Bangsa Arab Sebelum Islam

kelahiran-sirah-padang pasir
SEBELUM Islam hadir di tengah-tengah bangsa Arab di masa Rasulullah SAW saat itu, kondisi bangsa Arab tidaklah sama seperti halnya setelah Rasulullah hadir. Ada sesuatu yang membedakannya. Terutama dalam hal keyakinan atau pun kepercayaannya. Seperti apa ya kondisi bangsa Arab sebelum kehadiran Rasulullah? Untuk lebih lengkapnya mari kenali kondisi bangsa Arab sebelum Islam berikut ini.
Merujuk kepada silsilah keturunan dan asal-usulnya, para sejarawan membagi bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab yang terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit, seperti Ad, Tsamud, Thasm, Judais, Imlaq, Umain, Hadhur, Wabar, Abil, Jasim, Hadramaut dan lain-lainnya.
2. Arab Aribah, yaitu bangsa Arab yang berasal dari keturunan Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Suku bangsa Arab ini dikenal dengan sebutan Arab Qahthaniyah.
3. Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ismail, yang disebut juga Arab Adnaniyah.
Arab Aribah adalah bangsa Qahthan. Tempat asal-usulnya adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku. Yang terkenal adalah dua kabilah, yaitu:
a. Kabilah Himyar, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Zaid Al-Jumhur, Qudha’ah dan Sakasik.
b. Kahlan, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Hamadan, Anmar, Thayyi’, Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Azad, Aus, Khazraj dan anak keturunan Jafnah, Raja Syam.
Suku-suku Kahlan banyak yang hijrah meninggalkan Yaman, lalu menyebar ke berbagai penjuru Jazirah Arab menjelang terjadinya banjir besar saat mereka mengalami kegagalan dalam perdagangan. Hal ini sebagai akibat dari tekanan bangsa Romawi dan tindakan mereka menguasai jalur perdagangan laut dan setelah mereka menghancurkan jalur darat serta berhasil menguasai Mesir dan Syam.
Tidak aneh bila itu terjadi sebagai akibat dari persaingan antara suku-suku Kahlan dan suku-suku Himyar, yang berakhir dengan keluarnya suku-suku Himyar dan ditandai dengan menetapnya suku Himyar.
Suku-suku Kahlan yang berhijrah dapat dibagi menjadi empat golongan:
1. Azad
Perpindahan mereka dipimpin oleh pemuka dan pemimpin mereka, Imran bin Amru Muzaiqiya’. Mereka berpindah-pindah di negeri Yaman danmengirim para pemandu; lalu berjalan ke arah utara dan timur. Dan inilah rincian akhir tempat-tempat yang pernah mereka tinggali setelah perjalanan mereka, yakni Tsa’labah bin Amru pindah dari Azad menuju Hijaz, lalu menetap di antara Tsa’labiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya besar dan kuat, dia pindah ke Madinah dan menetap di sana. Di antara keturunan Tsa’labah ini adalah Aus dan Khazraj, yaitu dua orang anak dari Haritsah bin Tsa’labah.
Di antara keturunan mereka yang bernama Haritsah bin Amr (atau yang dikenal dengan Khuza’ah) dan anak keturunannya berpindah ke Hijaz, hingga mereka singgah di Murr Azh-Zhahran, yang selanjutnya membuka Tanah Suci dan mendiami Mekkah serta mengusir penduduk aslinya, Al-Jarahimah. Sedangkan Imran bin Amr singgah di Oman, lalu bertempat tinggal di sana bersama anak-anak keturunannya, yang disebut Azd Oman. Sedangkan kabilah-kabilah Nasr bin Al-Azd menetap di Tihamah, yang disebut Azd Syanuah. Jafnah bin Amr pergi ke Syam dan menetap di sana bersama anak keturunannya. Dia dijuluki Bapak Para Raja Al-Ghassasinah, yang dinisbatkan kepada mata air singgahi sebelum akhirnya pindah ke Syam.

SUKU-suku Kahlan yang berhijrah dapat dibagi menjadi empat golongan:
1. Azad
Perpindahan mereka dipimpin oleh pemuka dan pemimpin mereka, Imran bin Amru Muzaiqiya’. Mereka berpindah-pindah di negeri Yaman danmengirim para pemandu; lalu berjalan ke arah utara dan timur. Dan inilah rincian akhir tempat-tempat yang pernah mereka tinggali setelah perjalanan mereka, yakni Tsa’labah bin Amru pindah dari Azad menuju Hijaz, lalu menetap di antara Tsa’labiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya besar dan kuat, dia pindah ke Madinah dan menetap di sana. Di antara keturunan Tsa’labah ini adalah Aus dan Khazraj, yaitu dua orang anak dari Haritsah bin Tsa’labah.
Di antara keturunan mereka yang bernama Haritsah bin Amr (atau yang dikenal dengan Khuza’ah) dan anak keturunannya berpindah ke Hijaz, hingga mereka singgah di Murr Azh-Zhahran, yang selanjutnya membuka Tanah Suci dan mendiami Mekkah serta mengusir penduduk aslinya, Al-Jarahimah. Sedangkan Imran bin Amr singgah di Oman, lalu bertempat tinggal di sana bersama anak-anak keturunannya, yang disebut Azd Oman. Sedangkan kabilah-kabilah Nasr bin Al-Azd menetap di Tihamah, yang disebut Azd Syanuah. Jafnah bin Amr pergi ke Syam dan menetap di sana bersama anak keturunannya. Dia dijuluki Bapak Para Raja Al-Ghassasinah, yang dinisbatkan kepada mata air singgahi sebelum akhirnya pindah ke Syam.
2. Lakhm dan Judzam
Mereka pindah ke timur dan utara. Tokoh dikalangan mereka adalah Nashr bin Rabi’ah, pemimpin raja-raja Al-Mundzir di Hirah.
3. Bani Tha’i
Setelah Azad berpindah, mereka berpindah ke arah utara hingga singgah di antara dua gunung, Aja’ dan Salma. Mereka menetap di sana, hingga mereka dikenal dengan sebutan Al-Jabalani (dua gunung) di gunung Thayyi’.
4. Kindah
Mereka singgah di Bahrain, lalu terpaksa meninggalkannya dan singgah di Handramaut. Namun, nasib mereka tidak jauh berbeda saat berada di Bahrain, hingga mereka pindah lagi ke Najd. Di sana mereka mendirikan pemerintahan yang besar dan kuat. Tetapi, secepat itu pula mereka punah dan tak meninggalkan jejak. Di sana masih ada satu kabilah dari Himyar yang diperselisihkan asal keturunannya, yaitu Qudha’ah. Mereka hijrah meninggalkan Yaman dan menetap di pinggiran Iraq.
Adapun Arab Musta’ribah—moyang mereka adalah Ibrahim AS—yang berasal dari negeri Iraq, dari sebuah daerah yang disebut Ar. Kota ini berada di pinggir barat Sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah. Cukup banyak penelusuran dan penelitian yang luas mengenai negeri ini, selain tentang keluarga Ibrahim, kondisi sosial dan keagamaan di negeri tersebut.
Kita tahu bahwa Ibrahim hijrah dari Iraq ke Haran atau Harran, termasuk pula ke Palestina. Ia lalu menjadikan negeri itu sebagai basis dakwahnya. Ia banyak menelusuri negeri ini dan negeri lainnya. Di salah satu perjalanan tersebut, Ibrahim AS bertemu dengan Fir’aun. Istri Ibrahim, Sarah turut menemaninya. Sarah merupakan wanita yang tercantik. Maka, Fir’aun itu hendak memasang siasat buruk terhadap istri beliau. Namun, Sarah berdoa kepada Allah, sehingga Dia membalikka jerat yang dipasang raksasa itu ke lehernya sendiri. Akhirnya, raja yang zalim itu tahu bahwa Sarah merupakan wanita shaleh yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Karena itu, ia menghadiahkan putrinya, Hajar menjadi pembantu Sarah, sebagai pengakuan atas keutamaan Sarah atau karena ia takut terhadap siksa Allah. Akhirnya, Sarah menikahkan Hajar dengan Ibrahim.
Ibrahim AS kembali ke Palestina dan kemudian Allah menganugerahkan Ismail dari Hajar. Hal ini membuat Sarah terbakar api cemburu. Dia memaksa Ibrahim agar menjauhkan Hajar dan putranya yang masih kecil, Ismail. Maka, Ibrahim membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang tidak ditumbuhi tanaman, di Baitul Haram, yang saat itu hanya gundukan-gundukan tanah. Rasa gundah mulai menggelayuti pikiran Ibrahim. Beliau menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu meletakkan putranya di dalam tenda, di ekat zam zam. Saat itu di Mekkah belum ada seorang manusia pun dan tidak ada mata air. Beliau meletakkan kantong berisi kurma dan geriba berisi air di dekat Hajar dan Ismail. Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Beberapa hari setelah itu, bekal dan air sudah habis. Sementara tidak ada mata air yang mengalir. Tiba-tiba mata air zam zam memancar berkat karunia Allah, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua, yang tak pernah habis hingga sekarang. Kisah seperti ini sudah banyak diketahui secara lengkapnya.
padang pasir
IBRAHIM AS kembali ke Palestina dan kemudian Allah menganugerahkan Ismail dari Hajar. Hal ini membuat Sarah terbakar api cemburu. Dia memaksa Ibrahim agar menjauhkan Hajar dan putranya yang masih kecil, Ismail. Maka, Ibrahim membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang tidak ditumbuhi tanaman, di Baitul Haram, yang saat itu hanya gundukan-gundukan tanah. Rasa gundah mulai menggelayuti pikiran Ibrahim. Beliau menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu meletakkan putranya di dalam tenda, di ekat zam zam. Saat itu di Mekkah belum ada seorang manusia pun dan tidak ada mata air. Beliau meletakkan kantong berisi kurma dan geriba berisi air di dekat Hajar dan Ismail. Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Beberapa hari setelah itu, bekal dan air sudah habis. Sementara tidak ada mata air yang mengalir. Tiba-tiba mata air zam zam memancar berkat karunia Allah, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua, yang tak pernah habis hingga sekarang. Kisah seperti ini sudah banyak diketahui secara lengkapnya.
Suatu Kabilah dari Yaman (Jurhum kedua) datang ke sana. Dan atas izin bunda Ismail, mereka menetap di Mekkah. Ada yang mengatakan, mereka sudah berada di sana sebelum itu, menetap di lembah-lembah di pinggir kota Mekkah. Namun, riwayat al-Bukhari menegaskan bahwa mereka singgah di Mekkah setelah kedatangan Ismail dan ibunya, sebelum Ismail remaja. Mereka sudah biasa melewati jalur Mekkah sebelum itu.
Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke Mekkah untuk menjenguk keluarganya. Tidak diketahui secara pasti berapa kali kunjungan yang dilakukannya. Hanya saja, menurut beberapa referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak empat kali.
Pertama, Allah telah menyebutkan di dalam al-Quran bahwa Ibrahim bermimpi bahwa beliau menyembelih anaknya, Ismail. Maka, ia pun bangkit untuk melaksanakan perintah dalam mimpi itu.
Allah SWT berfirman, “Tatkala keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya), lalu Kami panggilah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar,” (QS. Ash-Shaffat: 103-107).
Di dalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa umur Ismail 13 tahun lebih tua daripada Ishaq. Dari rentetan kisah ini menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi sebelum Ishaq lahir. Sebab, kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah terjadinya kisah ini. Setidak-tidaknya kisah ini menunjukkan suatu kisah perjalanan Ibrahim, sebelum Ismail menginjak remaja. Adapun tiga perjalanan lainnya telah diriwayatkan al-Bukhari secara panjang lebar dari Ibnu Abbas secara marfu’, yang intinya adalah:
Kedua, bahwa sebelum remaja, Ismail belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum. Karena merasa tertarik kepadanya, maka mereka menikahkannya dengan salah seorang putri keturunan mereka. Saat itu ibu Ismail sudah meninggal dunia. Suatu saat Ibrahim hendak menjenguk keluarga yang ditinggalkannya. Maka, beliau datang setelah pernikahan itu. Tatkala tiba di rumah Ismail, beliau tidak mendapati Ismail. Maka, beliau bertanya kepada istrinya, bagaimana keadaan mereka berdua. Istri Ismail mengeluhkan kehidupan mereka yang melarat. Maka Ibrahim pun titip pesan, agar istrinya menyampaikan kepada Ismail untuk mengubah palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Ismail mengerti maksud pesan ayahnya. Maka, Ismail menceraikan istrinya dan menikah lagi dengan wanita lain, yaitu putri Mudhadh bin Amru, pemimpin dan pemuka kabilah Jurhum.
unta padang pasir

KETIGA, setelah perkawinan Ismail yang kedua ini, Ibrahim datang lagi, namun tidak bisa bertemu dengan Ismail. Beliau bertanya kepada istri Ismail tentang keadaan mereka berdua. Jawaban istri Ismail adalah pujian kepada Allah. Lalu Ibrahim kembali lagi ke Palestina setelah titip pesan lewat istri Ismail, agar Ismail memperkokoh palang pintu rumahnya.
Keempat, pada kedatangan berikutnya, Ibrahim bisa bertemu dengan Ismail, yang saat itu Ismail sedang meraut anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat zam zam. Tatkala melihat kehadiran ayahnya, Ismail berbuat sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua bapaknya, dan Ibrahim juga berbuat layaknya seorang bapak yang lama tidak bersua anaknya. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama. Sebagai seorang ayah yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut, sulit rasanya beliau juga menahan kesabaran untuk bersua anaknya. Begitu pula dengan Ismail, sebagai anak yang berbakti dan shaleh. Dengan adanya perjumpaan ini mereka berdua sepakat untuk membangun Ka’bah, meninggikan sendi-sendinya, dan Ibrahim memperkenankan manusia untuk berhaji sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada beliau.
Dari perkawainanya dengan anak perempuan Mudhadh, Ismail dikaruniai anak oleh Allah sebanyak dua belas, semuanya laki-laki, yaitu: Nabat atau Nabayuth, Qaidar, Adba’il, Mibsyam, Misyma’, Duma, Misya, Hadad, Taima’, Yathur, Nafis dan Qaiduman.Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di Mekkah untuk sekian lama. Mata pencaharian utama mereka adalah berdagang di negeri Yaman hingga ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar di berbagai penjuru Jazirah, bahkan keluar Jazirah. Seiring dengan perjalanan waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan Qaidar.
Peradaban anak keturunan Nabat bersinar di Hijaz utara. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang kuat yang berpusat di Petra, sebuah kota kuno yang terkenal di selatan Yordania. Kekuasaan Nabat ini telah mecapai wilayah-wilayah terdekat dengan tidak seorang pun berani memusuhi mereka hingga datang pasukan Romawi yang menghabisi mereka.
Setelah melakukan penyelidikan dan penelitian yang akurat, As-Sayyid Sulaiman An-Nadawi menegaskan bahwa raja-raja keturunan Ghassan, termasuk Aus dan Khazraj, bukan berasal dari keturunan Qathan, tetapi dari keturunan Nabat, anak Ismail dan keturunan mereka di negeri tersebut.
Sementara itu, anak keturunan Qidar bin Ismail tetap tinggal di Mekkah dan membina keluarga di sana hingga mendapatkan keturunan, Adnan dan anaknya, Ma’ad. Dari dialah keturunan Arab Adnaniyah masih bisa dipertahankan keberadaannya. Adnan adalah kakek ke-22 dalam silsilah keturunan Nabi SAW. Disebutkan bahwa jika beliau menyebutkan nasabnya dan sampai kepada Adnan, maka beliau berhenti dan bersabda, “Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta.” Beliau tidak melanjutkannya.
Segolongan ulama membolehkan penyebutan nasab dari Adnan ke atas, dengan berlandaskan kepada hadis yang mengisyratkan hal itu. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai rincian nasab dengan perbedaan yang tidak mungkin untuk dikompromikan. Adapun peneliti senior Allamah al-Qadhi Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri menguatkan pendapat Ibnu Sa’ad –sebagaimana yang disebutkan pula oleh Ath-Thabari, Al-Mas’udi dan selain mereka di sejumlah tempat- bahwa antara Adnan sampai Ibrahim ada empat puluh keturunan. Ini menurut penelitian yang cukup mendalam.
ilustrasi padang
KETURUNAN Ma’ad dari anaknya Nizar telah terpencar ke mana-mana. Menurut salah satu pendapat, Nizar adalah satu-satunya anak Ma’ad. Sementara itu, Nizar sendiri mempunyai empat anak, yang kemudian berkembang menjadi empat kabilah yang besar, yaitu: Iyad, Anmar, Rabi’ah dan Mudhar. Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan sukunya. Dari Rabi’ah ada Asad bin Rabi’ah, Anzah, Abdul Qais, dua anak Wa’il, Bakar dan Taghlib, Hanifah dan lain-lain.
Kabilah Mudhar berkembang menjadi dua suku yang besar, yaitu Qais Ailan bin Mudhar dan marga-marga Ilyas bin Mudhar. Dari Qais Ailan lahirlah Bani Sulaiman, Bani Hawazin, Bani Ghathafan. Dari Ghathafan lahir Abs, Dzibyan, Asyja’ dan Ghani bin A’shar. Dari Ilyas bin Mudhar ada Tamim bin Murrah, Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah dan marga-marga Kinanah bin Khuzaimah. Dari Kinanah lahirlah Quraisy, yaitu anak keturunan Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah.
Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, yang terkenal adalah Jumuh, Sahm, Adi, Makhzum, Taim, Zuhrah dan suku-suku Qushay bin Kilab, yaitu Abdud-Dar bin Qushay, Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushay, dan Abdu Manaf bin Qushay.
Abu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, Al-Muthalib dan Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang dipilih Allah bagi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Ismail dari anak Ibrahim, memilih Kinanah dari anak Ismail, memilih Quraisy dari Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilihku dari Bani Hasyim.”
Diriwayatkan dari Al-Abbas bin Abdul Muthallib bahwa ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu menjadikan diriku sebagai sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga lalu menjadikanku dari sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik diri dan sebaik-baik keluarga di antara mereka.”
Setelah anak-anak Adnan menjadi banyak, mereka terpencar diberbagai tempat di penjuru Jazirah Arab, masing-masing mencari tempat yang strategis dan mencari daerah yang subur. Abdul Qais dan anak-anak Bakar bin Wa’il serta anak-anak Tamim pindah ke Bahrain dan menetap di sana. Sedangkan Bani Hanifah bin Sha’b bin Ali bin Bakar pindah ke Yamamah dan menetap di Hijr, ibukota Yamamah. Semua keluarga Bakar bin Wa’il menetap di berbagai penjuru Yamamah membentang hingga ke Bahrain.
Taghlib menetap di Jazirah Eufrat dan sebagian anak keturunannya bergabung dengan Bakar. Bani Tamim menetap di Bashrah. Bani Sulaim menetap di dekat Madinah, dari lembah-lembah di pinggiran Madinah hingga ke Khaibar di bagian timur Madinah dan penghujung Hurrah. Tsaqif menetap di Tha’if. Hawazin di timur Mekkah, di pinggiran Authas, antara Mekkah dan Bashrah. Bani Asad menetap di timur Taima’ dan barat Kufah. Di antara mereka dan Taima’ ada perkampungan Bukhtur dari Thaiyyi’. Jarak dari tempat mereka ke Kufah bisa ditempuh selama perjalanan lima hari. Dzibyan menetap di dekat Taima’ hingga ke Hawazin. Di Tihamah ada beberapa suku Kinanah, sedangkan di Mekkah ada suku-suku Quraisy. Mereka berpencar-pencar dan tidak ada sesuatu yang bisa menyatukan mereka, hingga muncul Qushay bin Kilab. Dialah yang telah menyatukan mereka dan membentuk satu sama lain yang bisa mengangkat kedudukan mereka. [Sumber: Sirah Nabawiyah/Karya: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri/Penerbit: Ummul Qura]

No comments: