Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam (Part 26)

Bocah perempuan Aceh, kehilangan jilbab akibat tsunami. Dia mengambil secarik plastik yang masih menempel di warung, membasuhnya dengan air bersih, dan mengenakannya sebagai jilbab untuk menutup auratnya. [ Rizki Ridyasmara]
Bocah perempuan Aceh, kehilangan jilbab akibat tsunami. Dia mengambil secarik plastik yang masih menempel di warung, membasuhnya dengan air bersih, dan mengenakannya sebagai jilbab untuk menutup auratnya. [photo: Rizki Ridyasmara]
“Lihat anak perempuan itu, yang memakai kerudung coklat,” Ustadz Gufron membuyarkan lamunan saya. Jarinya menunjuk seorang anak perempuan berusia sekitar delapan tahun yang tengah bermain di sekitar tempat wudhu masjid Pendopo. “Dia sekarang sebatang kara. Yang seperti itu di sini banyak sekali. Setiap sore saya mengajar mereka di TPA darurat di dekat Museum Aceh. Dia sangat kolokan sama saya,” ujarnya.
Selain kertas pengumuman dengan foto anak-anak, di Pendopo juga banyak ibu-ibu dengan pakaian dan kerudung seadanya hilir mudik mencari informasi soal kerabat atau anaknya. Suatu pagi, ketika saya tengah membaca berita-berita di internet di dalam kamar masjid yang terletak di samping, seorang ibu dengan kerudung sekadarnya melongokkan kepala.
“Assalammu’alaikum…,” sapanya.
Wa’alaikummusalam, ada yang bisa saya bantu Bu?” tanya saya.
Ibu tersebut membawa selembar foto. “Dik, maaf Ibu mau tanya. Ini foto anak saya, namanya Fatma, mungkin adik pernah lihat?” Saya memperhatikan foto itu. Anak yang manis, kulitnya terang, matanya bulat bercahaya dengan rambut poni sedahi. Usianya baru empat tahun. Saya katakan jika nanti suatu waktu bertemu, saya akan memberi tahu ibu itu.
Tiba-tiba dari jendela besar yang menghadap Pendopo, saya melihat serombongan relawan asing berjalan mendekati masjid. Jumlahnya sekitar sembilan orang. Semuanya memakai kaos kuning bertuliskan Scientology. Yang perempuan mengenakan bandana untuk menutupi rambutnya. Mereka sadar bahwa ini adalah Nangroe Aceh Darussalam, Bumi Serambi Mekkah.
Menilik dari warna kulit dan postur tubuh, para relawan Scientology itu terdiri dari berbagai bangsa. Ada yang berkulit kuning dan bermata sipit, ada yang rambutnya pirang bermata biru atau coklat, ada pula yang berwajah latin dengan kulit agak gelap atau kemerahan. Di depan masjid mereka berdiri layaknya turis. Kepada anak-anak yang berada di sekitarnya, mereka sangat ramah.
Kepada ibu tadi yang masih berada di pintu kamar, saya berkata pelan, “Bu, ibu tahu siapa mereka?” Ibu itu menggeleng. Saya lalu menceritakan apa yang saya dengar dari seorang relawan senior Basarnas bahwa mereka sebenarnya aktivis gereja.
Ibu itu terkejut. “Mereka kan yang membuka tenda untuk urut di seberang museum? Hih, kalau tahu begitu saya nggak mau ke situ,” ujar ibu tadi sambil berkata akan memberitahukan hal tersebut kepada warga Aceh lainnya. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya hanya tahu bahwa itulah tipikal asli orang Aceh: ibarat kata walau tidak rajin sholat tapi kalau persoalan akidah Islam, tidak ada tawar-menawar sedikit pun. Bisa jadi, kekokohan akidah orang Aceh inilah yang menyebabkan upaya keras missionaris selama berabad-abad gagal total di Tanah Rencong ini. Orang Aceh sangat bangga tanah kelahirannya disebut sebagai Serambi Mekkah.
Saya teringat kepada seorang anak Aceh berusia sembilan tahun saat bertemu di Lambaro, Aceh Besar. Alhamdulillah, daerah Lambaro ini tidak terkena sapuan gelombang tsunami secara langsung. Pada suatu siang, anak itu bersama ibunya datang ke tenda berisi pakaian layak pakai yang berada di depan Pos Relawan PKS Uhud 1.
Ketika datang, anak itu tidak berkerudung. Di dekat tenda ia menemukan hamparan plastik bening bekas membungkus pakaian bekas. Dengan cepat dipungutnya plastik itu dan dikenakan ke kepalanya untuk menutupi rambutnya. Jilbab plastik. Bocah perempuan Aceh sembilan tahun itu sudah sadar betul menjaga kehormatan dirinya.
Saya terharu menyaksikan pemandangan itu. Ternyata masih banyak generasi muda Aceh yang sadar akan identitas keislamannya dan bisa menjaga harga dirinya dengan baik, tidak seperti artis-artis Aceh di Jakarta yang gemar mengumbar aurat, jahil terhadap Islam dan identitas keacehannya.
Truk Beroda Duabelas Panjang Tiga Kilometer
Jum’at, 15 Januari 2005. Usai sholat subuh, saya bersama lima relawan dari GPI berjalan kaki dari Masjid Pendopo menuju jalan raya dekat Masjid Raya Baiturahman. Hari masih gelap. Dari sana kami menumpang sebuah mobil ke Lambaro, dari Lambaro menyambung lagi dengan menumpang kendaraan bak terbuka ke pangkalan udara TNI-AU Malikussaleh. Kelima relawan GPI itu hendak kembali ke Jakarta hari ini. Sedang saya mengantar mereka sekaligus ingin berkeliling melihat-lihat suasana.
Hanya tigaratus meter selepas Lambaro, di kiri jalan terlihat deretan panjang truk-truk amat besar beroda duabelas yang tengah diparkir. Di tiap bak truk termuat kotak-kotak bantuan yang menggunung. Di hidung dan bak truk juga dipasang spanduk putih bertuliskan World Vision besar dengan simbol sinar saling bersilangan membentuk salib di tengahnya.
Entah mengapa, ketika melihat tulisan itu saya teringat dengan kalimat “World Mission”, aktivis gereja sedunia. Bisa jadi, pikir saya, di Aceh mereka mencoba menutupi hal itu dengan mengubah “Mission” menjadi “Vision”. Di kemudian hari setelah kembali ke Jakarta, saya menyadari bahwa perkiraan saya itu setengah benar dan setengah keliru. Namanya betul “World Vision”, jadi bukan kedok dari “World Mission”. Tapi mereka sama-sama aktivis gereja yang menyelipkan misi pemurtadan di tiap kotak bantuannya.
Deretan truk-truk besar itu sangat panjang, ada sekitar tiga kilometer. Saya sangat kagum dengan kegigihan mereka dan sokongan dana yang begitu besar untuk kepentingan penyebaran missinya. Terbersit di benak saya, alangkah bahagianya saya jika truk-truk itu berlambangkan bulan sabit, bukan yang lain. Saya tersenyum kecut.
Itu baru satu bagian dari organisasi misi. Di Aceh banyak sekali LSM serupa dengan sokongan dana yang juga sangat besar. Tidak salah jika banyak orang menyatakan setelah tsunami, Muslim Aceh kembali diterjang oleh gelombang lain: pemurtadan. Bagi kaum misionaris, tsunami di Aceh merupakan gerbang emas bagi mereka untuk bisa masuk Serambi Mekkah itu. Sesuatu yang sudah berabad-abad ditunggu-tunggu oleh mereka.
Antara Fakta dan Dusta
Walau informasi yang mengabarkan adanya penculikan anak-anak Aceh untuk dimurtadkan demikian ramai dibicarakan, namun pemerintah bersikap sangat lambat dan terkesan tidak percaya. Kabar itu dianggapnya sebagai gosip murahan. Apalagi Ketua Partai Damai Sejahtera (PDS) yang juga mantan pimpinan Yayasan Doulos, Pdt. Dr. Ruyandi Hutasoit, menyatakan bahwa isu yang berkembang mengenai adopsi anak Aceh untuk dimurtadkan adalah upaya penyesatan dan cenderung mendeskreditkan pihak-pihak tertentu.
Ruyandi juga menuding ada pihak tertentu yang sedang berusaha memprovokasi kelompok masyarakat yang sedang bahu-membahu membantu meringankan penderitaan masyarakat Aceh dan Sumatra Utara pasca gempa dan gelombang tsunami.[1]
PDS juga mengeluarkan sikap resminya terkait isu pemurtadan di Aceh seperti yang dimuat dalam situs resminya tanggal 3 Januari 2005. Berikut salinan lengkapnya:
PERNYATAAN SIKAP DPP-PDS
Menyangkut Issue Kristenisasi di Aceh & Sumut Pasca Bencana
Menaggapi Isue yang bekembang saat ini yang dianggap sebagai upaya penyesatan dan cenderung mendiskreditkan dan memprovokasi kelompok masyarakat yang sedang bahu membahu membantu meringankan penderitaan masyarakat Aceh dan Sumatera Utara pasca gempa dan gelombang tsunami. Maka Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Damai Sejahtera (PDS) menganggap perlu mengeluarkan pernyataan resmi menyangkut issue yang berkembang saat ini.
  1. 1.DPP PDS menganggap bahwa upaya yang dilakukan oleh semua pihak saat ini adalah murni kemanusiaan sebagai bentuk kepedulian tanpa dilatarbelakangi oleh motif lainnya.
  2. DPP PDS membantah issue yang berkembang saat ini yang menyatakan bahwa PDS sedang melakukan upaya Kristenisasi dengan bentuk mengadopsi anak-anak korban bencana di Aceh, dan menyatakan bahwa berita tersebut adalah tidak benar.
  3. DPP PDS meminta semua pihak untuk tidak terpancing dengan issue yang menyatakan bahwa adanya organisasi yang menghimbau masyarakat untuk tidak menerima bantuan dari orang kafir.
  4. DPP PDS dengan kerendahan hati meminta semua pihak untuk tidak terprovokasi ataupun memanfaatkan kejadiaan ini sebagai moment untuk memecah belah atau mengadu domba masyarakat dengan issue-issue agama.
  5. DPP PDS meminta semua pihak untuk melihat masalah yang dialami masyarakat Aceh dan Sumatera Utara dengan lebih jernih sehingga penderitaan yang mereka rasakan saat ini menjadi lebih ringan.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk menglarifikasi issue yang berkembang saat sekaligus sebagai upaya DPP PDS memberikan informasi yang sebenarnya tentang apa yang telah terjadi selama ini.
JAKARTA, 3 Januari 2005
DEWAN PIMPINAN PUSAT
PARTAI DAMAI SEJAHTERA
Ketua Umum Sekretaris Jenderal
Dr. Ruyandi Hutasoit, Sp.U D.MinML Denny Tewu, SE. MM
Beda dengan PDS, harian The Straits Times yang terbit di Singapura (6/1/2005), malah memuat berita yang menyatakan bahwa korban tsunami di Aceh yang beragama Kristen telah dipaksa untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum memperoleh bantuan kesehatan. Media cetak di Singapura ini menyatakan mendapat laporan itu dari Mangase Sibutar-butar, wartawan Harian Sumatera.[2] (Rizki Ridyasmara)

[1] www.christianpost.co.id, 7 Januari 2005.
[2] Suara Pembaruan, 20 Januari 2005.

No comments: