‘Abd Al Shamad Al Palimbani: Sufi Jihadis dari Palembang

Patung pangeran diponegoroSufi di Medan Jihad

DI DALAM berbagai riwayat disebutkan bahwa jihad merupakan tingkat tertinggi ‘ubudiyyah seseorang setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Jihad menjadi puncak dari syariat.
Jihad berlaku sepanjang zaman, di mana pun, dan bagi setiap individu. Jihad merupakan upaya menampakan al-haqq (Kebenaran).
Jihad, adalah kesungguhan total dalam melawan musuh-musuh kebenaran, yakni setan, baik dalam wujud manusia (musuh-musuh agama) atau pun waswas (bisikan) yang senantiasa menyelinap di dalam dada.
Pergumulan di dalam hati setiap manusia antara prajurit malaikat dan prajurit setan senantiasa berkecamuk. Satu di antara keduanya akan memperebutkan takhta dan kemudian mengendalikan raja bagi tubuh manusia, yakni hati (Ibnu Qudamah, 1997: 179).
Bila istana hati dikuasai oleh prajurit-prajurit ilmu dan hidayah maka ia akan menang. Sebaliknya bila hati dikuasai oleh prajurit-prajurit setan dan hawa nafsu, maka binasalah ia.
Benteng bagi hati dari prajurit hawa nafsu dan setan adalah dzikrullah. Setan akan lari dari tempat-tempat yang di dalamnya senantiasa disebut Nama Allah.
Setan juga akan enggan memasuki tempat-tempat yang bersih, lantara hati senantiasa disucikan dengan ibadah. Sebab, telah menjadi karakter bagi setan yaitu menyukai tempat-tempat yang kotor. Inilah jihad melawan hawa nafsu. Fardhu ‘ain bagi setiap individu. Setiap hati manusia harus futuh (terbebas) dari segala kotoran kalbu.
Setiap sufi adalah mujahid. Dia berijihad memerangi musuh-musuh Allah baik yang berada di dalam hati atau pun musuh-musuh Allah dalam wujud manusia.
Di medan jihad, mereka akan bertempur dengan penuh keikhlasan. Tidak ada yang mereka takutkan malainkan hanya Allah. Jiwa mereka telah ridha kepada Allah atas setiap lembaran takdir yang termaktub.
Mati, bagi mereka bukanlah akhir dari segalanya melainkan satu pintu untuk berjumpa dengan Kekasihnya di surga. Mereka adalah para mujahid yang ‘ārif. Mujahid yang telah “ma’rifat”. Mereka senantiasa merindukan syāhid dan juga syuhūd (musyāhadah, melihat Allah).
Telah banyak disebutkan dalam lembaran-lembaran sejarah tentang para sufi yang turut andil dalam perang suci. Syaqieq al-Balakhi (w. 194 H/810 M) adalah seorang tokoh sufi masyhur yang pernah terjun di kancah peperangan tanpa mempedulikan lagi di bagian bumi mana ia akan tergolek mati di jalan Allah.
Syeikh Abu Hasan al-Syadzīlī (w. 1258 M), seorang tokoh sufi ternama yang banyak menghabiskan dirinya di medan jihad. Sampai saat usianya lebih dari enam puluh tahun dan telah buta, beliau masih turun ke medan jihad. Di dalam kamp-kamp jihad tersebut ketika beliau masih terjaga, beliau habiskan malam dengan bermunajat dan menyempatkan diri berjalan di tangah-tengah para pasukan seraya memberikan kalimat-kalimat yang membangkitkan semangat perjuangan (Mahmoud, tt: 18-19).
Selain keduanya ada pula seorang ‘ārif yang masa hidupnya banyak merasakan debu-debu jihad dan penjara, yakni Badiuzzaman Said Nursi (w. 1379 H/1960 M). Di antara peperangan bersama rakyat Utsmani di mana Said Nursi turut andil adalah peperangan melawan Rusia dan Armenia pada Perang Dunia I.
Kitab tafsir beliau yang berjudul Isyārat al-I’jāz, merupakan satu karya yang beliau tulis di atas kuda disela-sela pertempuran. Kepada muridnya, Said Nursi mengatakan, “Jangan takut apapun, iman seorang Muslim lebih kuat dari apapun” (Vehide, 2007: 168-169).
Dalam lembaran sejarah Islam di Nusantara, kita akan menemukan nama-nama para ‘arif billah yang mengakomodir kekuatan kaum Muslimin Nusantara untuk turut memperjuangkan kalimat Allah dan menggelorakan perang suci, seperti Al-Maqassari, Al-Fattani dan Al-Palimbani (yang akan akan penulis fokuskan di sini).
Syeikh Yusuf al-Maqassari adalah seorang sufi ternama asal Makassar yang dijuluki Tajj al-Khalwatī (pemimpin Tarikat Khalwatiyah). Nama beliau masyhur bukan hanya di Nusantara tetapi juga di Hijaz bahkan di Cape Town Afrika Selatan. Pada 1660 M, beliau memimpin pasukan Kesultanan Banten dalam pertempuran melawan Belanda.
Pasukan Al-Maqassari berulang kali berhasil memukul mundur pasukan Belanda baik melalui pasukan laut (melalui pelaut-pelaut ulung Banten) dan pasukan darat (pasukan gerilya yang berani mati). Beliau juga turut mengupayakan gerakan perbaikan rakyat Makassar yang kian hari kian melakukan larangan agama akibat dominasi Belanda.
Naas, upaya beliau tidak disambut baik oleh Sultan Gowa, Sultan Amir Hamzah (1669-1674) yang rupanya telah bersekutu dengan VOC. Belanda kemudian mengasingkan beliau ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan hingga beliau wafat (Mustafa, 2011: 24-29).
Semangat Jihad juga tersebar melalui berbagai persaudaraan sufi. Sederet pemberontakan melawan penajajah pada akhir abad ke-19 banyak dilakukan.
Tarikat Sammaniyah terlibat dalam pemberontakan anti-Belanda di Palembang (1819) dan Kalimantan Selatan (1860-an); tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas) terlibat dalam pemberontakan Banten (1888), Sidoarjo (1903) dan Lombok (1891-1894); Tarikat Syatariyah terlibat dalam pemberontakan anti-pajak di Tanah Minagkabau (1908) (Loir, 2013: 37-38).

‘Abd al-Shamad al-Palimbani, Seorang Arsitek Jihad
‘Abd al-Shamad al-Palimbani adalah seorang ulama, ahli tasawuf sekaligus seorang mujahid dan arsitek jihad. Gelar kesufian beliau tidak diragukan lagi.
Beliau termasuk salah seorang pembawa pemikiran Hujjat al-Islām Imam al-Ghazālī dan termasuk ulama yang memperkenalkan tarikat Sammaniyah di bumi Melayu-Nusantara.
‘Abd al-Shamad al-Palimbani dikenal sebagai ulama tasawuf melalui dua karyanya Hidāyat al-Sālikīn dan Siyār al-Sālikīn yang keduanya merupakan terjemahan/saduran dari karya Imam al-Ghazālī Lubab Ihyā’ Ulūm al-Dīn dan Bidāyah al-Hidāyah.
‘Abd al-Shamad al-Palimbani berhasil menyesuaikan metafisika-tasawuf Ibn ‘Arabī dengan prinsip-prinsip Imam al- Ghazālī. Menurut Azyumardi Azra, nama beliau cukup populer dan disegani di Timur Tengah. Hal ini dibuktikan dengan masuknya nama‘Abd al-Shamad al-Palimbani dalam kamus-kamus biografi Arab (Azra, 2004: 113 dan Zubair dalam Lektur, 2011: 374).
‘Abd al-Shamad ibn ‘Abd Allāh al-Jāwī al-Palimbānī dilahirkan di Palembang pada sekitar 1116 H/1704 M dari pasangan Syeikh Sayyid ‘Abd al-Jalīl seorang keturunan Sayyid yang berasal dari Sana’a Yaman dengan Radin Ranti salah seorang keturunan sultan di Palembang.
Sejak tahun 1760-an beliau menghabiskan masa hidupnya di Makkah dan di Thaif. Beliau banyak menulis karangan dalam bahasa Melayu dan Arab yang sebagian besar beliau tulis di Makkah. Beliau menempuh pendidikan di Kedah dan Patani, lalu ayahnya mengirim dirinya untuk belajar ke Jazirah Arab.
Ia kemudian menguasai ilmu syariah, hadits, fiqih, tafsir, kalam dan tasawuf. Kemungkinan besar beliau wafat sekitar tahun 1203 H/1789 M (Azra, 2004: 113 dan Zubair dalam Lektur, 2011: 377-378).
Al-Palimbani termasuk ulama Melayu-Nusantara yang menonjol pada abad ke-18. Meski sebagian besar usianya dihabiskan di Haramain dan tidak pernah kembali ke Nusantara, beliau tidak hilang kontak dengan komunitas Jawi di Makkah dan memperlihatkan keprihatinannya yang mendalam terhadap kondisi yang terjadi di Nusantara (Azra, 2004: 114, Drewes, 1976: 267).
Beliau tidak hanya dikenal sebagai tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan Islam di Melayu-Nusantara melalui karya-karyanya tetapi juga turut andil dalam mengobarkan semangat jihad melawan penjajah, khususnya melalui buku Nashīhah al-Muslimīn.
Di antara guru-guru Al-Palimbani yang paling berpengaruh ialah Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Sammani seorang mursyid tarikat Sammaniyah yang mana Al-Palimbani mendapatkan ijazah tarikat Sammaniyah darinya; kemudian ada Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi dan ‘Abd al-Mun’im al-Damanhuri.
Selain itu ada pula Ibrahim ibn Muhammad al-Ra’is al-Zamzami al-Makki, seorang yang menguasai ilmu falak (astronomi) setelah ilmu agama.
Guru-guru syariah serta muhaddits Al-Palimbani yang lain, seperti Muhammad Murad seorang ulama besar asal Damaskus yang dijuluki “penyangga syari’ah” dan “rumah pengetahuan” di Suriah, sering kali berkunjung ke Mekkah; Muhammad ibn Ahmad al-Jawhari al-Mishri seorang putra dari muhaddits terkemuka asal Mesir yakni Ahmad ibn al-Hasan ibn ‘Abd al-Karim ibn Yusuf al-Karimi al-Khalidi al-Jawhari al-Azhari; dan yang terakhir adalah ‘Ata Allah ibn Ahmad al-Azhari al-Mishri al-Makki (Azra, 2004:308-309).
Al-Palimbani terlibat aktif dalam komunitas Jawi seperti sesama penuntut ilmu di Makkah yang lain di antaranya; Muhammad Arsyad al-Banjari, ‘Abd al-Wahhab Bugisi, ‘Abd al-Rahman al-Batawi dan Dawud al-Fattani. Keterlibatannya tersebut membuatnya tetap mendapatkan informasi mengenai Nusantara dan peduli terhadap perkembangan agama dan politiknya (Azra, 2004: 308).
Al-Palimbani termasuk penyambung jaringan ulama Timur Tengah dengan Nusantara.
Beliau juga dikenal sebagai inspirator perlawanan masyarakat Melayu-Nusantara dalam melawan penjajah. Karya beliau yang berjudul Nashīhah al-Muslimīn wa Tazkirat al-Mu’minīn fi Fadhā’il al-Jihād fī Sabīl Allāh wa Karāmat al-Mujāhiddīn fī Sabīl Allāh (kemudian disingkat dengan Nashihatul Muslimin) telah memberi inspirasi bagi karangan Hikayat Perang Sabil karya Teuki Cik Di Tiro (versi lain mengatakan karangan Teuku Cik Pantee Kulu).
Hikayat Perang Sabil adalah sebuah karya sastra prosa yang mempu membakar semangat jihad rakyat Aceh dalam mempertahankan negerinya dari penjajahan Belanda. Perang Aceh yang berlangsung pada 1873 M sampai 1912 M merupakan perang terlama yang dialami Belanda di Indonesia (Zubair dalam Lektur, 2011: 375).
Di dalam Al-Tarīkh Salasilah Negeri Kedah yang ditulis oleh Muhammad Hasan bin Tok Kerani Muhammad Arsyad menceritakan bahwa pada 1244 H/1828 M Al-Palimbani pernah datang dari Makkah ke Kedah. Al-Palimbani turut campur dalam bernegosiasai kepada penjajah (Siam) yang pada akhirnya melahirkan keputusan perang.
Beliau ikut campur dalam membentuk pasukan pembebasan dan terlibat perang langsung yang menyebabkan beliau gugur sebagai syahid. Meski cerita ini oleh sebagian sarjana masih dipertanyakan kesahihannya, karena pada saat itu bila mengacu pada tahun tarikh usia beliau telah mencapai 124 tahun, usia yang tidak mungkin berperang. Tetapi, tulisan ini cukup membuktikan perhatian beliau kepada perang di jalan Allah (Zubair dalam Lektur, 2011: 394-395).
Peranannya sebagai arsitek jihad bukan hanya dirasakan oleh rakyat Aceh dan Kedah tetapi juga tempat-tempat lain di Sumatera, Semenanjung Malaka dan Pulau Jawa. Al-Palimbani dijuluki sebagai Spesialisasi Perang Sabil oleh Voorenhove karena perhatiannya yang besar terhadap hal tersebut (Zubair dalam Lektur, 2011: 374 dan Braginsky, 1998: 478).
Al-Palimbani pernah menulis beberapa surat, tiga di antaranya disita oleh Balanda. Surat-surat tersebut berisi desakan kepada para sultan-sultan di Jawa untuk melakukan perang suci (jihad) melawan kaum kafir. Surat pertama untuk Sultan Mataram, Hamengkubuwono I (Sultan Mangkubumi) yang beliau titipkan melalui dua Jemaah haji asal Jawa (Braginsky, 1998: 478, Drewes, 1976: 270).
Di dalam surat itu Al-Palimbani menjelaskan kedudukan seorang syuhada. Ricklefs memandang bahwa surat ini telah mengobarkan perang suci di Jawa; merupakan bukti kesejarahan penting dalam sejarah memperjuangkan kaum Muslimin Melayu-Indonesia melawan Belanda; dan bukti adanya usaha Dunia Islam international untuk mengobarkan jihad di Jawa pada paruh kedua abad ke-18 (Azra, 2004: 363).
MESKIPUN, terdapat pendapat bahwa Al-Palimbani telah gagal dalam usahanya mendorong para penguasa Jawa agar melakukan jihad, sebab Belanda menahan surat-surat tersebut sebelum sampai ke tujuan. Tetapi bukan tidak mungkin maksud surat ini tetap disampaikan secara lisan kepada raja Jawa melalui ulama yang dititipkannya (Azra, 2004: 364).

Surat-surat tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan di kemudian hari diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan selanjutnya bahasa Belanda. Teks terjemahan Inggris surat ini diambil dari tulisan Drewes (1976: 270-271). Berikut kutipan surat pertama;

(Puji-pujian kepada Allah dan Shlawat kepada Nabi), suatu contoh dari kebaikan Tuhan adalah bahwa Dia telah menggerakan hati penulis (Al-Palimbani) untuk mengirimkan sepucuk surat dari Makkah dan, di samping itu, ‘nikmat Tuhan’, di antara semua tanda kehormatan adalah laksana cahaya bintang-bintang yang menghiasi cakrawala, karena dunia diterangi oleh bintang-bintang, yang juga merupakan bukti kekuatan dan kebaikan Tuhan, sebagai cahaya di atas taman surga, taman yang tak terkira. Tuhan telah menjanjikan bahwa para Sultan akan memasuki (surga), karena keluhuran budi, kebajikan, dan keberanian mereka yang tiada tara melawan musuh dari agama lain. Di antara mereka ini adalah raja Jawa, yang mempertahankan agama Islam dan berjaya di atas semua raja lain, dan menonjol dalam amal dalam peperangan melawan orang agama lain. Tuhan meyakinkan kembali orang-orang yang bertindak di jalan ini dengan berfirman: “Jangan mengira bahwa mereka yang mati dalam perang suci itu benar-benar mati; jelas tidak mereka sesungguhnya masih hidup.” (QS. 2;154, 3:169). Nabi Muhammad bersabda: “Aku diperintahkan memerangi setiap orang kecuali mereka yang mengenal Tuhan dan diriku, Nabi-Nya”. Orang-orang yang terbunuh dalam perang suci diliputi oleh keharuman kudus yang tak terlukiskan; jadi ini merupakan peringatan untuk seluruh pengikut Muhammad. Allah berfirman, “Allah menganugerahkan hikmah dan kebaikan, keduanya adalah kebebasan dan kelapangan” (QS. 2: 269),atau menurut penafsiran yang lain, ia akan berada di dalam kebaikan di mana saja mereka berada karena berjalan di atas jalan Tuhan dan aturannya patus dipuji atas rakyat dan tentaranya, tindakan mereka tidak tercela, karena kehidupan mereka sepenuhnya diarahkan oleh takut kepada Tuhan.

Bersama ini saya menyertakan untuk Tuan yang Mulia melalui Imam Haji Bassarin dan Muhammad Idris sejumlah kecil Air Zamzam, air dari Makkah untuk digunakan sebagai obat penyembuh (penguat), sementara itu sangat dianjurkan kepada kedua orang Imam kepada Yang Mulia dan meyakinkan Tuan bahwa mereka tidak hanya cukup didasariatas agama tetapi juga orang-orang yang sempurna berjalan di jalan Allah dan Nabi.

Isi surat ketiga sebagai berikut;

Tuhan akan mengampuni dosa-dosa orang saleh seperti Pengeran Mangkunegara, yang telah diciptakan-Nya untuk mendapatkan nama harum di dunia ini, dan juga karena Yang Mulia adalah seorang keturunan Kerajaan Mataram, yang kepadanya Tuhan telah melimpahkan karunia-Nya di samping Muhammad sang Nabi, mengingat bahwa rasa keadilan Yang Mulia sudah umum dikenal. Selanjutnya, Yang Mulia hendaknya selalu ingat akan ayat Al-Quran, bahwa sekelompok kecil akan mampu mencapai kemenangan melawan kekuatan besar. Hendaklah Yang Mulia juga selalu ingat bahwa dalam Al-Quran dikatakan: “Janganlah mengira bahwa mereka yang gugur dalam perang suci itu mati” (QS. 2:154, 3:169). Tuhan telah menyatakan bahwa jiwa orang yang gugur itu akan masuk ke dalam tubuh seekor merpati besar dan naik langsung menuju surga. Ini merupakan hal yang pasti diyakini semua orang yang beriman dalam hati mereka, dan terutama beginilah akan jadinya dengan Yang Mulia, yang dapat ditamsilkan sebagai sekuntum bunga yang menyebarkan wewangiannya sejak matahari terbit hingga terbenam, sehingga seluruh Makkah dan Madinah serta negeri-negeri Melayu akan bertanya-tanya akan keharuman ini, dan memohon kepada Alah agar Yang Mulia akan menang melawan semua musuh. Hendaklah diingat kata-kata Nabi Muhammad; “Perangilah orang-orang yang tidak meyakini Islam seluruhnya, kecuali jika mereka berpindah ke agamamu.”

… yakinlah akan nasib baik yang abadi dan berusahalah sekuatmu karena takut akan Tuhanmu; janganlah takut akan nasib buruk dan elakkanlah segala kejahatan. Orang yang melakukan hal itu akan melihat langit tanpa awan (mendung) dan bumi tanpa noda. Tumbuhkanlah ketenangan hati dari ayat-ayat dalam Al-Quran berikut ini: “Barangsiapa beriman dan beramal shaleh, akan mendapatkan karunia Tuhan (di surga)” (QS. 2:25), sebab Nabi Muhammad telah bersabda: “JIka manusia dapat hidup selamanya di dunia ini, dia pun akan hidup selamanya dan menikmati kebahagiaan abad di akhirat.”

Ini adalah untuk memberitahu Yang Mulia bahwa saya diperintahkan untuk mengirimkan kepada Yang Mulia panji-panji [yang bertuliskan Al-Rahman Al-Rahim, Muhammad Rasul Allah ‘Abd Allah], yang kekuatannya akan terasa bila digunakan oleh Yang Mulia… ketika berhadapan dengan musuh Allah … (dengan rahmat Tuhan Yang Mulia) akan selalu meraih kemenangan, yang akan memungkinkan terlindungi iman kaum Muslimin dan terbasminya semua musuh yang dengki.

Alasan panji-panji ini dikirimkan kepada Tuan adalah bahwa kami di Makkah akan mendengar bahwa Yang Mulia, sebagai seorang pemimpin yang sejati, sangat ditakuti di medan perang. Hargailah dan manfaatkanlah, insya Allah, untuk menumpas musuh-musuh Tuan dan semua orang kafir. Doa selamat dikirimkan kepada Yang Mulia atas nama orang-orang yang bertakwa kepada-Nya di Makkah dan Madinah: Ibrahim, Imam Syafi’I, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hanbali, dan selanjutnya atas nama semua orang lain di sini, yang keinginannya tiada lain adalah agar berkah dari Nabi dan keempat sahabat beliau, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali, terlimpah kepada Yang Mulia.

Pemikiran Jihad Al-Palimbani dalam Nashihatul Muslimin

Kitab Nashihatul Muslimin ditulis dalam bahasa Arab pada 1186 H. Buku tersebut banyak mengutip pendapat-pendapat ulama terutama Imam an-Nawawi (w. 676 H/1277 M) melalui bukunya Minhāj at-Thālibīn (Zubair dalam Lektur, 2011: 387, Iskandar, 1996: 443).

Jihad yang dimaksud oleh Al-Palimbani adalah perang melawan orang kafir. Jihad hukumnya fardhu kifāyah manakala posisi orang-orang kafir berada di wilayahnya sendiri, jaraknya jauh dari wilayah Islam dan tidak mengancam atau menyerang umat Islam. Tetapi dapat menjadi fardhu ‘Ain manakala orang-orang kafir mengancam atau menyerang umat Islam.

Hukum fardhu kifāyah menjadi gugur apabila benteng pertahan yang memisahkan wilayah umat Islam dan orang-orang kafir dibangun. Jika orang-orang kafir berusaha menyerang benteng pertahanan maka umat Islam harus mempertahankan bila perlu membuat parit.

Kewajiban kifāyah ini juga gugur apabila pasukan jihad umat Islam melakukan invasi ke wilayah orang kafir. Kegiatan invasi menurut beliau sekurang-kurangnya sekali dalam setahun dan tentu baik jika lebih.

Wilayah orang kafir yang dianjurkan untuk dibebaskan adalah yang paling berdekatan dengan wilayah kaum Muslimin. Namun, apabila ada wilayah yang lebih jauh dan memiliki potensi mengancam wilayah umat Islam maka terlebih dahulu diperangi.

Pemerintah Islam tidak dibenarkan melewatkan satu tahun tanpa jihad, kecuali terpaksa karena posisi umat Islam lemah atau orang kafir lebih banyak dan lebih kuat. Hukum fardhu kifayah berlaku bagi yang telah baligh, berakal, laki-laki merdeka (tidak terlilit utang), mampu berperang dan memiliki akomodasi serta senjata (Zubair dalam Lektur, 2011: 380-382).

Hukum fardhu ‘ain berlaku apabila orang-orang kafir menginvasi wilayah kaum Muslimin. Seluruh penduduk berkewajiban mempertahankan wilayahnya semaksimal mungkin.

Bahkan, bila terpaksa siapapun tanpa terkecuali baik anak-anak, perempuan, faqir miskin wajib ikut jihad sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Haram hukumnya bagi prajurit lari dari medan perang bila telah berjumpa dengan pasukan lawan (Zubair dalam Lektur, 2011: 382-384).

Berkenaan dengan keutamaan jihad dan mati syahid, Al-Palimbani banyak mengutip hadits dan ayat Quran di dalam Nashihatul Muslimin seperti QS. Al-Hujurat: 15, QS. Ash-Shaff: 10-11, QS. An-Nisa: 95, QS. Al-Baqarah: 154 dan QS. Ali Imran: 169 dan hadits riwayat Bukhari tentang Jihad merupakan amalan yang paling utama setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan sebagainya (Zubair dalam Lektur, 2011: 385).

Al-Palimbani menganggap perlu untuk membuat ribath atau pasukan pengintai gerakan musuh. Karena pentingnya hal tersebut beliau mengutip kurang lebih 15 buah hadits dari berbagai periwayat seperti, “Melakukan ribath satu hari di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan segala isinya…” (Hr. Bukhari).

Beliau berpendapat bahwa seluruh masyarakat turut andil dalam jihad sesuai kemampuannya masing-masing, seperti memberikan akomodasi ataupun menjaga harta dan keluarga mujahiddin yang ditinggal perang. Hal yang tidak kalah penting adalah strategi perang dan kemampuan perang para pasukan, beliau mengutip surat Al-Anfal ayat 60 (Zubair dalam Lektur, 2011: 385-386).



Penutup

Dari penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan pertama-tama bahwa kaum sufi tidaklah disebut sebagai anti dengan perjuangan menegakan dīn. Mereka tidak menyempitkan makna jihad hanya menjadi jihād an-nafs yakni memerangi hawa nafsu.

Baik jihad fisik melawan penjajah dan jihad melawan hawa nafsu keduanya adalah perintah agama. Seorang sufi kemudian tidak selalu diidentikan sebagai para penafi syariat, fatalis, dan menarik diri dari urusan duniawi.

Sebaliknya mereka adalah para penempu dan pemegang syariat yang teguh, yang menuntut kepatuhan secara penuh lahir dan batin, dan penghimbau kaum Muslim agar aktif; bagi mereka pemenuhan kewajiban duniawi kaum Muslim merupakan bagian integral dari kemajuan spiritual dalam perjalanan ruhani.

Para sufi pun bersepakat amat mustahil mencapai tujuan spiritual tanpa mematuhi doktirn ortodoks Islam. Bertasawuf tidak lain adalah beribadah di maqam ihsan.

Ajaran tasawuf seharusnya menjadi kekuatan tersendiri yang muncul dari dalam diri seorang mujahid. Sebab ajaran tasawuf sebenarnya bentuk penyerahan total (tawakal) diri kepada Allah.

Keberanian akan muncul dari dalam diri sebab tidak ada yang perlu ditakuti selain Allah. Tidak ada yang perlu ditakuti dari kematian, sebab kematian bukanlah akhir dari segalanya tetapi awal memasuki pintu perjumpa dengan Allah Ta’ala. Hal yang amat diidam-idamkan para sufi.

Syeikh ‘Abd al-Shamad al-Palimbani mengajarkan hal demikian. Di samping sebagai seorang mursyid penempu jalan suluk-tasawuf, beliau juga seorang arsitek jihad, dan inspirator di balik karangan Hikayat Perang Sabil yang mempu membakar semangat rakyat Aceh dalam membela tanahnya.

Sehingga ada yang mengatakan bahwa mereka berperang memang mencari mati. Syahid adalah sebuah kematian terindah. Karya Nashihatul Muslimin beliau merupakan salah satu bukti upaya menggelorakan semangat perang suci untuk mengusir penjajah dari bumi Nusantara. Selain itu, surat-surat yang ditujukan kepada raja-raja Jawa turut menguatkan bukti ini. [jejakislam.net]



Rujukan Buku:

Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia.Jakarta: Kencana.

Braginksy, V. I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS

Chambert-Loir, Henri. 2013. Naik Haji di Masa Silam Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964. Jakarta: KPG

Dahlan, Ahmad. 2014. Sejarah Melayu. Jakarta: PT. Gramedia

Iskandar, Teuku. 1996. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta: Penerbit LIBRA

Mahmoud, A. Halim. Tt. Hal Ihwal Tasauf Analisa Tentang Al-Munqidz Minadhdhalal (Penyelamat dari Kesesatan). Tk: Darul Ihya

Mustafa, Mustari. 2011. Agama dan Bayang-bayang Etis, Syeikh Yusuf Al-Makassari. Yogyakarta: LKiS

Vehide, Sukran. 2007. Biografi Intelektual Badiuzzaman Said Nursi, Transformasi Dinasti Usmani Menjadi Republik Turki. Jakarta: Anatolia

Zubair. 2011. Jihad dan Kemerdekaan: Studi atas Naskah Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul Mu’minin dalam Jurnal Lektur Keagamaan Vol. 9. No.2 November 2011. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI

Jurnal:

G. W. J. Drewes, 1976, “Further Data Concerning Abd Al-Shamad Al-Palimbani”, KITLV. Diakses di jstor.org, 12/01/2015 04:07.


Yogi T. Rinaldi, S.Hum. (Penggiat Depok Islamic Study Circle Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia)

No comments: