Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam (Part 13)




14 soldaten van het KNIL Atjeh oorlog Sumatra Ned.Indië

Jumlah pasukan Belanda yang dikerahkan dalam serangan kedua ini merupakan jumlah pasukan terbesar yang pernah digelar dalam satu operasi di Nusantara. Selain tentara regulernya yang berjumlah puluhan ribu, Belanda juga mengerahkan tak kurang dari 8.500 anggota pasukan elitnya, 1.500 pasukan cadangan, dan 4.300 pelayan dan kuli.
Seperti halnya dengan anggota pasukan Salib pertama yang direkrut dari para perampok, maling, narapidana, dan sampah masyarakat lainnya, maka tentara Belanda yang diberangkatkan ke Aceh ini juga diambil dari kalangan sampah masyarakat dari berbagai negeri Eropa.
Berbagai media Eropa menyebut pasukan Belanda ini sebagai pasukan yang memiliki disiplin dan moral yang amat rendah, dan bahkan menjijikkan bagi para pengamat dari Inggris.[1] Dan sebagai komandan pasukan keseluruhan, General Van Swieten dipanggil kembali dari pensiunnya dan diberikan upah yang sangat menggiurkan.
Yang patut menjadi catatan, di Batavia pada bulan November 1873 tengah berjangkit penyakit menular kolera yang saat itu belum ada obatnya. Banyak dari serdadu Belanda yang akan berangkat ke Aceh tertular penyakit ini. Tak kurang dari 80 serdadu meninggal akibat kolera di tengah perjalanan dan mayatnya dibuang ke laut.
Tanggal 9 Desember 1873, pasukan Belanda mendarat di Aceh di tengah hujan tembakan meriam laskar Aceh. Karena kekuatan senjata yang tidak seimbang, Belanda dapat menghalau laskar Aceh dari pantai. Pada hari Natal, 25 Desember 1873, pasukan Belanda merayakannya dengan melepaskan tembakan dan bom ke pusat kota Banda Aceh. Inilah kasih Natal bagi rakyat Aceh.
Masjid Raya Baiturrahman yang dipertahankan oleh pasukan Tuanku Hashim akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 6 Januari 1874. Kolera yang menjangkiti serdadu Belanda akhirnya menulari laskar Aceh. Pada 24 Januari 1874, saat pasukan yang dipimpin langsung oleh General Van Swieten mengepung istana kerajaan Aceh (keraton), laskar Aceh sengaja meninggalkan tempat itu yang sudah dipenuhi kuman kolera dan mundur ke bukit-bukit. Akibatnya, kian banyak serdadu Belanda yang terkena kolera di dalam istana tersebut dan mati konyol.
“Jatuhnya” istana kerajaan Aceh itu menimbulkan semangat baru bagi para serdadu Belanda. Dengan langkah mantap dan gagah, mereka berbaris memasuki istana yang sudah kosong dan lapuk. Di Belanda sendiri, momen ini disambut dengan penuh sukacita. “Antusiasme umum meletus, bendera berkibar di mana-mana dan ucapan selamat membanjiri Jenderal itu (Swieten).”[2]
Serdadu Belanda yang memasuki istana bertingkah-laku sangat kekanak-kanakan saking girangnya. Mereka beramai-ramai naik ke atas Gunongan—sebuah miniatur gunung berpundan-pundan yang berada di dalam kompleks istana yang dibangun pada abad ke-17 dan dulu dipergunakan sebagai tempat perempuan istana bercengkerama—sambil tidur-tiduran atau sekadar duduk-duduk. Mereka belum menyadari bahwa kolera diam-diam tengah membunuhnya.
Walau sudah “menguasai” istana, serdadu Belanda agaknya tidak juga merasa aman seratus persen. Tiap hari ada saja sniper-sniper Aceh dan aneka sabotase yang merenggut korban mati di pihaknya. Keadaan bertambah gawat ketika serdadu Belanda itu mengadakan operasi pembersihan ke wilayah perbatasan kota atau kampung. Tiap hari, jumlah korban yang jatuh di pihak Belanda makin bertambah banyak.
Keberhasilan “menaklukkan “ istana yang semula dianggap suatu keberhasilan ternyata menjadikan pasukan Belanda terkepung di Kutaradja. Mereka tidak bisa keluar jauh-jauh dari lingkungan istana. Bahkan untuk sekadar mendatangkan logistik saja, mereka harus mendatangkannya dari Penang setelah menerobos kepungan laskar Aceh di darat dan Selat Malaka dengan jumlah korban yang tidak sedikit.
COLLECTIE_TROPENMUSEUM_KNIL_militairen_bij_verschillende_stukken_artilleriegeschut_in_een_benteng_in_Noord_Atjeh_aan_het_begin_van_de_Atjeh-oorlog_Noord-Sumatra._TMnr_60042385

Keadaan ini akhirnya memusingkan pejabat Belanda sendiri. Untuk meminimalisir kerugian yang lebih besar di pihaknya, Belanda menggelar sidang rahasia staten general pada tangal 16-17 Juni 1884. Sidang ini memutuskan untuk melaksanakan strategi “Stelsel konsentrasi” di Aceh, yang sesungguhnya mengikut strategi perang Belanda “Benteng Stelsel” ketika menghadapi perlawanan dari Pangeran Diponegoro (1825-1830).
Maksudnya, di tiap wilayah yang telah berhasil direbut pasukan Belanda, maka sesegera mungkin didirikan benteng dengan pagar yang tinggi dan kokoh. Dari sini Belanda bergerak terus memperluas wilayahnya, mendirikan benteng lagi, dan begitu seterusnya. Strategi ini memang cukup melelahkan tapi terbukti mampu menekan angka kerugian baik moril maupun materil.

Di sekitar Kutaradja saja (sebutan Belanda untuk Banda Aceh), telah dibangun satu stelsel konsentrasi di atas sebidang tanah seluas 50 kilometer persegi dengan 16 pos penjagaan. Di tiap pos penjagaan dibatasi oleh lapangan kosong tanpa pohon dan rumah sejauh 1000 meter, semua pos-pos tersebut dihubungkan dengan saluran telepon ke Kutaradja.

Ini mirip dengan konsep daerah penyangga seperti yang dilakukan Zionis-Israel di tanah jajahan Palestina yang mulai dibangun tahun 2000-an. Bedanya, di Aceh Belanda membangun ini untuk menghindari penyergapan dan penyerangan tiba-tiba dari laskar Aceh, terutama malam hari, maka daerah penyangga di Palestina dibangun kaum Zionis untuk menghindari roket-roket buatan mujahidin Palestina seperti roket Al-Qassam dan sebagainya yang masih memiliki daya jangkau terbatas jatuh di pemukiman Yahudi. Alhamdulillah, dari hari ke hari daya jangkau roket-roket Mujahidin Palestina ini kian jauh hingga akhirnya mampu mencapai Knesset, jantung gerombolan Zionis-Yahudi.

Walau stelsel konsentrasi ini efektif, namun ia tidak bisa dipergunakan dalam waktu yang lama mengingat strategi ini memakan banyak tenaga dan material yang sesungguhnya sangat terbatas. Nilai-nilai politis dan ekonomisnya pun menjadi hilang.

Bukannya menekan angka kerugian, tapi pada akhirnya malah memberatkan. Setelah berperang cukup lama, akhirnya Belanda baru sadar bahwa Islam-lah yang selama ini menjadi sumber kekuatan rakyat Aceh. Untuk menghadapi dan menundukkan Muslim Aceh maka diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang Islam dan kondisi sosiologis rakyat Aceh sendiri.

Untuk keperluan itulah akhirnya pemerintah Belanda mengirim Christiaan Snouck Hurgronje ke Aceh pada tahun 1889[3]. Tugas utamanya, meneliti kekuatan dan kelemahan Muslim Aceh agar bisa ditundukkan oleh pemerintahan kolonial Belanda.

Barat Ancam Turki Agar Tidak Bantu Aceh

Sebelum membahas soal Hurgronje, ada baiknya kita menengok upaya Kerajaan Aceh Darussalam melobi Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dalam menghadapi serangan Belanda. Kerajaan Aceh Darussalam, seperti yang telah disinggung di muka, telah mengakui Kekhalifahan Turki Utsmani sebagai khalifah dunia Islam. Sebab itu antara Aceh dengan Turki terkait suatu hubungan istimewa, bukan saja satu hubungan diplomatik, namun suatu hubungan layaknya satu saudara.

Seperti sabda Rasulullah SAW, “Umat Islam itu ibarat satu tubuh, bila satu bagian disakiti maka bagian lainnya pun akan turut merasakan.” Inilah hakikat dari ukhuwah Islamiyah.

Sebab itu, saat menghadapi armada Salib Portugis, balatentara Turki Utsmani dengan cepat membantu Aceh dan berhasil memukul mundur Portugis hingga negeri kolonial itu tidak mampu untuk menaklukkan Aceh sampai Belanda merebut Malaka dari tangannya. Bahkan Turki Utsmani mengizinkan kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki selagi berlayar di lautan agar aman dari gangguan para perompak dan armada perang negeri kafir. Turki Utsmani saat itu memang menjadi salah satu kekuatan dunia yang amat disegani.

Setelah berhasil memukul mundur armada Salib Belanda di bulan April 1873, Aceh sangat yakin Belanda pasti akan datang lagi dengan jumlah pasukan dan persenjataan yang lebih kuat dan banyak. Selain mempersiapkan pertahanan yang kuat di dalam negeri, Kerajaan Aceh Darussalam juga mengutus salah seorang diplomat kawakannya bernama Habib Abdurrahman Az-Zahir ke Turki guna meminta bantuan.

Sosok Abdurrahman Az-Zahir memang nyaris sempurna. Media Turki melukiskannya sebagai, “Seorang yang dikaruniai intelektual yang menakjubkan, dan kemampuan membaca keadaan yang luar biasa.”[4] Sebagai seorang sayyid, dia memiliki hubungan darah dengan Syarif Mekkah dan sangat dihormati oleh Turki. (Rizki Ridyasmara)

——————

[1] London & China Telegraph, 3 Oktober 1873; The Times, 10 Oktober 1873; Harris kepada Granville, 27 Desember 1873, F.O.37/512; Kreemer I, hlm.15. Dikutip dari Reid, hal. 119.

[2] Surat Van de Putte kepada Padday, 5 Februari 1874.

[3] Lathiful Khuluq; Strategi Belanda Melumpuhkan Islam, Biografi C. Snouck Hurgronje; Pustaka Pelajar; Yogya, cet.1, 2002; hal.4.

[4] La Turquie, 11 Juni 1873. Di salin dalam surat Heldewier kepada Gericke, 14 Juni 1873, B. Z. Atjeh.

No comments: