Suku Jawa di Suriname & Suku Tionghoa di Indonesia

Keberadaan suku Jawa di Suriname pada era modern menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat suku Jawa di tanah air dan rakyat Indonesia. Walaupun asal usul mereka di Suriname di awali dengan sejarah panjang “kuli kontrak” yang didatangkan oleh Belanda ke Suriname pada sekitar abad ke 18-19. Rasa bangga itu bisa dilihat dari munculnya tokoh Calon Presiden Suriname yang ternyata berasal dari Suku Jawa,Raymond Sapoen.

Berita di BBC Indonesia yang memperlihatkan kefasihan Raymond Sapoen menggunakan “bahasa leluhur” yaitu bahasa Jawa “ngoko” sangat menyentuh perasaan. Betapa orang-orang Jawa yang menjadi leluhur dari generasi seperti Raymond Sapoen tetap menjadikan keturunannya mengingat asal usul mereka,walau nun jauh berada dari tanah air mereka. Melalui bahasa,generasi Raymond Sapoen diajarkan sebuah filosofi dasar yaitu untuk tetap selalu mengingat kebaikan budaya,budi pekerti dan rasa menghormati orang tua mereka.

Masyarakat Suku Jawa Suriname generasi Raymond Sapoen mempunyai rasa kebangsaan dan nasionalisme Suriname,bukan lagi nasionalisme Indonesia ; Sebab mereka memang lahir,dibesarkan dan berjuang serta mengisi kemerdekaan di Suriname. Pemerintah Negara Suriname juga tidak cemas akan keberadaan suku Jawa di Suriname,sebab bangsa Suriname memang terbentuk dari multi etnis.

Namun hal ini berbeda ketika orang membandingkan keberadaan suku Tionghoa di Indonesia,secara khusus di tanah Jawa. Perlakuan Pemerintah Indonesia pada era Orde Baru terhadap keberadaan suku Tionghoa di Indonesia membawa dampak psikologis yang tidak baik bagi keturunan Tionghoa dan bagi suku Jawa atau suku-suku pribumi yang menganut ajaran ‘rasisme” yang dipakai oleh Soeharto sebagai “Bapak pendiri ORBA” untuk menekan suku Tionghoa di Indonesia. Ajaran “rasisme” ala ORBA ketika itu adalah melarang dan menutup sekolah-sekolah Mandarin dan pengajaran bahasa Mandarin di Indonesia. Melalui slogan-slogan “PEMBAURAN”,Soeharto menekan secara psikologis masyarakat Tionghoa untuk tidak menggunakan bahasa Mandarin secara eksklusif di lingkungannya. Program “pembauran” Soeharto selama sekian puluh tahun berhasil menjadikan suku Tionghoa generasi yang lahir diatas tahun 1960-an tidak lagi bisa berbahasa Mandarin ataupun dialek suku Tionghoa,secara khusus di seluruh tanah Jawa. Beberapa daerah luar Pulau Jawa,seperti Pontianak,Singkawang,Bangka-Belitung,Makassar,Medan suku-suku Tionghoa disana masih cukup banyak menggunakan dialek suku Tionghoa,karena sekian puluh tahun di era ORBA hampir menikmati “isolasi” ; Sentralisasi pembangunan di Pulau Jawa di era ORBA memberi dampak kurangnya perhatian “pembauran” diterapkan di daerah-daerah tersebut.

Mudah-mudahan dengan perlakuan yang baik dan logika berpikir yang sehat dan humanis di era modern ini,masyarakat suku Jawa dan suku-suku lain di Indonesia yang masih suka berpikir “rasis” dengan mengatakan,” Cino…Cina…dsb” dengan nada sinis dapat melihat bahwa ada satu bangsa nun jauh disana yaitu di Suriname yang ternyata masih dapat mempertahankan adat-istiadat dan bahasa leluhur mereka tanpa perlakuan rasisme seperti yang dialami oleh suku Tionghoa di Indonesia ; Dan mereka itu adalah masyarakat suku Jawa,yang mana justru di tanah air Indonesia masih ada masyarakat Suku Jawa yang memperlakukan suku Tionghoa sangat rasis.

Ingatlah,bahwa manusia lahir dan tercipta bukan karena kehendaknya,tetapi karena kehendakNYA,yaitu ALLAH yang menciptakan …!

Stop rasisme terhadap suku Tionghoa di Indonesia…

mania T

No comments: