Sejarah Rahasia Iluminati: AS Sebagai Panglima The New World Order (86)

totalcontrol

 Amerika pun dengan intensif mengontak ‘sekutu’nya di Palestina, Presiden Mahmoud Abbas. Amerika ingin agar Fatah yang lebih moderat—mau berkawan dan mengakui Israel—memerangi HAMAS. Dengan diam-diam Amerika memasok senjata kepada Fatah agar dipakai guna menghadapi HAMAS.
Namun rupanya Mahmoud Abbas juga bermain dan tidak mau dikendalikan sepenuhnya oleh Washington sehingga membuat Amerika kehabisan kesabaran. Zionis-Israel pun meningkatkan tekanan dan penindasannya terhadap warga Palestina. Semua ini terjadi dihadapan mata pemimpin-pemimpin Arab yang tidak mau berbuat apa-apa, karena mereka lebih mencintai dunia dengan segala kemewahan semunya ketimbang al-Jannah di sisi Allah SWT.
Di Palestina, selain menghadapi gempuran tentara Zionis, HAMAS juga harus menghadapi pembangkangan yang dilakukan pasukan Otoritas Palestina yang berada di bawah pimpinan Mahmoud Abbas. Kelompok Fatah ini menganggap jalan perundingan dengan Israel masih bisa dilakukan guna mencapai perdamaian, walau dalam faktanya berkali-kali berunding, Israel berkali-kali pula mengkhianatinya.
Di tengah pertempuran, HAMAS berhasil menewaskan dua tentara Israel dan menawan satu kopral Yahudi asal Perancis bernama Gilad Shalit, 25 Juni 2006. HAMAS menyanderanya untuk ditukar dengan aktivis HAMAS yang dipenjara oleh Israel. Namun agaknya hal ini dijadikan dalih bagi Israel untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap Palestina.
Di tengah berkecamuknya peperangan, tiba-tiba dari arah utara Israel, dekat perbatasan Lebanon, milisi Hezbollah berhasil menewaskan delapan tentara Israel dan menawan dua tentaranya. Hezbolah masuk ke dalam pertempuran, bergabung dengan HAMAS, untuk melawan Israel.
Diculiknya dua tentara Israel oleh negeri Zionis itu dipolitisir sedemikian rupa sehingga dijadikan momentum bagi pihaknya untuk melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah selatan Lebanon. Israel berdalih, serangan yang menewaskan ribuan penduduk sipil Lebanon yang kebanyakan anak-anak kecil ini, dilakukan untuk membebaskan dua tentaranya yang ditawan dan juga untuk melumpuhkan kekuatan milisi Hezbollah. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan Al-Jazeera dengan Prof. Efraim Inbar, Gur Besar Ilmu Politik Universitas Bar-Ilan dan Direktur Begin-Sadat Centre for Strategic Studies, sebuah lembaga think-thanknya Israel, motif Israel yang sesungguhnya menyerang Lebanon terungkap.
“Tujuannya, Israel ingin menghentikan ancaman serangan misil ke wilayahnya, memaksa Hezbollah keluar dari Libanon selatan dan berusaha untuk menghancurkan sebanyak mungkin peralatan militer Hezbollah. …Yang menjadi isu di sini sebenarnya bukan penculikan dua tentara Israel, tapi Hezbollah yang sejauh ini dianggap mengancam kehidupan seperlima populasi Israel. Konon, Hezbollah punya misil-misil jarak jauh yang bisa menjangkau lebih banyak penduduk Israel. Dalam konteks itu, menjadi kewajiban moral dan tugas utama Israel untuk melindungi warganya. Secara pribadi, saya tidak yakin apakah yang sekarang kita lakukan merupakan tindakan yang benar. Saya pikir fokusnya seharusnya adalah Damaskus, bukan Libanon, “ papar Efraim.
Yang tidak diungkap oleh banyak kalangan, karena berbagai sebab, adalah rencana Amerika Serikat untuk menciptakan Israel Raya di Timur Tengah. Amerika berambisi Israel menjadi satu-satunya negara di Timur Tengah yang kuat secara ekonomi maupun militer, agar kepentingan-kepentingan Amerika bisa aman di Timur Tengah tanpa direcoki oleh berbagai pihak seperti yang terjadi selama ini.
Apalagi jauh hari sebelum menginvasi Irak, Gedung Putih pernah menyatakan bahwa Amerika akan menciptakan The Greater Middle East, yang sesungguhnya sebuah penghalusan dari The Great Israel. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan yang dilontarkan Menteri Luar Negeri AS Condoleeza Rice, sebelum meninggalkan Gedung Putih pada tanggal 23 Juli 2006 untuk mengunjungi Israel, bahwa lawatannya ke Israel ini bukanlah untuk mendorong gencatan senjata melainkan untuk melihat terwujudnya Timur Tengah yang baru.
Serangan ke Lebanon diharapkan mampu mempercepat terbentuknya sebuah Timur Tengah yang baru di mana Israel akan menjadi Super Power di Timur Tengah, sebagai anjing penjaga bagi kepentingan AS di wilayah kaya minyak itu. Rencana untuk membentuk Israel Raya dengan batas-batas wilayah yang melampaui jauh dari garis batas Tanah Palestina sesungguhnya bukan hal yang baru.
Dalam Protocolat Zionis, ada sebuah ilustrasi yang menggambarkan Peta Impian Israel Raya di mana batas wilayah kekuasaan Israel disimbolkan dengan badan ular yang melingkar di mana ujung ekornya bermula dari wilayah Ankara di Turki, lalu memanjang ke selatan melewati pesisir pantai barat Syiria, Lebanon, dan Palestina, terus menjulur ke utara Mesir hingga Alexandria, lalu ke selatan melewati Giza dan Luxor, ke arah timur menuju Saudi Arabia, melewati daerah antara Mekkah dan Madinah, mencaplok seluruh wilayah Kuwait, lalu dari kota kecil Abadan menyusuri perbatasan antara Irak dan Iran, terus hingga Syiria seluruhnya dicaplok dan barulah sampai pada kepala ular di mana lidahnya menjulur ke Yerusalem.
Ini berarti, kota-kota besar seperti Beirut, Yerusalem, Kairo, Madinah, Amman, Kuwait City, Bagdad, dan Damaskus, semuanya akan dicaplok oleh Israel. Sebagian besar wilayah Turki, Mesir, dan Saudi Arabia akan diduduki Israel. Dan negara-negara Syiria, Irak, Kuwait, dan Palestina akan dihapuskan.
Namun dalam perjalanannya, entah untuk pengelabuan atau pun karena disebabkan pertimbangan politis, maka batas-batas tersebut mengalami penyusutan. Namun penyusutan ini saja masih sangat kontroversial karena jelas-jelas melanggar kedaulatan sejumlah negara Arab. Dalam peta Israel raya yang baru ini, Madinah dan Bagdad tidak lagi berada dalam wilayah Israel, tetapi Kairo dan sebagian Mesir Timur yang berbatasan dengan Suez, sebagian besar Syiria, termasuk Damaskus, dan seluruh Lebanon, Yordania, serta Palestina masih menjadi target pencaplokan.
Pembentukan Israel Raya ini tidak hnaya didasari oleh motivasi geopolitik dan finansil, tetapi juga oleh keyakinan Kabbalistik di mana AS dan Israel meyakini harus memberikan dan melapangkan jalan bagi kehadiran ‘Ratu Adil’ yang akan memimpin dunia, di mana Amerika menjadi satu-satunya negara terkuat dunia. Inilah esensi dari The New World Order atau Tata Dunia Baru.
Ini jelas tidak dilakukan Amerika dengan main-main. Presiden Bush sendiri telah mengeluarkan ‘Bush Doctrin’ yang menghapus semua doktrin pertahanan Amerika Serikat di masa-masa pendahulu Bush, dan dia menggantikannya dengan Doktrin yang sungguh-sungguh anarkhis, fasis, dan melihat seluruh dunia hanya dari kacamatanya sendiri. Amerika akan menjadi Imperium Dunia yang melebihi segala imperium besar yang pernah ada. Lebih besar dari Imperium Spanyol, Imperium Inggris, Parsi, bahkan Imperium Romawi sekali pun.
DUNIA KITA SEKARANG
Runtuhnya Menara WTC pada Selasa hitam, 11 September 2001, dieksploitasi habis-habisan oleh kelompok Hawkish yang berkuasa di Gedung Putih untuk melancarkan agenda penguasaan dunia yang telah lama dinanti-nantikan.
Tidak lama setelah mengggempur Afghanistan, Gedung Putih mensahkan National Security Strategy 2002 yang disebut sebagai “Doktrin Kebijakan Keamanan Terbaru AS”. Dalam doktrin terbaru ini, Amerika dengan penuh percaya diri, bahkan lebih tepat dikatakan amat congkak, berketetapan hati untuk memerangi terorisme dengan cara dan gayanya sendiri. Amerika sama sekali tidak akan memperdulikan hukum internasional, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pun harus tunduk pada keinginan Amerika.
Yang menentukan bahwa pihak-pihak tertentu itu teroris atau pun bukan, yang berhak hanya Amerika.
Bahkan Bush dengan tegas menyatakan bahwa cita-cita Amerika untuk menciptakan The New World Order, Tata Dunia Baru, yang seluruhnya berisi nilai-nilai Amerika dalam waktu dekat, harus sama sekali tidak mendapat tantangan. Bush mengulang kalimat hitam-putihnya, “Bersama kami atau teroris.” Menurut doktrin ini, semua negara yang tidak setuju dengan terorisme harus bersatu di bawah komando Amerika. Siapa pun yang tidak mau mengikuti langkah Amerika, maka mereka dianggap sebagai bagian dari teroris yang harsu diperangi. Tidak ada abstain.(Rizki Ridyasmara)

No comments: