Syamsuddin Al Sumatrani; Sufi Filsafat Aceh yang Dimakamkan di Malaka

Ilustrasi Syekh Syamsuddin Al Sumatrani
Ilustrasi Syekh Syamsuddin Al Sumatrani
Dia menduduki jabatan keagamaan tertinggi di Aceh pada masa itu, Malikul Adil dan Imam Besar Masjid Baiturrahman.

KOMPLEKS itu berada di tengah kampung, di antara rumah-rumah panggung berkonstruksi kayu khas Melayu di Kota Malaka, Malaysia. Banyak orang dikubur di kompleks makam. Namun yang paling menonjol adalah makam Syamsuddin Al-Sumatrani. Inilah satu-satunya makam di kompleks itu yang dipagari beton dan diberi atap, sedangkan makam lainnya yang jauh lebih pendek hanya diberi batu nisan dan batu-batu yang tinggi tak lebih 20 sentimeter. Makam Syamsuddin terletak di pusat kota tua, sekitar 700 meter dari Sungai Malaka. Tepatnya di Kampung Keter.

Makam Syamsuddin sangat panjang: sekitar 14 meter. Sekeliling makam dilapisi keramik warna oranye. Di bagian tengahnya yang dibiarkan terbuka ditaburi batu kerikil putih. Ketika tiba di situ, di bagian kepala makam masih ada abu sisa pembakaran dupa.

Di prasasti yang terletak di dekat makam, tertulis nama “Syamsuddin Al-Sumatrani”. Di prasasti itu juga disebutkan, Syamsuddin merupakan seorang ulama, sastrawan, dan juga pahlawan dari negeri Aceh.

Pada prasasti juga ditulis tujuan Aceh menyerang Malaka untuk membebaskan dari jajahan orang Barat dan menegakkan syiar Islam. Dituliskan, ada seorang panglima perang dari Aceh ikut dalam penyerangan ke Malaka bersama dengan Syamsuddin, yaitu Panglima Pidi.

“Dalam salah satu serangan yang dilakukan oleh angkatan Tentara Acheh terhadap Portugis di Melaka, Syamsuddin Al-Sumatrani telah turut serta. Bersama-sama beliau ialah panglima-panglima Acheh termasuk Panglima Pidi. Angkatan tentara Acheh gagal untuk menewaskan Portugis. Syamsudin Al-Sumatrani dikatakan tidak kembali bersama-sama angkatan perang Acheh. Beliau dan Panglima Pidi dipercaya telah terkorban. Jasad Panglima disemadikan di Puncak Gedung (Bukit China) dikenali sebagai keramat panjang manakala jasad Syamsudin Al-Sumatrani disemadikan di Kampung Ketik, Melaka."

Siapa Syamsuddin Al Sumatrani yang dimaksud?

Syekh Syamsuddin Al Sumatrani bernama asli Syamsuddin bin Abdullah. Ia berasal dari Pasai, Aceh, sehingga sering juga disebut Syamsuddin dari Pasai. Berdasarkan Kitab Bustanussalatin karangan Nuruddin Ar Ranirry, Syekh Syamsuddin Al Sumatrani lahir meninggal pada 25 Februari 1630, atau bertepatan dengan hari Senin, 12 Rajab 1038 H.

Namun Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda menyebutkan Syekh Syamsuddin Al Sumatrani wafat pada 1039 H atau bertepatan dengan 24 Februari 1630.

Syamsuddin adalah murid Hamzah Fansuri yang juga menganut paham wahdatul wujud atau wujudiyah. Paham ini menegaskan, tidak ada yang wujud selain Allah.

Peneliti sastra Melayu dari Rusia, Vladimir Braginsky, dalam bukunya Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19, menyebutkan kendati keduanya adalah guru dan murid tetapi ada perbedaan di antara keduanya. Hamzah seorang ulama tasawuf, sementara Syamsuddin seorang sufi filsafat.

Syamsuddin turut mengikuti jejak gurunya dengan menyampaikan pemikirannya melalui syair. Dia mengulas syair-syair Fansuri seperti Syarah Rubai Hamzah Fansury. Ini merupakan ulasannya terhadap 39 bait syair Hamzah Fansury tentang tasawuf.

Karya Syamsuddin paling fenomenal adalah Jauharul Haqa’iq ‘Permata Kebenaran’. Buku ini menjelaskan tentang martabat tujuh; ajaran tasawuf yang dikembangkan Syamsuddin dari Hamzah Fansury.

Karya Syamsuddin lainnya antara lain Miratul Mukminin (Cermin bagi Orang-Orang yang Beriman), Risalatul Baiyin Mulahaldlatil Muwahhidin Alal Mulhidi fi Zikrillah, dan Nurul Daqa’iq (Cahaya yang Murni).

Semasa hidupnya, Syamsuddin adalah Syekhul Islam pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dia menduduki jabatan keagamaan tertinggi di Aceh pada masa itu, Malikul Adil dan Imam Besar Masjid Baiturrahman.

Syamsudin juga ikut dalam barisan tentara Aceh yang datang ke Malaka untuk mengusir Portugis. Kala itu Portugis sudah menguasai Malaka sejak 1511 Masehi. Dalam Bustanus Salatin, Nuruddin menulis tentang berkecamuknya perang dan Syamsuddin tidak kembali lagi ke Aceh.

“Maka dititahkan Sultan, orang kaya Maharaja Sri Maharaja dan orang kaya Laksamana menyerang Malaka pada tatkala Hijriah 1038 tahun, tetapi tiadalah karena berbantah dua orang itu. Pada ketika itulah segala orang Islam banyak mati syahid. Syahdan pada masa itulah wafat Syekh Syamsuddin Ibn ‘Abdillah al-Sumathrani pada malam itsnin dua belas hari bulan Rajab pada hijrah 1039 tahun. Adalah syekh itu ‘alim pada segala ilmu dan ialah yang termasyhur pengetahuan-nya pada ilmu tasawuf dan beberapa kita di-ta’lifkannya.”[]
Editor: Boy Nashruddin Agus

No comments: