Kisah “Dua Rupa” Teuku Umar

Pembelokkan’ yang dilakukan Teuku Umar seperti sebuah keuntungan besar bagi Belanda untuk memudahkan misi-misi mereka di Aceh Kisah “Dua Rupa” Teuku Umar
Wikipedia
Teuku Umar bersama pengikutnya

ADA banyak kisah dan peristiwa yang menarik dalam sejarah Aceh untuk dibicarakan, terutama pada masa Perang Belanda di Aceh (1873-1942) dan salah satu yang pernah dituliskan adalah Teuku Umar.
Kehadiran Teuku Umar bukan sejarah yang menyenangkan bagi Belanda. Suami Cut Nyak Dien ini mendapat cercaan dan sebutan “pengkhianat” oleh Belanda namun juga dihadiahi gelar ‘Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland’.
Teuku Umar yang hidup pada masanya (1854-1899) sejak dari dulu sampai sekarang masih menimbulkan tanda tanya besar, mengapa? Tokoh yang satu ini memang mengundang decak kagum serta terdapat kontroversi di dalamnya.
Tidak sedikit pula misteri yang tersimpan dalam diri sosok yang bernama Teuku Umar Johan Pahlawan. Bagaimana ia mampu meyakinkan Belanda dengan berpura-pura menjadi antek Belanda, kemudian insiden Kapal Nicero tahun 1884 yang melibatkannya adalah salah satu bentuk kejeniusannya.
Dua Rupa Wajah Umar
116 tahun yang lalu, kita mengenal seorang tokoh sekaligus penjuang Aceh berdarah Minangkabau, Teuku Umar. Katanya, Teuku Umar satu-satunya pemimpin perang Aceh yang pindah langsung dari pasukan Aceh ke Belanda. Dia dicap pengkhianat oleh publik, namun menjadi idola di hati rakyat Aceh. Teuku Umar adalah salah satu kisah diantara banyak cerita yang muncul diseputaran perang Belanda di Aceh. Umar menjadi salah satu dari sekian banyaknya orang Aceh yang mendukung Belanda, namun Umar berbeda dengan cuak Aceh yang mendukung Belanda, meskipun gelar “pengkhianat” tetap melekat pada dirinya.
Seperti yang terjadi pada tokoh sejarah Aceh ini, sebelumnya, Pang Tibang mengalami hal serupa, karena dianggap tidak mampu melobi dunia internasional, gelar pengkhianat pun disandangnya, dia disebut sedemikian bisa saja ia tidak mampu berdialog dalam bahasa asing. Teuku Umar memang berbeda dengan Pang Tibang.
Teuku Umar yang semula mendukung penuh dan memimpin pasukan Aceh melawan Kolonial Belanda, tiba-tiba berbalik haluan. Pada tahun 1883 Teuku Umar datang untuk menyerahkan diri kepada Gubernur Van Teijin dan siap mendukung pasukan Belanda. Umar masuk dinas militer dan siap melawan pasukan Aceh.
Ketika Teuku Umar bergabung dengan pasukan Belanda, ia menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Teuku Umar pun diberi peran yang lebih besar oleh Belanda. Namun, hatinya tetap milik orang Aceh, strategi tersebut hanyalah tipuan belaka untuk mengambil senjata Belanda. Hal serupa juga dilakuakan olehnya pada tahun 1893, kali ini ia menyerah kepada Gubernur Deykerkhooff di Kutaraja. ‘Dua rupa’ wajah Teuku Umar kembali diperlihatkan.
Tiga tahun memperkuat Belanda pada periode kedua, Teuku Umar benar-benar telah menyakinkan Belanda dengan kesetiaannya. Ia berubah menjadi orang Eropa. Momen itu berlangsung antara kurun waktu 1893-1896, sebelum peristiwa suatu hari ditanggal 11 Februari 1899 yang mengantarkan “Teuku Umar Johan Pahlawan” ke daerah Mugo untuk peristirahatan selama-lamanya. Namun tiga tahun setelah mengabdi, ia kembali membuat kejutan besar saat dia memutuskan kembali ke pangkuan Aceh dan memimpin pasukannya.
‘Manipulasi’ Teuku Umar
Teuku Umar dikenal pandai dalam psy war dan memanipulasi kata-kata. Keahlian ini tentu sudah banyak yang mengetahui. Terutama kepiawian memanipulasi taktik ketika menghadapi suatu peperangan. Memobilisasi massa, membakar semangat rakyat, dan berorasi di depan pasukan Aceh sepertinya sudah identik dengan tugas Teuku Umar baik sebelum maupun sesudah berperang dengan Belanda.
Suatu ketika, saat Teuku Umar berbincang dengan istrinya Cut Nyak Dhien, ia ditanya istrinya mengapa dia berpihak kepada Belanda. Umar pun menjawab dengan tegas setelah mendengar pertanyaan tersebut. “Mereka tidak tahu, biarkan saja sejarah yang membuktikannya,” demikian jawabnnya. Sebuah jawaban yang mengandung banyak makna. Atau juga dapat dilihat bagaimana ia memanipulasi kata-kata untuk merebut hati Cut Nyak Dhien dan berhasil menikahinya.
Memang benar pada masa itu, tanpa diduga-duga Teuku Umar ‘berpihak’ kepada Belanda setelah sekian lama berjuang bersama-sama dengan pasukan Aceh. Seperti diketahui, pasukan Aceh dibawah kepemimpinannya kalah logistik perang setelah membandingkan persenjataan Aceh dengan Belanda. Itulah yang menjadi titik fokus Teuku Umar dan harus menyeberang ke pihak lawan.
Hal ini jelas menimbulkan pro dan kontra dikalangan rakyat Aceh sejak tempo dulu sampai dengan sekarang dan selalu menjadi topik sejarah yang menarik untuk dibicarakan.
Dengan kata lain, Teuku Umar ingin menunjukkan bahwa sebenarnya secara kualitas pasukan Aceh di wilayah Meulaboh tidak kalah hebatnya dengan pasukan Belanda. Bilapun ada makna lain, bisa jadi ia ingin mengatakan bahwa pasukan Belanda tidak akan mampu berperang dengan Aceh apabila alat persenjataan dan logistik perang lainnya persis sama dengan yang dimiliki pasukan Aceh pada saat itu. Terbukti, pada pertempuran di Meulaboh yang lagi memanas, Belanda dibuat kewalahan oleh pasukan Aceh atas sengitnya perlawanan yang diberikan. Akibatnya, Belanda kerap menggantikan pimpinan perang.
Itulah Teuku Umar yang memiliki pola pemikiran yang tidak biasa dengan persepsi orang kebanyakan. Boleh dikatakan, dia menggeser sudut pandangan. Inilah yang kemudian membuat Umar memecah opini banyak orang. Teuku Umar yang sejak semula sangat menentang kehadiran Belanda di Meulaboh, kemudian malah berpihak Belanda, meski ujungnya, kembali kepangkuan Aceh.
Tentang Teuku Umar, tidak sedikit yang mengagung-agungkannya karena kejeniusannya berolah kata, meracik taktik perang dan sebagai simbol pemimpin rakyat Aceh di Meulaboh tidak dapat diragukan lagi. Namun, tidak sedikit pula yang menyebutnya sebagai pengkhianat. Belanda sendiri memecatnya dan mencabut gelar ‘Johan Pahlawan’ yang disandangkannya.
Salah satu yang menarik dari taktik perangnya adalah Umar tidak hanya mempersiapkan pasukannya dengan taktik defensif dan ofensif, tetapi juga membakar mental para pasukannya dengan ucapan yang menggairahkan.
Ia menggambarkan Belanda sebagai kaphe, lalu melanjutkan dengan ucapan “Udep Share Matee Syahid.” Umar menggunakan kondisi itu untuk membakar semangat pasukannya agar berperang mati-matian dengan pasukan Belanda yang dilengkapi dengan senjata modern.
Surga pun telah menanti
Di medan perang, taktik Umar pun terkadang bisa sama sulitnya untuk ditebak. Memang, taktik milik Umar tidak hanya berpatok penyerangan terhadap Belanda. Sebagai seorang yang piawai dalam mikro-taktik perang, setidaknya Umar telah membagi dua pasukan Aceh. Satu pasukan Aceh ditempatkan dihutan untuk terus bergerilya, dan satu pasukan lagi tetap berada diperkampungan agar terus memberikan perlawanan terhadap Belanda. Setiap pasukan Aceh dibawah pimpinannya yang berada di medan area biasanya sudah mempunyai roel (tugas dan peran) masing-masing. Dan biasanya role tersebut diberikan dengan amat detil. Bukankah Umar tidak mengandung filosofi ajeg bagaimana sebuah pasukan Aceh harus bertahan.
Teuku Umar tahu bahwa pasukan Belanda akan melakukan taktik bumi hanguskan, man-marking terhadap pasukan Aceh secara habis-habisan, dan dia tidak salah. Pasukan Belanda telah di intruksikan untuk penjagaan ketat, mendirikan pos-pos militer, dan melancarkan serangan yang membabi buta. Namun, bukannya pasukan Aceh yang terpedaya, malah pasukan Belanda mengalami frustasi atas sengitnya perlawanan dari pasukan Aceh.
Taktik berpindahnya Teuku Umar ke pihak Belanda masih menjadi misteri mengapa Umar melakukan hal tersebut. Salah satu argumen yang populer menyebut, Umar tidak puas dengan persenjataan yang dimiliki pasukan Aceh. Mengingat ketika itu alat perang pasukan Belanda jauh lebih canggih daripada pasukan Aceh. Teuku Umar seolah-olah mengatakan kepada pasukannya bahwa ia tidak punya pilihan lain dan harus menjadi orang Eropa. Untuk pasukan Aceh, Umar seolah mengatakan, “kalau saya bergabung, sudah pasti saya akan merebut senjata Belanda dan akan kembali berperang bersama kalian melawan kaphe-kaphe Belanda.”
Di satu sisi, ‘pembelokkan’ yang dilakukan Teuku Umar seperti sebuah keuntungan besar bagi Belanda untuk memudahkan misi-misi mereka di Aceh. Namun, jangan lupa, Belanda akan menghadapi Teuku Umar dengan pasukan Aceh. Jika saja, suatu hari itu 11 Februari 1899 tidak terjadi apa-apa, siapa tahu, Teuku Umar yang memiliki segundang misteri itu, punya rencana berikutnya dan manipulasi-manipulasi Umar yang tersembunyi.
Selamat jalan Teuku Umar Johan Pahlawan, 11 Februari 1899 – 11 Februari 2015, perjuangan mu tetap kami kenang.*

Chaerol Riezal
Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, angkatan 2011, dan Menjabat Sebagai Ketua Umum Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI) Koordinator Wilayah VIII Aceh dan Sumatera Utara Periode 2014-2016

No comments: