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw jangan hanya menjadi ajang perbaikan gizi bagi jasmani. Benar, hanya itu mungkin subtansi maulid bagi sebagian kita. Padahal di samping itu, masih ada rohani kita yang sangat butuh kepada asupan ‘gizi’ yang sehat.

Hemat penulis, saling berbagi rezeki yang kita konkritkan dalam hidangan maulid tidak ada salahnya. Parahnya, mungkin ada di antara kita yang meureupah hidangan maulid di masjid, namun shalat Zuhur-nya di rumah, Ashar di kebun, Maghrib di dalam weu leumo (kandang sapi).

Kalau boleh berkaca di beberapa tempat di Timur Tengah yang pernah penulis ikuti, pelaksanaan maulid tidak hanya berupa bagi-bagi hidangan. Tapi diisi pemberian ijazah untuk kitab yang ditamatkan dalam kesempatan maulid tersebut dengan mengundang ulama ternama. Bagi kami masyarakat Asia, barangkali momen yang terakhir inilah yang paling dinanti.

 Meneladani Nabi
Di antara sifat nabi yang paling penting, bahkan yang membuat banyak kalangan terpana kemudian memeluk Islam dari yang dulunya menjadi musuh adalah sifat rahmah. Kisah rahmah (kasih sayang) Nabi kepada keluarga dan sahabatnya sudah jamak kita ketahui. Sikap menghormati yang tua dan menganyomi yang mudah juga terbukti. Demikian juga terhadap musuh beliau, dalam perang pun Nabi masih menjaga etika, karena tujuan utama dari perang bukanlah membunuh jiwa, tapi memberi hidayah.

Sikap Nabi demikian ternyata tidak hanya kepada manusia, namun juga makhluk yang lain, baik tumbuhan maupun binatang. Pernah Rasul Saw. menegur seorang yang tidak memberi makan seekor kucing. Ketika hendak menyembelih hewan sembelihan, Nabi juga mengajari kita agar menghormati rasa sakit binatang tersebut.

Ketika seorang pemuka para ulama melihat seekor binatang dipermaikan karena melewati sebuah jalan, Sang Ulama berkata, kita dan binatang itu saling memiliki jalan ini. Demikian aplikasi yang jelas terhadap sikap kasih sayang terhadap makhluk yang lain. Sejarah berbicara, dulunya rumah-rumah orang Islam memiliki tempat makan burung di lotengnya, sementara di jalannya diletakkan air untuk diminum oleh binatang. Sungguh mulia ajaran Islam.

Memuliakan orang lain merupakan sikap mendasar yang diterima di dalam Islam. Karena itu, Allah menyebutkan bahwa Nabi tidak diutus melainkan sebagai rahmat bagi sekalian alam (QS. Al-Anbiya: 107 dan At-Taubah: 128). Rahim juga merupakan salah satu sifat Allah yang dengan nama yang sama Allah menyifati Nabi-Nya.

Jika kita membuka Shahih Muslim bab Taubat akan kita temukan pula, bahwa rahmat ini diciptakan ketika Allah pertama kali menciptakan langit dan bumi; sebagai pertanda bahwa ketika Allah menciptakan langit dan bumi, Allah telah menyemai benih rahmat di dalam berbagai lapisan bumi dan langit tersebut.

“Jika demikian, harusnya pohon-pohon rahmat itu terus menjalar, buah-buahnya tak dikira sudah banyaknya. Daun-daunnya malah bisa menghilangkan permusuhan. Namun apa dinyana, realitas malah bertolak. Entah karena illegal logging yang sudah memababat benih rahmat tersebut, sehingga jangankan berbuah, kelopaknya saja tak sempat bersemi. Menyedihkan!

Ketika menafsirkan Surat Al-An’am ayat 54, Imam Thabari mengungkapkan bahwa ayat tersebut menjadi pertanda bahwa Allah Swt, tidak pernah mengedepankan sanksi. Seringkali dalam berbagai ayat yang berisikan larangan terhadap sesuatu, Allah menggandengnya dengan taubat dan kembali kepada jalan Allah, sembari mengingatkan bahwa rahmat Allah lebih besar. Pantas ada yang mengatakan, Jika kita menyesal dengan dosa kita yang amat besar, maka yakinlah bahwa kasih sayang Allah itu Maha Besar.

Syaikh Ali Jumah, mantan Mufti Mesir pernah mengatakan, sudah pasti Allah tidak akan memberikan azab terhadap suatu kaum yang tidak diturunkan kepada mereka Nabi, demikian juga terhadap kaum yang diturunkan kepada mereka Nabi namun tidak ada pewaris Nabi (ulama) di sekitar mereka. Karena itu, ketidaktahuan --selama tidak klo prip-- menjadi satu sebab terhindarnya seseorang dari sanksi.

 Berlaku global
Kita sering mendengar sabda Nabi, barang siapa yang tidak menyayangi ia tidak disayang oleh Allah. Atau hadis lainnya, kasihilah orang yang ada di bumi, niscaya yang Maha Tinggi akan menyayangimu. Juga hadis lain tentang kasih sayang yang cukup banyak. Menariknya, kebanyakan hadis ini berlaku secara global, dalam status kita sebagai sesama makhluk Allah.

Maka, Nabi Muhammad saw adalah Nabi yang diutus oleh Allah agar menjadi rahmat bagi sekalian alam. Apa itu sekalian alam? Sebagian ulama membatasi pada orang yang beriman dan orang kafir. Sementara ulama lain ada yang berpendapat bahwa Nabi adalah rahmat bagi seluruh makhluk, bukan hanya manusia.

Nabi pernah menasehati orang yang mengangkut barang yang terlalu berat di punggung hewan. Lain ketika, Nabi pernah menunjuk gunung Uhud seraya berkata, Ini gunung yang cinta kepada kita dan kita cinta kepadanya. Maka apa yang membatasi kecintaan kita terhadap sesama? Dalam bulan maulid di Aceh, janganlah rahmat terhadap makhluk yang lain kita batasi dengan memberikan sisa makanan kepada hewan saja.

Maulid adalah mengenang kepribadian Nabi saw. Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang hidup di dalam norma agama yang sudah diyakini menjadi darah daging dalam ruh masyarakat Aceh, hendaknya sikap kasih sayang Nabi juga perlu kita implementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Semoga dengan peringatan maulid tahun ini, menjadi akhir dari persengketaan kita sesama saudara, akhir dari masa prasangka buruk kita terhadap orang lain, juga sebagai penggerak kecintaan kita terhadap sesama makhluk Allah yang saling berkongsi di dunia ini.

Marilah kita sikapi perbedaan antara kita selama masih dalam koridor ajaran Islam yang disepakati oleh ulama sebagai sebuah dinamika berfikir, yang di dalam hadis walaupun dhaif disebut sebagai sebuah rahmat. Namun patut diingat, semua itu harus berada pada batas kewajaran dan tidak menggadaikan hal-hal yang prinsipil. Syurga yang telah Allah ciptakan itu sangatlah luas, jangan mempersempit orang masuk ke dalamnya. Jika kita masih mampu membatasi surga, berarti itu hanyalah surga khayalan kita. Wallahu a’lam.

* Zahrul Bawady M. Daud, Alumnus Dayah Bustanul Ulum, Langsa.  Postgraduate Student and Analysist at Arab For Research and Studies Institute, Kairo, Mesir. Email: zahrulbawady@yahoo.com

No comments: