Perang Pajang-Mataram: Perang Setengah Hati?

Setelah berhasil mengalahkan Aryo Penangsang  dan memindahkan pusat kekuasaan dari Demak ke Pajang, Sultan Adiwijoyo kemudian memenuhi janjinya untuk memberikan Bumi Pati kepada Ki Penjawi dan Bumi Mentaok kepada Ki Pemanahan, sebagai hadian atas perjuangan mereka. Bagi Ki Penjawi, Bumi Pati yang sudah merupakan daerah yang terbuka dan ramai, tentu saja tidak perlu susah payah untuk membangunnya. Berbeda dengan Bumi Mentaok yang diberikan kepada Ki Pemanahan, daerahnya masih berupa hutan dan  jarang penduduknya.

Dengan semangat dan tekad yang membara, Ki Pemanahan beserta putranya,   Danang Sutowijoyo, yang juga diangkat anak oleh Sultan Pajang,   disertai Ki Juru Mertani kemudian berpamitan untuk segera membangun daerah yang diberikannya. Dengan tekun tanpa lelah akhirnya berhasilah mereka membangun sebuah daerah yang kemudian diberi nama Mataram.

Walaupun kemudian Ki Pemanahan wafat, usaha untuk memajukan Mataran tidaklah terhenti. Sutowijoyo  yang dikenal sebagai “Ngabehi Lor in Pasar” sudah memperoleh gelar sebagai “Senopati ing Ngalogo” dengan Ki Juru Mertani sebagai penasehatnya, kemudian meneruskan usaha tersebut dengan membuka hubungan terhadap daerah-daerah yang sudah ada terlebih dulu di sekitar Mataram, seperti daerah Mangir dan Pegunungan Sewu. Bahkan dalam perkembangannya,  hubungan dengan Grobogan sampai Pasantenan  juga dijalinnya.

Kemajuan Mataran ini membuat sebagian petinggi di Pajang khawatir dan menganggap Mataram perlu digancurkan agar kelak tidak membahayakan kedudukan Pajang. Sultan Adiwijoyo kemudian mengutus putranya yang bernama Pangeran Benowo dan Aryo Pamalad (Bupati Tuban) untuk pergi ke Mataram guna membuktikan, apakah benar Mataran membangun kekuatan dan akan melawan Pajang.

Meskipun tidak terbukti, akhirnya Sultan Adiwijoyo yang sudah tua dan sakit-sakitan, kemudian memutuskan untuk menggempur Mataram, berperang dengan anak angkatnya sendiri. Masing-masing pihak segera mempersiapkan diri untuk berperang yang tidak akan lama lagi segera meletus.

Atas pertimbangan dari Ki Juru Mertani, pasukan Mataram kemudian mencegat pasukan Pajang disisi sebelah barat Kali Opak, di daerah Prambanan. Dari sisi barat inilah pasukan Mataram menyerang prajurit Pajang yang menyeberang untuk menggempur mereka.

Ketika Sultan Adiwijoyo yang mengendarai seekor gajah akan menyeberangi sungai, malang tak dapat dihindari, beliau terjatuh dari tunggangannya. Dalam kondisi yang masih sakit, ditambah terjatuh dari gajah tunggangannya, akhirnya beliau memutuskan untuk menghentikan penyerbuannya ke Mataram.

Perang antara Pajang dengan Mataram tidak diteruskan, seluruh pasukan Pajang ditarik mundur kembali ke Pajang. Sekembalinya di Pajang, kondisi kesehatan Sultan Adiwijoyo semakin memburuk, dan tak lama kemudian beliau meninggal dunia.

Jika kita menengok kembali ke belakang, tentu masih ingat akan kejadian bahwa orang yang berjasa mengangkat Adiwijoyo, dari seorang bupati menjadi sultan di Pajang adalah Trio Selo (Ki Pemanahan, Ki Penjawi dan Ki Juru Mertani) dan Sutowijoyo (anak angkat Adiwijoyo) yang pada waktu itu berhasil mengalahkan AryoPenangsang Bupati Jipang. Pada saat berikutnya, mereka yang semula bersatu harus saling berperang demi mempertahankan posisi kedudukannya masing-masing.

Namun yang menarik disini adalah posisi seorang Ki Juru Mertani. Bila dulu beliau adalah penggagas dari usaha menaikkan Adiwijoyo, pada kejadian berikutnya menjadi penasehat Sutowijoyo yang nantinya akan mengakhiri kekuasaan Adiwijoyo di Pajang.

Salam Damai 2015

Jati

No comments: