Era Dinasti Ottoman.
Peta Jazirah Arab. Perang saudara dan pertumpahan darah yang dilatarbelakangi oleh perebutan kekuasaan dapat pula kita temukan dalam catatan perjalanan dinasti-dinasti Islam setelah era Khulafa Rasyidun.
Mulai dari periode Bani Umayyah, Abbasiyah, hingga Turki Ottoman. Berdirinya Dinasti Abbasiyah tidak bisa dilepaskan dari peperangan antarsesama Muslim pada pertengahan abad ke-8.
Konflik tersebut bermula ketika Abu Abbas as-Saffaḥ yang merupakan keturunan paman Nabi Muhammad SAW, Abbas bin Abdul Muthalib, melakukan perlawanan terhadap Bani Umayyah selaku pemegang tampuk Khilafah Islam kala itu.
Berdasarkan catatan sejarah, tentara pemberontak as-Saffah memasuki Kufah, Irak Selatan, pada Oktober 749 (132 H). Di kota itu, as-Saffah mendeklarasikan diri sebagai khalifah. Langkah selanjutnya yang dilakukan as-Saffah adalah melenyapkan pengaruh Bani Umayyah.
Marwan II, yang pada waktu itu menjabat sebagai khalifah Umayyah berhasil dikalahkan pada Februari 750, dalam pertempuran yang berlangsung di Sungai Zab, sebelah utara Kota Baghdad. Peristiwa tersebut, secara efektif mengakhiri Daulah Umayyah yang telah memerintah selama 89 tahun (sejak 661).
“Setelah kalah perang, Marwan II melarikan diri ke Damaskus, lalu ke Yordania, Palestina, hingga akhirnya tertangkap di Mesir dan dibunuh pada 6 Agustus 750,” tulis sejarawan asal Inggris, Hugh Kennedy, dalam buku
The Prophet and the Age of the Caliphates.
Upaya untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim (rumpun besar silsilah Abbasiyah—Red) sebenarnya sudah dimulai sejak era pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717–720).
Akan tetapi, rencana tersebut baru terwujud tiga dekade sesudahnya di tangan as-Saffah, menyusul semakin memuncaknya persaingan antara Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah.
Dinasti Abbasiyah berhasil memegang tampuk kekhalifahan selama lima abad. Selama periode kepemimpinan mereka, ilmu pengetahuan dan budaya Timur Tengah mengalami pertumbuhan yang pesat.
Pengaruh Bani Abbasiyah menyusut pada 940, ketika orang-orang non-Arab mulai mendapatkan pengaruh dan memisahkan diri dari kekhalifahan.
Perang antarsesama Muslim juga terjadi pada masa Kesultanan Ottoman (1299-1923).
Selama enam abad lebih dinasti itu menguasai peradaban Islam, suksesi
atau pergantian generasi kepemimpinan tidak jarang diwarnai konflik dan
pertumpahan darah.
Pada era pemerintahan Sultan Sulaiman I al-Qanuni, perebutan
kekuasaan melibatkan keluarga istana sendiri. Pangeran Mustafa, putra
tertua Sulaiman I dari selirnya yang bernama Mahidevran, dibunuh karena
dituduh berusaha melakukan kudeta terhadap ayahnya.
Peristiwa tragis itu terjadi pada 1553. Ketika itu, Sultan Sulaiman I
tengah berada di Eregli dalam rangka ekspedisi Ottoman di Persia. Wazir
Agung (Perdana Menteri) Rustem Pasha lalu menawarkan Mustafa supaya
bergabung dengan tentara ayahnya. Mustafa menerima tawaran tersebut, dan
segera memerintahkan pasukannya untuk bergabung dengan tentara Sulaiman
I.
Sementara, pada saat yang sama, Rustem Pasha malah mengatakan kepada
Sulaiman I bahwa Mustafa akan datang untuk membunuh sang sultan.
Sulaiman I memercayai informasi tersebut, sehingga ia pun akhirnya
memutuskan untuk menghabisi nyawa anak kandungnya itu.
“Sulaiman memanggil Mustafa ke biliknya, dan segera mengeksekusinya,” tulis sejarawan Colin Imber dalam bukunya,
The Ottoman Empire, 1300-1650: The Structure of Power.
Konflik berdarah juga melanda anak-anak Sulaiman I lainnya, yakni
antara Salim II dan Pangeran Bayazid. Pada 1558, Salim meminta kepada
ayahnya sejumlah meriam dan kapal di Izmir sebagai pertahanan jika
Bayazid tiba-tiba menyerang.
Permintaan tersebut disetujui oleh Sulaiman I. Tidak sampai di situ
saja, Sulaiman I juga memberi dukungan kepada Salim II untuk menghabisi
Bayazid jika di kemudian hari sang pangeran melakukan pemberontakan.
Insiden itu pun terjadilah.
Bayazid akhirnya melancarkan perlawanan terhadap sultan. Salim II pun
ditugaskan untuk menumpas pemberontakan tersebut. Pasukan Salim II dan
Bayazid bertemu di Konya pada Mei 1559. Bagi Salim II, tidak ada pilihan
lagi selain menghabisi saudara kandungnya tersebut.
Setelah perang selama dua hari, pasukan Salim berhasil memperoleh
kemenangan. Pada waktu itu, Bayazid dapat menyelamatkan nyawanya dan
kemudian lari ke Amasya. Namun, pada 1561, Bayazid bersama keempat anak
laki-lakinya akhirnya dieksekusi oleh orang suruhan Salim II bernama Ali
Agha.
Pada saat yang sama, Sulaiman I juga memerintahkan eksekusi terhadap
anak kelima Bayazid yang masih bayi bersama istrinya di Bursa.
“Dengan dibunuhnya Bayazid, maka Salim II tampil sebagai satu-satunya pewaris tahta Kesultanan Ottoman pada 1562,” tutur Imber.
Reporter : Ahmad Islamy Jamil
Redaktur : Indah Wulandari
No comments:
Post a Comment