Kiai Sadrach Srapranata, Sang Pemberi Inspirasi Penginjil Jawa yang Kharismatik

Sadrach lahir pada tahun 1835 dalam keluarga petani Miskin di daerah Jepara, Jawa Tengah. Nama kecilnya “Radin”. Sejak remaja, Radin senang belajar. Akhirnya ia pun jadi santri dan mendapat nama tambahan “Abas”. Karena kegemarannya belajar, ia tidak mudah merasa puas dengan Satu guru. Ia belajar dari satu guru ke guru lainnya, dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Ia ingin menemukan jatining ngelmu ( ilmu sejati ).
Pada saat pergi ke Semarang, ia bertemu dengan mantan gurunya, Pak Kurmen ( Sis Kanoman ), yang telah menjadi Kristen. Mantan gurunya itu dikalahkan oleh Penginjil pribumi (Jawa), Kiai Tunggu Wulung, dalam Debat Umum tentang kebenaran iman. Radin Abas penasaran dan berpikir apakah ajaran Kiai Tunggul Wulung adalah jatining ngelmu. Pergilah ia menjumpai Kiai Tunggul Wulung dan pertemuan itu menjadi titik awal perjumpaannya dengan Kristus. Pada masa itu, ia juga berkenalan dengan Penginjil Pdt. W. Hoezoo yang berkedudukan di Semarang. Ketertarikan kepada Kristu membua Tadin bersedia berjalan kaki hingga 5 jam untuk menghadiri ibadah di Gereja Hoezoo.
Pada tahun 1866, Radin Abas memutuskan untuk pergi ke Batavia (nama Jakarta tempo dulu) bersama dengan Kiai Tunggul Wulung untuk menemui Mr. F.L. Anthing, pejabat tinggi Belanda yang bertugas di pengadilan. Mereka tinggal di rumah Mr. Anthing yang giat mendukung pekabaran Injil. saat itulah Radin berkatekisasi kepada Pdt. Mattheus Teffer, seorang pekabar Injil NZG. Pada 14 April 1867, Radin Abas dibaptis oleh Pdt. Ader, pendeta Indsche Kerk. Ia memutuskan untuk mengubah namanya menjadi Sadrach. Menurut Kitab Nabi Daniel 3, Sadrach bersama kedua temannya, Mesakh dan Abednego, secara Konsisten mempertahankan imannya kepada Tuhan. Mereka menolak menyembah patung yang dibuat oleh Raja Nebukadnezar dan tetap mempertahankan identitas diri sebagai orang Israel. Nama Sadrach memotivasi Radin untuk menjadi Kristen tanpa harus menjadi Belanda. Menurutnya, menjadi Jawa bukan pilihan melainkan berkat dari Tuhan. Ia meneladani Sadrach yang tetap Israel dalam dunia Negara Babel dengan tetap menjadi Sadrach, seorang Jawa dalam penjajahan Belanda. Ia adalah seorang Jawa yang Kristen.
Setelah itu, di desa Tuksanga, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Sadrach memulai karya penginjilan bersama ibu angkatnya, Ny. Philip. Sebagai penginjil pribumi, Sadrach memiliki cara sendiri dalam menyebarkan Firman Tuhan. Ia melakukan “Debat Umu” dengan para kiai (guru Jawa). Guru yang kalah, bersama dengan murid-muridnya, harus berguru kepada guru yang menang. Dengan Cara itu, dalam tempo 3 tahun (1870-1873), jemaat Sadrach mencapai 2.500 orang. Selama itu juga 5 gereja didirikan, yaitu di :
  1. Karangjasa (1871).

  2. Banjur (1872).

  3. Karangpucung (1873).

  4. Kedungpring (1873).

  5. dan Karangjambu (1873).



Menurut catatan Pdt. Wilheim dan Majalah Pekabaran Injil Heidenbode, tahun 1884 jemaat dan Gereja makin bertambah banyak menjadi 3.029 orang dan 25 Gereja. Di tahun 1890 tercatat 6.794 orang , 70 Gereja, dan 411 desa telah menerima Tuhan Yesus. Mereka menamakan diri sebagai Golongane Wong Kristen Kang Mardika (kelompok orang Kristen yang merdeka). Sesuai tradisi Jawa, Sadrach menambahkan nama Jawa setelah kata Sadrach, yaitu Surapranata. Sura berarti keberanian dan pranata berarti mengatur atau menata. Nama Kiai Sadrach Surapranata menunjuk pada jabatan barunya sebagai seorang Pemimpin yang berani menata kehidupan umat dalam jalan kebenaran bersama Kristus.
Komunitas Golongan Wong Kristen Kang Mardika itu mengalami perkembangan pesat. Penyembahan kepada Tuhan Yesus dilakukan dengan cara-cara lokal Jawa. Doa Bapa kami, Pengakuan Iman Rasuli, Sepuluh Hukum Tuhan, Doa Pagi, Doa Makan, Doa Malam, dan lainnya digubah dalam bentuk lagu Jawa (dinyanyikan dalam musik Jawa). Persekutuan dan Pemahaman Alkitab di lakukan setiap Selasa Kliwon. Pada hari itu sesuai dengan penanggalan Jawa, masyarakat mengadakan pasaran (sistem pasar tradisional, masyarakat dari berbagai tempat datang berbelanja dan berbisnis di pasar pusat). Sebutan bagi hari tua adalah kliwonan. Namun, pemerintah Negara Belanda memandang lain. Mereka menganggap bahwa lagu Jawa yang dilantukan hanyalah rapal ayat-ayat setan dan kliwonan adalah perkumpulan yang merencanakan pemberontakan. Inilah tantangan Sadrach pada masa itu.
Sebagai sang pamong, Sadrach Surapranata mengajak umat melakukan konteksualisai iman dalam kehidupan orang Jawa pada jamannya. Ia berusaha memberikan pesan kepada kita bahwa orang (Jawa) tidak perlu menjadi bangsa lain untuk menjadi Kristen karena orang Kristen sudah dibebaskan dan tidak dijajah oleh siapa pun, bebas menyembah kepada Bapa dalam Yesus Kristus. Jadilah wong Kristen kang mardika (orang Kristen yang merdeka!).
by: Sh. Sucahyo
Source: Renungan Kristen YOUTH FOR CHRIST Maret-April 2015

14250334391071131709

No comments: