Sejarah Rahasia Freemasonry dan Illuminati ( bagian 21 dan 22)

Dome_of_the_Rock_viewed_through_Bab_al-Qattanin

Setelah itu, Umar melanjutkan perjalanannya ke Yerusalem. Lagi-lagi ia berjalan seperti layaknya seorang musafir biasa. Tidak ada pengawal. Ia menunggang seekor kuda yang biasa, dan menolak menukarnya dengan tunggangan yang lebih pantas.
Di pintu gerbang kota Yerusalem, Khalifah Umar disambut Partiarch Yerusalem, Uskup Agung Sophronius, yang didampingi oleh pembesar gereja, pemuka kota, dan para komandan pasukan Muslim. Para penyambut tamu agung itu berpakaian berkilau-kilauan, sedang Umar hanya mengenakan pakaian dari bahan yang kasar dan murah. Sebelumnya, seorang sahabat telah menyarankannya untuk mengganti dengan pakaian yang pantas, namun Umar berkata bahwa dirinya mendapatkan kekuatan dan statusnya berkat iman Islam, bukan dari pakaian yang dikenakannya. Saat Sophronius melihat kesederhanaan Umar, dia menjadi malu dan mengatakan, “Sesungguhnya Islam mengungguli agama-agama mana pun.”
Di depan The Holy Sepulchure (Gereja Makam Suci Yesus), Uskup Sophronius menyerahkan kunci kota Yerusalem kepada Khalifah Umar r.a. Setelah itu Umar menyatakan ingin diantar ke suatu tempat untuk menunaikan shalat tasyakur. Oleh Sophronius, Umar diantar ke dalam gereja tersebut. Umar menolak kehormatan itu sembari mengatakan bahwa dirinya takut hal itu akan menjadi preseden bagi kaum Muslimin generasi berikutnya untuk mengubah gereja-gereja menjadi masjid. Umar lalu dibawa ke tempat di mana nabi Daud a.s konon dipercaya sholat dan Umar pun sholat di sana dan diikuti oleh umat Muslim.
Ketika orang-orang Romawi Bizantium menyaksikan hal tersebut, mereka dengan kagum berkata, kaum yang begitu taat kepada Tuhan memang sudah sepantasnya ditakdirkan untuk berkuasa. “Saya tidak pernah menyesali menyerahkan kota suci ini, karena saya telah menyerahkannya kepada ummat yang lebih baik…,” ujar Sophronius.
Umar tinggal beberapa hari di Yerusalem. Ia berkesempatan memberi petunjuk dalam menyusun administrasi pemerintahan dan yang lainnya. Umar juga mendirikan sebuah masjid pada suatu bukit di kota suci itu. Masjid ini sekarang disebut sebagai Masjid Umar. Pada upacara pembangunan masjid itu, Bilal r.a.—bekas budak berkulit hitam yang sangat dihormat Khalifah Umar melebihi dirinya—diminta mengumandangkan adzan pertama di bakal tempat masjid yang akan didirikan, sebagimana adzan yang biasa dilakukannya ketika Rasulullah masih hidup. Setelah Rasulullah SAW wafat, Bilal memang tidak mau lagi mengumandangkan adzan. Atas permintaan Umar, Bilal pun melantunkan adzan untuk menandai dimulainya pembangunan Masjid Umar.
Saat Bilal mengumandangkan adzan dengan suara yang mendayu-dayu, Umar dan kaum Muslimin meneteskan airmata, teringat saat-saat di mana Rasulullah masih bersama mereka. Ketika suara adzan menyapu bukit dan lembah Yerusalem, penduduk terpana dan menyadari bahwa suatu era baru telah menyingsing di kota suci tersebut.

PERANG SALIB

Walau demikian, penyerahan kota suci Yerusalem oleh Uskup Agung Sophronius yang mewakili Gereja Katolik Romawi Bizantium (Timur), diam-diam telah menimbulkan dendam di dada Gereja Katolik Romawi Barat. Perjanjian Aelia yang menancapkan perdamaian antara umat Islam dengan umat Kristen ternyata tidak langgeng. Paus Urbanus II-lah bersama Peter si Pertapa (Peter the Hermit) yang mengakhiri perdamaian itu dan menggali kapak peperangan dengan mengirimkan ekspedisi tentara Salib pertama ke Yerusalem untuk merebut kota suci itu dari tangan kaum Muslimin.
Nama Paus Urban II begitu dikenal dalam sejarah Gereja maupun dunia. Pidatonya yang begitu berapi-api pada tahun 1095 di Clermont, Tenggara Perancis, sangat fenomenal karena mengakhiri masa perdamaian panjang antara Dunia Kristen dengan Dunia Islam dengan menyerukan Perang Salib. Paus Urban II berteriak, “Deus Vult!” Inilah kehendak Tuhan! Maka ratusan ribu orang-orang Kristen Eropa tumpah-ruah menjadi tentara salib dan berbondong-bondong mengalir menuju ke Yerusalem yang hanya dihalangi Lautan Tengah.
PopeUrbanFirstCrusade

Mengapa tiba-tiba Paus Urban II mengobarkan Perang Salib? Mengapa seruan yang sebenarnya mengerikan ini begitu disambut dengan gemuruh oleh orang-orang Kristen di Eropa? Benarkah motivasi orang-orang Kristen—dan Paus Urban II sendiri—adalah murni ingin merebut Kota Suci Yerusalem dari kekuasaan orang-orang Islam? Benarkah Perang Salib semata didasari iman Kristiani? Lantas siapa sebenarnya Peter si Pertapa yang mendampingi Paus Urban II dan memprovokasinya? Adakah Peter si Pertapa merupakan salah seorang anggota cikal bakal Ordo Sion? Adakah Peter merupakan seseorang suruhan dari Majelis Tertinggi Ordo Kabbalah? Pertanyaan ini akan membawa kita menelusuri sebuah kisah yang terjadi di tahun 1070, duapuluh sembilan tahun sebelum Perang Salib I dikobarkan.
Suatu hari, ketenangan dan kesunyian yang ada di sekitar Hutan Ardennes, Belgia, terusik dengan bunyi gemuruh derap puluhan ekor kuda yang berlari kencang. Debu-debu beterbangan ke udara. Burung-burung mengepakkan sayap keluar dari sarang. Hewan-hewan kecil berlarian menghindari jalan tanah yang penuh dilalui kuda-kuda yang berlari dengan cepat. Satu kesatuan biarawan khusus dari Calabria, Italia selatan, pimpinan Ursus tiba di dekat hutan. Hutan Ardennes merupakan bagian dari kekuasaan Godfroi de Bouillon. Setibanya di tempat itu, biarawan-biarawan dari Calabria yang dipimpin seorang tokoh keturunan Dinasti Merovingian langsung mendapat sambutan hangat dari Duchess of Lorraine. Bahkan oleh penguasa daerah itu, para biarawan dari Calabria tersebut diangkat menjadi pemimpin. Duchess of Lorraine adalah ibu angkat dari Godfroi de Bouillon yang bernama Mathilde de Toscane (Mathilda dari Tuscany).[1]
Masih menurut The Holy Blood and the Holy Grail, para biarawan tersebut diberi sebidang tanah dari Mathilde yang terletak di Orval, tidak jauh dari Stenay, sebuah tempat di mana Dagobert II dibunuh lima abad silam. Di atas tanah tersebut didirikan sebuah gereja yang dipergunakan sebagai tempat tinggal mereka. Tigapuluh delapan tahun kemudian, 1108, para biarawan dari Calabria tersebut meninggalkan gereja dan Ardennes secara misterius. Menurut penduduk setempat, konon mereka kembali ke Calabria. Pada tahun 1131, Orval menjadi salah satu tanah milik Saint Bernard. Kedatangan para ksatria misterius ini disambut layaknya saudara dekat yang sudah lama tidak bertemu oleh tuan rumah, Mathilde de Toscane. Para Biarawan dari Calabria ini sangatlah mungkin kelompok dari Ordo Putih Kabbalah, seperti halnya Godfroi de Bouillon.
Sebelum meninggalkan Orval, para biarawan Callabria ini sempat memasukkan salah satu anggotanya, Peter si Pertapa, ke dalam kehidupan keluarga Mathilde de Toscane. Peter menjadi pembimbing ruhani sekaligus penasehat Godfroi de Bouillon. Dengan cepat Peter diterima oleh petingggi Gereja. Pada tahun 1095, bersama Paus Urbanus II, Peter memberikan khotbahnya yang berapi-api yang menekankan pentingnya Dunia Kristen mengakhiri perjanjian damai dengan Kaum Muslimin dan mengobarkan Perang Salib guna merebut kembali Kota Suci Yerusalem. Sejarah telah mencatat, salah satu pencetus Perang Salib selain Paus Urbanus II adalah Peter si Pertapa.
Latar belakang peristiwa yang terjadi dalam Dunia Kristen sebelum Paus Urbanus II dan Peter mengeluarkan pidato yang menghendaki Perang Salib digelorakan, patut dilihat. Pada tahun 1054, lebih kurang 40 tahun sebelum Perang Salib diserukan, Gereja Katolik dilanda perpecahan besar (Schisma) yang mengancam otoritas gereja ini menjadi dua bagian: Gereja Katolik Barat yang berkedudukan di Vatikan, dan Gereja Katolik Timur yang berkedudukan di Konstantinopel. Yang pertama dikemudian hari sering disebut sebagai Gereja Katolik Roma, dan yang kedua dikenal sebagai Gereja Katolik Ortodoks.
Para petinggi Vatikan termasuk Paus Urbanus II terlibat sangat aktif dalam polemik hak penobatan (Controversi Investiture). Selain itu, Gereja Katolik Ortodoks yang berada di wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi Bizantium dianggap sebagai batu ganjalan bagi Katolik Roma dan Eropa Barat untuk melakukan perdagangan secara langsung dengan kawasan timur yakni Dunia Islam.
Faktor lain yang juga menjadi latar belakang Perang Salib adalah anggapan bahwa Palestina merupakan hak milik Dunia Kristen, bagian dari negeri-negeri Kristen (The Christendom). Palestina saat itu tengah berada dalam kekuasaan umat Islam di bawah Dinasti Seljuk. Terlebih setelah kemenangan Dinasti Seljuk atas Romawi Bizantium dalam Perang Manzikert pada tahun 1071, Kaisar Romawi Timur Alexei Comnenus merasa posisinya kian terjepit.
Kepentingan Eropa ini, merebut Yerusalem, ternyata sama dengan kepentingan dari Ordo Kabbalah yang hendak kembali menguasai Palestina guna mendirikan kembali Haikal Sulaiman sebagai Tahta Suci kepercayaan paganis mereka. Mereka percaya, Sulaiman adalah sahabat para Iblis termasuk Lucifer, sebab dalam kitab-kitab Ilahiah pun disebutkan bahwa setan termasuk bagian dari tentaranya Nabi Sulaiman a.s., selain bangsa jin. Penjaga harta karun Haikal Sulaiman saja disebut sebagai Asmodeus, setan penjaga harta karun. Sebab itu, lewat perantaraan Peter Sang Pertapa, Ordo Kabbalah memprovokasi Paus Urbanus II agar mengakhiri perjanjian damai Aelia dan mengobarkan Perang Salib.

Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln; Holy Blood, Holy Grail; hal. 124.

FIRST-crusade

Sangat kebetulan, saat itu Kaisar Alexius Comnenus sangat memerlukan pertolongan. Ia lalu teringat kejadian beberapa tahun sebelumnya, saat itu serombongan ksatria dari Barat pimpinan Pangeran Robert de Flanders kembali dari Palestina dan melewati Bizantium. Kaisar Comnenus merasa sangat takjub melihat para ksatria ini yang diyakininya telah memiliki pengalaman tempur yang memadai. Sebab itu, Kaisar Alexei Comnenus segera melayangkan surat permintaan bala bantuan kepada Paus Urbanus II. Ia memerlukan setidaknya 1200 orang pasukan.
Ketika surat permohonan bantuan dari Kaisar Alexei Comnenus sampai di tangannya, Paus Urbanus II sangat bergembira. Paus memang sejak lama memikirkan bagaimana upaya menyingkirkan ‘Paus’ saingannya dalam Controversi Investitur. Dengan adanya surat ini, maka terbukalah kesempatan Paus Urbanus II untuk mengirimkan pasukan perang ke timur. Didampingi Peter si Pertapa, Paus Urbanus II segera menggelar satu pertemuan di Aurillac, Perancis, dan dengan berapi-api Paus Urbanus II menyatakan bahwa sekaranglah saatnya bagi Dunia Kristen untuk mengangkat senjata memerangi Kesultanan Turki Seljuk.
Dalam pidatonya itu, Paus Urbanus II menggunakan kata-kata yang menggugah orang-orang Kristen Barat agar merebut kembali Yerusalem dari apa yang dikatakannya sebagai pendudukan oleh umat Islam yang dianggapnya kaum penyembah berhala, yang menyembelih orang-orang Kristen, dan menghancurkan gereja-gereja di Yerusalem. Semuanya ini sebenarnya dusta belaka. Iman Kristiani ditekankan.
Paus juga menjanjikan kepada siapa pun yang ikut dalam penyerangan angkatan salib akan menerima ampunan atas segala dosa mereka dan ‘mahkota’ yang besar dan agung di surga kelak jika terbunuh. Paus Urbanus II berkali-kali menegaskan hal itu di dan mengatakan jika itu semua ada di dalam tangannya sebagai pewaris Tahta Suci Santo Petrus.
Pidato Paus Urbanus II yang penuh hasutan itu segera disambut gegap-gempita oleh khalayak. Paus Urbanus II menyembunyikan maksud sebenarnya dari pidatonya tersebut yang sesungguhnya ingin menyingkirkan saingannya di Timur dan memasukkan Gereja Katolik Timur ke dalam kekuasaan Gereja Katolik Barat.
Selain itu, Paus Urban II juga menyadari bahwa orang-orang Eropa yang berada di wilayah Perancis, Inggris, Spanyol, Italia, dan sebagainya sesungguhnya telah jemu dengan konflik antar sesama, dengan para tuan tanah, dengan masyarakat feodal, dengan para perampok, dan lainnya. Orang Eropa sudah jemu dengan segalanya ini. Roda perekonomian pun berjalan statis karena jalur perdagangan ke kawasan Timur tersendat oleh keberadaan Gereja Katolik Bizantium.
“Mereka memerlukan musuh bersama,” demikian pikir Paus Urbanus II. Maka dengan ‘kata-kata berapi sedikit’ sudah cukup untuk membuat orang-orang Eropa ini bersatu untuk bersama-sama menyusuri selatan Eropa dan menyeberangi Lautan Tengah menuju Yerusalem.
Donald Queller, seorang professor sejarah dari Universitas Illinois-AS, menyatakan, “Ksatria-ksatria Perancis menginginkan lebih banyak tanah. Pedagang-pedagang Italia berharap untuk mengembangkan perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Timur Tengah… Sejumlah besar orang-orang miskin bergabung dengan ekspedisi sekadar untuk melarikan diri dari kerasnya kehidupan sehari-hari mereka.”[1]
Sepanjang jalan menuju Yerusalem, gerombolan yang serakah, buas, dan sama sekali tidak terorganisir dengan baik, ini melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap orang-orang Yahudi dan Islam. Betapa serakahnya mereka kepada harta, mereka bahkan membelah perut-perut korbannya dengan pedang untuk menemukan emas dan permata yang menurut mereka mungkin sekali telah ditelan sebelum pergi berperang.
Bahkan karena keserakahannya ini, satu ironis dalam sejarah Perang Salib terjadi. Pasukan Salib ini tanpa sesal telah melakukan perampokan sebuah kota Kristen di Konstantinopel pada Perang Salib IV. Mereka masuk ke dalam gereja dan melucuti daun-daun emas dari lukisan-lukisan dinding Kristiani di Gereja Hagia Sophia, sebuah Gereja Kristen Byzantium. Beberapa benda berharga yang biasa dipakai saat kebaktian pun diambil mereka. Gereja pun ditinggalkan dalam keadaan hancur porak-poranda.
Baltic-crusade

Pada tahun 1097, sekitar 150.000 orang, sebagian dari Jerman dan Normandia, dikerahkan dalam tiga angkatan di bawah pimpinan Godfroi de Bouillon, Raja Bohemond, dan Raja Raymond. Mereka bertemu di Konstantinopel. Ketika Godfroi de Bouillon berangkat ke Yerusalem, dirinya ditemani sekelompok orang tak dikenal yang bukan sekadar tentara tetapi juga berperan sebagai penasihat dan administrator.
Untuk menggalang lebih banyak pasukan perang, Paus Urbanus II menyerukan kepada kaum sekular Eropa untuk bergabung dengan mereka. Selain janji-janji surga, Paus juga menjamin Gereja akan melindungi kekayaan para bangsawan selama kepergian mereka ke Yerusalem. Namun barangsiapa ada yang tidak mau menunaikan tugas ini, maka Gereja akan menghukum mereka.
Angkatan Perang Salib I ini terdiri dari tiga kelompok: Kelompok pertama dipimpin Godfroi of Bouillon dari Lorraine dan saudaranya, Baldwin. Godfroi ini berdarah Yahudi dan ada yang menyebutkan bahwa Godfroi memeluk agama Kristen hanya sebagai upaya menyelamatkan diri agar tidak dikejar-kejar oleh Gereja. Kelompok kedua dipimpin Bohemond dari Normandia.
Malah ada pula keterangan bahwa Godfroi ini sesungguhnya merupakan seseorang yang diutus Majelis Tinggi Ordo Kabbalah untuk menguasai Yerusalem. Pasukan yang ketiga dipimpin Raymond IV dari Province, Perancis yang didampingi utusan pribadi Paus, Uskup Adheman. Raymond juga mengingatkan Paus akan pentingnya bantuan angkatan laut dari Genoa. Paus Urbanus II kemudian mengirim surat kepada Genoa dan segera mengirimkan sekitar duabelas kapal perang untuk mendukung pergerakan angkatan Salib ini.
John J. Robinson[2]
sependapat dengan Donald E. Queller yang menyatakan tidak sepenuhnya motivasi orang Kristen pergi berperang adalah semata didasari iman Kristiani. Namun lebih didasari oleh tuntutan ekonomi dan mencari penghidupan yang lebih baik. Robinson malah menyinggung tentang Pangeran Emich von Leiningen, seorang Kristen yang taat karena di tubuhnya terdapat tanda lahir yang menyerupai tanda salib.
“Daging tubuh ini berasal dari ilahiah,” demikian Emich. Dalam perjalanannya menuju Yerusalem, pada bulan Mei 1096 Emich dan pasukannya melewati kota kecil Worms yang banyak dihuni orang Yahudi. Mereka melakukan perampokan terhadap rumah-rumah itu dan terhadap orang Yahudi yang tidak mau masuk Kristen maka mereka langsung membunuhinya. Sebelumnya, Emich juga telah melakukan hal yang sama di kota Speyer. “Merekalah kaum yang bertangungjawab atas kematian dan penyaliban Yesus, karena itu mereka pantas untuk mati atau bertaubat menjadi Kristen,” demikian Robinson mengutip pernyataan Emich.
Konstantinopel merupakan kota tempat bertemunya ketiga pasukan salib ini. Kaisar Alexius Comnenus menyatakan semuanya harus tunduk padanya. Awalnya Godfroi dan Raymond menentangnya, namun akhirnya menyepakati hal itu.
Pada permulaan 1097 tentara Salib mulai menyeberangi Selat Bosphorus bagai air bah. Mereka berkemah di Asia Kecil yang saat itu dikuasai Dinasti Seljuk, Asley Arsalan. Mula-mula mereka mengepung pelabuhan Nicea selama sebulan sampai jatuh ke tangan tentara Salib pada 18 Juni 1097.
Ini berarti Bizantium telah merebut kembali apa yang telah dikuasai dari Antiokia selama enam tahun. Tentara Bizantium di bawah pimpinan Kaisar Comnenus mengadakan perundingan dengan penguasa kaum Muslimin seputar penyerahan kota itu kepadanya, dengan jaminan muslim Turki akan diselamatkan. Ini mengejutkan tentara Salib karena didahului oleh kelihaian Kaisar Bizantium ini.
Tentara Salib terus maju. Pertempuran di Darylaeum meluas ke tenggara Nicea sampai akhir 1097. Tentara Salib meraih kemenangan karena Seljuk dalam kondisi lemah. Mereka berhasil memasuki selatan Anatolia dan Provinsi Torres. Di bawah pimpinan King Baldwin I, mereka mengepung Ruha yang penduduk Armenianya beragama Kristen. Rajanya, Turus, telah melantik Baldwin untuk menggantikannya setelah ia mati, sehingga Baldwin dapat menaklukan Ruha pada tahun 1098.
Bohemond menaklukan Antiokia, ibu kota lama Bizantium, pada tanggal 3 Juni 1098 setelah susah payah mengepungnya selama sembilan bulan. Antiokia termasuk benteng yang sangat kuat karena secara geografis sangat strategis dengan gunung-gunungnya yang mengelilingi sebelah utara dan timur, dan sungai yang membatasinya. Jatuhnya Antiokia dari kekuasaan Dinasti Seljuk disebabkan oleh berpecah-belah dan lambatnya bantuan dari Persia, serta terjadinya pengkhianatan di dalam Antiokia sendiri di mana orang Armenia yang Kristen ternyata memihak angkatan Salib. Bantuan logistik dan perlengkapan dari Inggris dan armada laut Genoa yang tiba di pelabuhan Suwaida semakin memperkuat tentara Salib.

 Rizki Ridyasmara
[1] World Book Encyclopedia; Crusade; Donald E. Queller, Ph.D, Contributor; World Book; 1998. [2] John J. Robinson; Born in Blood: The Lost Secrets of the Freemasonry; M. Evans & Co; NY; 1989.

No comments: