Kisah Perang Aceh

Kisah perang di wilayah Aceh atau dikenal dengan Perang Aceh bukanlah kisah sebuah dongeng saja. Meski sedikit sekali orang Aceh yang mau menuliskannya sebagai catatan sejarah, kisah perang Aceh dicatat dunia sebagai salah satu perang termasyhur dalam sejarah Nusantara.

Sebagaimana dinyatakan Hasan Tiro dalam buku mungilnya Aceh di Mata Dunia Internasional tahun 1968, jauh sebelum Belanda menjajahi Indonesia, Aceh sudah terlebih dulu menghadapi Portugis. Perang melawan Portugis berlangsung selama 14 kali dan Aceh selalu menang.

Akhirnya, pada tanggal 26 Maret tahun 1873, giliran Belanda menyatakan perang terhadap Aceh, padahal sebelumnya hubungan Aceh dengan Belanda baik-baik saja. Maklumat Perang Aceh oleh Belanda menjadi catatan sejarah yang terus kaji ulang oleh banyak peneliti, baik peneliti dalam negeri maupun luar negeri. Tidak tertutup kemungkinan, heroik perang Aceh-Belanda menjadi catatan tersendiri bagi para penulis dan peneliti Belanda.

HC Zentgraaff, seorang penulis Belanda mencatat perang Aceh sebagai salah satu perang terdahsyat.

Hal itu dinukilkannya dalam buku berjudul Aceh yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul sama. Sebuah keniscayaan bahwa Zentgraaff yang kafir Belanda itu banyak menyanjung pahlawan Aceh dalam bukunya. Menurutnya Aceh adalah daerah yang tidak mudah ditaklukan. Meski ditanam bom pada setiap helai daun rumput di bumi Aceh, niscaya Aceh tak akan takluk, tulis Zentgraaff. Ia juga melukiskan kesetiaan para perempuan Aceh yang ditinggal suami semasa berperang.

Rasa kagum Zentgraaff terhadap para perempuan Aceh dinukilkan pada halaman 83: hampir semua wanita Aceh memiliki tanda-tanda mendiang suami mereka, dalam surat kuning pucat yang masih terlihat air mata darah.

Menurut Zentgraaf, cinta dan kesetian para wanita Aceh kala perang laksana kenangan yang tak basah ditimpa hujan dan tak lekang diterpa panas. Para perempuan Aceh selalu menyimpan surat suami mereka pada tempat yang seperti orang menyimpan benda-benda berharga atau senjata.

Surat itu mereka anggap umpama jimat sebagai penyemangat menghadapi Belanda. Penting diketahui, sebenarnya Belanda terlebih dahulu minta pengakuan kedaulatan dari Aceh. Hal ini sesuai literatur sejarah yang banyak menyebutkan bahwa Islam masuk ke Aceh sejak abad 7-8 Masehi. Adapun Perang Aceh versus Belanda meletus pada abad 18 Masehi. Dalam sebuah fragmen sejarah disebutkan Belanda butuh pengakuan pada Aceh untuk kedaulatan negeri kincir angin tersebut.

Banda Aceh, 27 Maret 2015

RAHMATSYAH

No comments: