Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam ( bagian 7 dan 8)

Qanun

Kerajaan Islam Aceh Darussalam jelas merupakan kerajaan besar yang sangat teratur, menjunjung tinggi hukum positif yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta menghargai ilmu pengetahuan. Ini berbeda dengan kerajaan-kerajaan Eropa pada masanya di mana raja dianggap sebagai representasi Tuhan yang bisa melakukan apa saja terhadap rakyatnya.
Aceh Darussalam Salah Satu Kekuatan Islam Dunia
Sejak masih bernama Kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Samudera Pase hingga Aceh Darusalam, Islam telah menjadi dasar dan konstitusi tertinggi kerajaan. Dari yang paling tinggi, struktur perundangan dan hukum yang berlaku adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma Ulama, dan Qiyas. Ini tercantum jelas dalam Adat Meukuta Alam (Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam).
Adalah menarik untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bahwa sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Aceh Darussalam yang mendasarkan diri pada Al-Qur’an dan Sunnah ini ternyata pernah dipimpin oleh empat orang muslimah yang bergelar Sultanah dari 31 raja yang pernah memimpin kerajaan ini. Para muslimah ini memimpin dalam empat periode berkesinambungan. Mereka adalah:
  • Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (memerintah tahun 1050-1086 H),
  • Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 H),
  • Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H), dan
  • Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H).
Selain Sultanah, perempuan-perempuan Aceh juga tampil sebagai pemimpin masyarakat bahkan pemimpin perang. Mereka adalah:
  • Laksamana Malahayati yang gagah berani dalam memimpin armada laut Kerajaan Aceh Darussalam melawan Portugis;
  • Cut Nyak Din yang memimpin perang melawan Belanda setelah suaminya, Teuku Umar, syahid;
  • Teungku Fakinah, seorang ustadzah yang memimpin resimen laskar perempuan dalam perang melawan Belanda, usai perang Fakinah mendirikan pusat pendidikan Islam bernama Dayah Lam Diran;
  • Cut Meutia, selama 20 tahun memimpin perang gerilya dalam belukar hutan Pase yang akhirnya menemui syahid karena Meutia bersumpah tidak akan menyerah hidup-hidup kepada kape Belanda;
  • Pocut Baren, seorang pemimpin gerilya yang sangat berani dalam perang melawan Belanda di tahun 1898-1906;
  • Pocut Meurah Intan, juga serig disebut dengan nama Pocut Biheu, bersama anak-anaknya—Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin—berperang melawan Belanda di hutan belukar hingga tertawan setelah terluka parah di tahun 1904;
  • Cutpo Fatimah, teman seperjuangan Cut Meutia, puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya bernama Teungku Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia syahid, hingga dalam pertempuran tanggal 22 Februari 1912,
  • Cutpo Fatimah dan suaminya syahid bertindih badan diterjang peluru Belanda.
Salah seorang pemimpin gerilya Aceh Darussalam, Pocut Baren, namanya diabadikan menjadi nama sebuah resimen laskar perempuan Aceh “Resimen Pocut Baren” yang merupakan bagian dari Divisi Pinong di Aceh semasa revolusi fisik melawan Belanda. Resimen perempuan Aceh ini sangat ditakuti Belanda karena terkenal dalam setiap peperangan tidak pernah mundur atau pun melarikan diri, bahkan mereka pantang menyerah hidup-hidup kepada penjajah kape (sebutan untuk kafir).
tempo
(Catatan Penulis: coba bandingkan kiprah R.A. Kartini yang sesungguhnya adalah kisah perjuangan yang kalah, dengan perjuangan Srikandi-Srikandi Aceh Darussalam ini yang sangat hebat. Jika mau adil, seharusnyalah tokoh emansipasi Indonesia itu adalah Srikandi-Srikandi Aceh ini, bukan R. A. Kartini. Namun disebabkan intervensi “sejarawan kolonialis Belanda” maka fakta ini sengaja dihilangkan dan bangsa Indonesia disodori Tokoh Emansipasi yang dalam sejarahnya ternyata harus mengalah demi realitas. Sebab itu penulisan sejarah Indonesia harus diulang!)
Amat mungkin, disebabkan ruang gerak perempuan-perempuan Aceh yang sangat luas, tidak berbeda dengan kaum lelakinya, maka hal ini turut mempengaruhi cara berpakaian mereka. Prof. Dr. HAMKA menulis,
“Di seluruh tanah air kita ini, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana. Sebab mereka pun turut aktif dalam perang. Mereka menyediakan perbekalan makanan, membantu di garis belakang dan pergi ke medan perang mengobati yang luka.”[1]
Hal itu pula yang menjadi sebab, mengapa sejarah Teuku Umar Johan Pahlawan tidak dapat dipisahkan dari sejarah isterinya Teuku Cut Nyak Dien yang bertahun-tahun setelah suaminya syahid diterjang peluru Belanda, isterinya itu masih meneruskan perjuangan, walau tinggal seorang diri. Cut Nyak Dien tetap bertahan di dalam gua di tengah belukar hutan yang amat lebat meneruskan perlawanan, walau dirinya sudah buta dan hanya ditemani sisa laskarnya, para perempuan Aceh, yang berjumlah sekitar 4-5 orang.
Seorang pengawalnya tidak dapat menahan kesedihan menyaksikan penderitaan yang dipikul Cut Nyak Dien yang sangat tegar dan tabah. Didorong oleh perasaan kasihan dan melihat kemungkinan perang sudah sulit dimenangkan karena kekuatan sudah tidak lagi seimbang, maka ia keluar dari hutan dan memberitahu serdadu Marsose Belanda tempat persembunyian komandannya itu. Pasukan elit Belanda itu segera menerobos hutan belukar berhari-hari dan akhirnya mereka menemukan sebuah gua terpencil yang di dalamnya terdapat Cut Nyak Dien yang sudah tua, matanya buta, dan badannya sangat ringkih karena kurang makan.
Tatkala opsir Belanda hendak memapah Cut Nyak Dien dengan memegang lengannya, Srikandi Aceh itu dengan tegas berkata, “Bek kamat ke, kapeh celaka!” (Jangan pegang tanganku, kafir celaka!”). Dengan tertatih dan berkali-kali tersandung dan jatuh, Cut Nyak Dien bersikeras berjalan sendiri tanpa dipegangi tangan si kafir keluar dari persembunyiannya.
(Catatan Penulis: Cut Nyak Dien merupakan seorang pejuang muslimah yang sangat taat pada Islam. Percayakah kita jika seorang Muslimah yang taat digambarkan dalam foto-foto sekarang ini sama sekali tidak menutup rambutnya yang merupakan aurat? Para Srikandi-Srikandi Aceh seluruhnya mengenakan jilbab!)
Keteguhan Cut Nyak Dien ini membuat kagum seorang HAMKA yang menulis: “Pikirkanlah dengan dalam! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan perjuangan wanita zaman sekarang. Mereka itu didorong oleh semangat jihad dan syahid karena ingin bersama menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh daripada arti yang dapat kita ambil dari gerakan emansipasi wanita atau Feminisme zaman modern sekarang ini.”[2]
  1. MR. T. H. Moehammad Hasan, putera Aceh mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam biografinya[3]
mengutip pengakuan seorang perwira tentara kolonial Belanda yang bertugas saat perang kolonial di Aceh bernama H. C. Zentgraaf. Perwira Belanda itu menyatakan, “Orang Aceh, baik pria maupun wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara pejuang-pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang tidak kurang satrianya daripada bangsa lain: mereka itu tidak kalah gagahnya daripada tokoh-tokoh perang terkenal kita.”[4]
Rakyat Aceh sangat paham bahwa tiada hal yang patut dibanggakan di dunia ini selain menjadi seorang Muslim yang taat. Islam adalah harga diri yang tidak bisa ditukar dengan apa pun selama hayat dikandung badan. Ini tertanam dalam-dalam di setiap dada orang Aceh. Kebanggaan mereka akan Islam mengurat-akar dalam-dalam dan memiliki catatan historis yang sangat panjang dan membanggakan.
Di awal abad ke-16 saja, setelah lama jatuhnya kekuatan Islam di Baghdad dan Cordoba, dunia mengenal lima kekuatan besar Islam. Menurut Wilfred Cantwell Smith dalam Islam in Modern History, kelima besar Islam dunia itu adalah: Kekhalifahan Turki Utsmaniyah di Asia Kecil yang berpusat di Istanbul, Kerajaan Maroko di Afrika Utara yang berpusat di Rabat, Kerajaan Isfahan di Timur Tengah yang berpusat di Persia, Kerajaan Islam Mughol di anak benua India yang berpusat di Acra, dan yang kelima adalah Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara yang berpusat di Banda Aceh.
Sejarawan Aceh A. Hasjmi memaparkan, “Kemunculan lima besar kekuatan Islam dalam arena percaturan internasional dilihat dengan cemas oleh Dunia Barat Kristen, karena mungkin sekali menurut analisa mereka, bahwa kekuatan Islam yang baru ini akan membangun kembali Zaman Baghdad dan Zaman Cordova dengan gaya baru.” Yang membuat Barat Kristen (maksudnya Eropa) cemas karena mereka melihat kekuatan Islam terus berkembang. Kerajaan Islam Maroko berkembang pengaruhnya dari Afrika Utara ke seluruh Afrika, bahkan ada kemungkinan Thariq bin Ziyad yang baru akan menyeberangi Selat Gibraltar menuju Bumi Andalusia.
Kekhalifahan Turki Utsmaniyah setelah menduduki seluruh Asia Kecil, mereka mulai membebaskan pulau-pulau di Lautan Tengah, menyeberangi Selat Dardanella ke arah Balkan, hingga tentaranya yang hebat telah berada di gerbang kota Wina dan sangat mungkin menduduki jantung Eropa, jantungnya Terra Biblica!.
Kerajaan Islam Isfahan yang juga kuat dilihatnya sedang mengambangkan kekuasaannya ke Barat dan Timur, menuju Tashkent Kazakhstan. Kerajaan Islam Acra dilihat akan menyeberangi Pegunungan Himalaya menuju Nepal dan Tibet. Lalu Kerajaan Aceh Darussalam yang berkembang pesat di Asia Tenggara, angkatan lautnya telah menguasai hampir seluruh pulau Sumatera dan Malaya. Pengaruh dakwah Islam kerajaan Aceh Darussalam juga telah mewarnai gugusan kepulauan Nusantara. Inilah yang menyebabkan Barat Kristen bersatu untuk menyerang, menjajah, dan merampok kekayaan negeri-negeri Islam tersebut. Selain saja tentunya, nafsu imperialisme yang ingin mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya.
———————————-
[1]
Prof. Dr. HAMKA, ibid, hal.153
[2]
Ibid, hal.155.
[3]
DR. T. H. Mohamad Hassan: Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa; ditulis oleh Drs. Dwi Purwoko, Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
[4]  Ibid, hal.5.

 Ratu Safiatuddin
Dalam masa pemerintahan Sultanah Sri Ratu Tajul Alam, Kerajaan Islam Aceh Darussalam mengalami guncangan yang hebat. Satu persatu wilayahnya di luar wilayah inti lepas. Menurut penelitian M. Said dalam “Aceh Sepanjang Abad”, lepasnya wilayah-wilayah itu lebih disebabkan konspirasi Barat Kristen dalam menghancurkan apa yang dinamakan ‘lima besar Islam’, bukan atas kehendak wilayah-wilayah itu sendiri.
Walau demikian, Aceh Darussalam tetap menjadi mercusuar untuk Asia Tenggara. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat, kitab-kitab ditulis dan diskusi ilmiah menjadi makanan sehari-hari rakyatnya.
Sejarah mencatat, Aceh merupakan satu-satunya wilayah di Nusantara yang paling akhir bisa ditaklukkan Belanda. Itu pun setelah melalui peperangan yang sangat panjang dan sangat melelahkan, dengan jumlah korban di kedua belah pihak sangat banyak. Inilah sekelumit kejayaan Aceh Darussalam sebagai Bumi Serambi Mekkah, di mana dari ujung Utara pulau Sumatera ini pernah bersinar Islam ke seluruh Nusantara dan Asia Tenggara. Aceh adalah hak milik kaum Muslimin. Tidak bisa lain.

JIHAD MELAWAN KAFIR BELANDA

Tahun 1511 Kota Malaka jatuh ke tangan Portugis, namun 130 tahun kemudian tepatnya 14 Januari 1641, Malaka tidak berhasil dipertahankan lagi oleh Portugis dan jatuh ke tangan VOC Belanda. Dalam saat bersamaan, Kerajaan Aceh Darussalam saat itu tengah dalam keadaan prihatin karena Sultan Alaidin Mughayat Syah Iskandar Sani yang masih berusia 30 tahun tengah sakit keras dan akhirnya tidak lama kemudian menantu Sultan Iskandar Muda ini mangkat meninggalkan isteri tercinta, Puteri Safiah, tanpa meninggalkan anak keturunan.
Di muka telah disinggung tentang pergantian tampuk kesultanan dari Sultan Alaidin Mughayat Syah Iskandar Sani kepada isterinya Puteri Safiah atau yang ketika dinobatkan menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam bergelar Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat.
Ketika menjadi penguasa Aceh, Ratu Safiatuddin masih berusia 29 tahun. Walau demikian, ia sangat cerdas dan menguasai sedikitnya empat bahasa asing seperti Arab, Spanyol, Urdu, dan Persia. Bahkan beberapa literatur Aceh pernah menyebut Sang Ratu menguasai tujuh bahasa asing. Ini membuktikan betapa Sultan Iskandar Muda sangat menjunjung tinggi pendidikan bagi anak-anaknya.
Kerajaan Aceh Darussalam pada permulaan abad ke-16 Masehi merupakan salah satu kekuatan lima besar Islam dunia, selain Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, Kerajaan Maroko, Kerajaan Isfahan, dan Kerajaan Islam Mughol. Tentu, hal ini telah menjadi pertimbangan masak-masak VOC Belanda saat menaklukkan Kota Malaka dari cengkeraman tangan Portugis. Dengan jatuhnya Malaka ke pangkuannya, maka mau tak mau VOC Belanda kini berhadap-hadapan dengan Kesultanan Aceh Darussalam.
Keberanian Belanda merebut Malaka tidak lepas dari kondisi armada laut Aceh yang mengalami kemunduran sepeninggal Sultan Iskandar Muda. Ketika Sultan Iskandar Muda masih memerintah, armada laut Aceh Darussalam sangatlah kuat dan kekuasaannya luas hingga merengkuh Selat Malaka, setengah Pulau Sumatera, dan sebagian Malaya seperti wilayah Perak, Kedah, Pahang, dan Trengganu.[1]
Dalam catatan Prof. Dr. HAMKA, upaya Sultan Iskandar Muda memperkuat Kerajaan Aceh Darussalam dengan armada perang yang kuat antara lain didasari oleh kenyataan telah didudukinya Malaka oleh Portugis selama satu abad dan jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Belanda.[2]
Sebagai seorang raja yang cerdas, Iskandar Muda yakin suatu waktu para penjajah kafir ini akan sampai pula di gerbang Aceh untuk menyerang kerajaannya.
Setelah menguasai Kota Malaka, VOC Belanda memberlakukan blokade terhadap kapal-kapal Aceh dan memungut bea yang sangat tinggi jika ingin melewati daerahnya di sebagian Selat Malaka. Diam-diam Belanda juga menyelundupkan kaki tangannya ke wilayah kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam untuk menimbulkan gejolak agar stabilitas politik negeri tersebut rapuh dan kerajaan besar itu diharapkan akan hancur berkeping-keping.

Ratu Safiatuddin Di Tengah Konspirasi Barat Kristen

Bahaya inilah yang dihadapi Ratu Safiatuddin. Sejarahwan Aceh A.Hasjmy bahkan dengan tegas menyatakan bahwa Ratu Safiatuddin sesungguhnya tidak hanya berhadapan dengan Belanda, tetapi dia sebenarnya tengah berhadapan dengan kekuatan imperialis Barat Kristen yang mempusakai warisan Imperium Roma dan Romawi Timur. “Kalau kita akan membicarakan Aceh di bawah pimpinan Ratu Tajul Alam Safiatuddin dan Ratu-Ratu sesudahnya, pada hakikatnya kita membicarakan suatu perjuangan antara Timur Islam dengan Barat Kristen,” tulis A. Hasjmy.[3]
Masa keemasan kerajaan Aceh Darussalam yang pernah begitu gemerlap di saat kekuasaan Sultan Iskandar Muda memang terus menurun setelah itu. Di masa kepemimpinan Ratu Safiatuddin, kekuatan armada perangnya di laut mengalami penurunan yang cukup signifikan. Namun perkembangan kehidupan intelektual di kerajaan Aceh malah menunjukkan peningkatan yang juga sangat menyolok. Ini memang bisa dimaklumi mengingat Ratu Safiatuddin bukanlah seorang ahli militer, namun lebih kepada intelektual. Walau demikian, sikap Ratu Safiatuddin terhadap Belanda dan pihak-pihak asing yang memiliki itikad tidak baik terhadap Aceh Darussalam sangatlah keras. Belanda pun tidak bisa begitu saja memandang remeh Aceh di masa kekuasaan sang ratu.
Diserahkannya Kota Malaka oleh Gubernur Portugis Manuel de Sousa kepada kekuasaan VOC belanda setelah dikuasai 130 tahun menandai era baru dalam peta perdagangan Indonesia bagian Barat. Ratu Safiatuddin sendiri baru dilantik sebulan sesudah peristiwa itu, tepatnya tanggal 15 Februari 1641.
Armada laut Belanda yang begitu kuat akhirnya berhasil menguasai pengawasan jalur laut di Selat Malaka. Armada laut Aceh hanya mampu mengawasi di bagian pesisir timur Sumatera. Jelas, wilayah kerajaan Aceh Darussalam yang berada di seberang Selat Malaka seperti Perak, Kedah, Pahang, dan Trengganu yang kaya akan hasil bumi seperti timah terancam dan menjadi incaran Belanda. Bukan itu saja, Belanda juga bernafsu untuk menguasai wilayah kekuasaan Aceh Darussalam di bagian timur Sumatera seperti Lankat, Deli-Serdang, Asahan, Labuhan Batu, Siak, Seri Indrapura, dan sekitarnya yang kaya dengan bahan mentah dan subur tanahnya.
voc

Dengan licik Belanda melakukan berbagai tipu daya. Dari diplomasi halus, rayuan, gertak, ancaman, adu domba, hingga menyelundupkan kaki tangannya untuk menimbulkan pemberontakan di daerah-daerah Aceh Darussalam yang jauh dari ibukota Kutaraja.
Salah satu kasus yang sempat tercatat adalah ketika VOC Belanda meminta Aceh Darussalam agar mau mendesak Perak agar sudi memberikan hak monopoli perniagaan timah di daerah itu kepada Belanda. VOC mengutus Vlamingh menghadap Ratu Safiatuddin dengan tugas membujuk sang ratu agar bersedia mendesak Perak menerima permintaan Belanda. Walau duta Belanda itu sudah mengerahkan segala kemampuannya membujuk dan merayu sang ratu, namun ternyata Ratu Safiatuddin tak bergeming dan menolak permintaan Belanda.
Winstedt menulis, “Tahun 1645 dibuat perjanjian antara Belanda dan Aceh, tapi bertentangan dengan itu orang-orang Islam India menikmati perdagangan timah dengan Aceh dan Semenanjung Melayu. Sedangkan VOC tidak dapat bagian apa-apa, selain kata-kata muluk dan muka manis. …Jelas, Tajul Alam telah memainkan diplomasinya yang tajam.”<[4]
Setelah Vlamingh gagal, Belanda tidak berhenti sampai di sini. Setelah dianggap kasus itu sudah dilupakan, maka VOC kembali mengirim utusannya bernama Truijtman kepada Ratu Safiatuddin. Kali ini Ratu Safiatuddin memainkan diplomasi yang sangat cantik. Ratu mengirim utusannya agar bersama-sama dengan Trujtman berangkat ke Perak guna meminta persetujuan Sultan Perak dalam hal monopoli perniagaan timah. Kepada Sultan Perak, Muzaffar Syah II, yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Ratu Safiatuddin, secara diam-diam Aceh mengabarkan bahwa Belanda memiliki itikad tidak baik. Sultan Perak pun mafhum dan turut serta dalam diplomasi lihai gaya Aceh.
Di permukaan Sultan Perak menyetujui permintaan itu dan kemudian dibawa kembali ke Aceh untuk ditandatangani secara resmi pada tanggal 15 Desember 1650. Benarkah Ratu Safiatuddin dan Sultan Perak Muzaffar Syah II sungguh-sungguh menerima permintaan Belanda? Ternyata tidak.
Sejarahwan Muhammad Said menulis, “…hubungan Aceh dengan Perak cukup baik, berhubung karena Sultan Perak Muzaffar Syah II adalah berkeluarga dengan almarhum Iskandar Sani, suami Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Muzaffar sebelum menjadi raja dikenal dengan nama Sultan Sulung Siak, bangsawan yang turut ditawan ketika Aceh menyerang Johor di tahun 1613. Di Aceh, Sulung dinikahkan dengan puteri Raja Muda Pahang, menantu Raja Ahmad (ayah juga bagi Iskandar Sani). Karena hubungan keluarga ini, dan karena bantuan Acehlah maka Raja Sulung mendapat kursi kesultanan di Perak. Tidaklah heran jika setelah Raja Sulung menjadi Sultan Perak, kedaulatan Aceh atas Perak tetap diakuinya. Dalam pada itu, walau perjanjian pemerintah dengan pemerintah (Aceh-Perak dengan VOC Belanda) sudah selesai ditandatangani, dan Sultan Muzaffar Syah sedia mematuhinya, tapi rakyat Perak yang juga seluruhnya beragama Islam, tidak mau menjual timahnya kepada Belanda. Perjanjian tersebut dianggap merugikan dan mengurangi kebebasan Perak untuk menentukan sendiri dengan siapa mereka berniaga…”[5]
(Rizki Ridyasmara)
—————————————–
[1]
Wan Shamsuddin dan Arena Wati; Peta Kekuasaan Kerajaan Acheh di Sumatera; Sejarah Tanah Melayu Dan Sekitarnya; Pustaka Antara; Kuala Lumpur; 1969.
[2]
Prof. Dr. HAMKA, ibid, hal.147.
[3]
A. Hasjmy; ibid, hal.144.
[4]
M. Said; Aceh Sepanjang Abad; hal.198.
[5]
Ibid, hal. 200-201.

No comments: