Sirnanya Cahaya Islam di Bumi Hispania

peta hispania
peta hispania Penaklukan Dinasti Umayyah terhadap tanah Hispania pada abad ke-7 silam  merupakan ekspansi awal Kekhalifahan Islam di Benua Eropa.
Penaklukan tersebut menyebabkan runtuhnya Kerajaan Visigoth yang sudah menguasai Semenanjung Iberia (Andalusia) sejak 418, sekaligus menjadi penanda dimulainya era kejayaan Islam di Spanyol.
Sejarah ekspansi Islam di Hispania bermula pada 711. Ketika itu, Dinasti Umayyah yang sudah menguasai daratan Afrika Utara mulai menjalankan rencana untuk memperluas pengaruhnya ke Eropa.
Oleh karenanya, pasukan Umayyah di bawah pimpinan Jenderal Tariq bin Ziyad segera bergerak dari pantai utara Maroko menuju Semenanjung Iberia lewat jalur laut.
Menurut catatan, ada 1.700 tentara Muslim yang terlibat dalam misi tersebut pada waktu itu.
“Setelah menyeberangi Selat Gibraltar, mereka kemudian mendarat di selatan Spanyol tanpa hambatan,” tulis pakar sejarah Abad Pertengahan dari Universitas Edinburgh, Roger Collins, dalam buku Early Medieval Spain.
Sejarawan Muslim, Ibnu Abdul Hakam (hidup antara  803 – 871), dalam kitab dalam kitab Futuh Misr menuturkan, orang-orang Andalusia tidak menyadari adanya pergerakan tentara Muslim di Iberia ketika penaklukan terjadi.
Hal itu dikarenakan pasukan Tariq bin Ziyad menyeberang ke Spanyol menggunakan kendaraan yang mirip kapal dagang, bukan kapal perang.Setelah mendarat di Hispania, pasukan Muslim berhasil mengalahkan tentara dari Kerajaan Visigoth yang dipimpin Raja Roderic dalam pertempuran di Guadalete pada tahun 712.
Pasukan Tariq bin Ziyad kemudian diperkuat lagi oleh tentara pimpinan Musa bin Nusair—yang ketika itu menjabat Gubernur Ifriqiyah (Afrika Utara)—dengan kekuatan sekitar 10 ribu-15 ribu personel dari bangsa Berber dan Arab.
“Kedua pemimpin Muslim terus menggerakkan pasukannya menuju utara, dan mereka berhasil mengambil alih sebagian besar Semenanjung Iberia setahun sesudahnya,” ungkap Collins dalam karyanya yang lain, The Basques.
Hingga tahun 720, tentara Umayyah berhasil menundukkan sejumlah kota penting di Spanyol, Portugal, dan selatan Prancis. Mulai dari  Medina-Sidonia, Sevilla, Mertola, Jaen, Murcia, Granada, Sagunto, Evora, Santarem, Coimbra, Barcelona, Narbonne, dan Septimania.
Sejak saat itu, Semenanjung Iberia resmi menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dengan status provinsi.
Pada tahun  750, pusat kekuasan Dinasti Umayyah di Harran (Turki) berhasil direbut oleh Bani Abbasiyah.
Penguasa Umayyah di Spanyol lantas merespons situasi politik tersebut dengan mengubah status Andalusia, yakni dari provinsi menjadi negara berdaulat baru yang diberi nama Emirat Cordoba. Pangeran Abdurrahman I menjabat sebagai emir pertama Cordoba pada 756.
“Sejak itu, wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah yang tersisa praktis hanya sebatas Semenanjung Iberia,” ungkap Syed Azizur Rahman dalam karyanya, The Story of Islamic Spain.
Pemerintahan Emirat Cordoba berlangsung selama 173 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, negara itu telah mengalami tujuh kali pergantian emir. Selanjutnya, pada 929, Abdurrahman III (emir terakhir Cordoba) mendeklarasikan berdirinya Kekhalifahan Cordoba dan menobatkan diri sebagai khalifah pertamanya.
Selama masa pemerintahan Khalifah Abdurrahman III, kemakmuran di Cordoba meningkat pesat. Hal itu ditandai dengan meningkatnya hubungan diplomatik Dinasti Umayyah dengan suku-suku Berber di Afrika Utara, serta raja-raja Kristen di Iberia Utara, Prancis, Jerman, dan Konstantinopel.
Di samping itu, Abdurrahman III juga berhasil menghentikan laju pengaruh Dinasti Fatimiyah di Maroko dan Andalusia. Ketika Abdurrahman III mangkat pada 961, tahta Kekhalifahan Cordoba selanjutnya dipegang oleh putranya, al-Hakam II.
“Khalifah kedua Cordoba ini tetap melanjutkan kebijakan-kebijakan luar negeri  yang sudah dirintis oleh ayahnya, yakni menjaga hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Kristen yang berada di sekitar Iberia,” tulis Anwar G Chejne, dalam buku Muslim Spain: Its History and Culture. Kekhalifahan Cordoba hanya berlangsung selama satu abad (dari 929 – 1031).


Bangunan-bangunan dengan gaya arsitektur yang indah dan menawan berdiri di berbagai penjuru kota. Mulai dari Masjid Agung, Istana Khalifah, perpustakaan, sekolah-sekolah, dan masih banyak lagi.Tradisi intelektual berkembang sangat pesat di Andalusia selama periode Kekhalifahan Cordoba.
Para ilmuwan menerjemahan berbagai naskah Yunani kuno ke dalam bahasa Arab, Latin, dan Ibrani. Bahkan, Perpustakaan al-Hakam II menjadi salah satu perpustakaan terbesar di dunia pada masa itu, dengan jumlah koleksi literaturnya yang mencapai 400 ribu volume.
Di bawah pemerintahan kekhalifahan ini pula, hubungan antara komunitas Yahudi dan Arab berjalan harmonis. Bahkan, tukang-tukang batu Yahudi juga ikut membantu membangun Masjid Agung Cordoba.
“Andalusia mencapai kemajuan di bidang sains, sejarah, geografi, filsafat, dan kesusasteraan selama periode kekhalifahan tersebut,” ungkap sejarawan Barat, Simon Barton, dalam karyanya, A History of Spain.
Mangkatnya al-Hakam II pada 976 menjadi penanda awal kemunduran Kekhalifahan Umayyah di Cordoba.
Sebelum kematiannya, al-Hakam menunjuk putranya yang masih berumur 10 tahun, Hisyam II, menjadi penggantinya.
Meskipun usia Hisyam II masih sangat muda, namun penasihat setia al-Hakam II, al-Mansur ibnu Abi Amir, tetap mengumumkannya sebagai khalifah yang baru.Hingga Hisyam II beranjak dewasa, al-Mansur ibnu Abi Amir menjalankan posisi selaku wakil khalifah yang mengelola urusan pemerintahan.
Mulai saat itu, gelar khalifah Cordoba hanya sebatas simbolis, atau lebih tepatnya jabatan tanpa kekuasaan.Pada masa-masa selanjutnya, Kekhalifahan Cordoba mengalami konflik perebutan kekuasaan dan perpecahan internal.
Selepas era pemerintahan Hisyam III (1027-1031), kekhalifahan tersebut akhirnya tercerai berai menjadi sejumlah taifa (kerajaan-kerajaan kecil independen).
Sejak itu, pengaruh politik Islam di Andalusia kian meredup. Selama dua abad berikutnya, berbagai serangan yang dilancarkan oleh aliansi kerajaan-kerajaan Kristen Iberia, semakin melemahkan pengaruh Islam di Spanyol.
Sejumlah wilayah yang telah dikuasai oleh kaum Muslimin sebelumnya, satu per satu mulai jatuh ke tangan para penguasa Nasrani. Pada 1212, Raja Alfonso VIII dari Kastilia, Raja Sancho VII dari Navarre, Raja Pedro II dari Aragon, dan Raja Alfonso II Portugal, bersatu mengalahkan pasukan Muslim dari Dinasti al-Muwahhidun (Maroko) dalam Pertempuran Las Navas de Tolosa.
Dalam perang tersebut, aliansi kerajaan-kerajaan Kristen itu mengerahkan kekuatan 100 ribu tentara infanteri dan 10 ribu kavaleri (pasukan berkuda).
“Menurut catatan, jumlah korban di pihak Muslim tidak kurang dari 100 ribu jiwa. Sementara, jumlah korban yang jatuh di kubu Kristen tidak seberapa,” ungkap Lynn Hunt dan kawan-kawan dalam kumpulan tulisan The Making of the West: Peoples and Cultures Volume 1: To 1740.
Pada 1238, Emirat Granada muncul sebagai kerajaan Islam baru di Spanyol.
Wilayahnya hanya mencakup sebagian kecil selatan Iberia. Kendati demikian, kerajaan ini mampu mempertahankan kekuasaannya di kawasan tersebut selama dua setengah abad lebih (sampai 1492).
Invasi Granada yang dilancarkan Raja Ferdinand II dan Ratu Isabella I dari Kastilia-Leon sejak 1482, menjadi puncak konflik antara Muslim dan Kristen di Spanyol selama Abad Pertengahan. Setelah melakukan penyerangan selama sepuluh tahun, pasukan Kristen akhirnya berhasil mengepung dan meluluhlantakkan Emirat Granada.
Pada tanggal 2 Januari 1492, pemimpin Muslim Granada terakhir, Muhammad XII, akhirnya menyerahkan seluruh wilayah kekuasaannya kepada Ferdinand dan Isabella.
Tidak terhitung jumlah korban yang berjatuhan dalam peperangan tersebut. Namun, yang pasti, peristiwa itu sekaligus menjadi penanda lenyapnya kejayaan Islam di Spanyol.


Reporter : Ahmad Islamy Jamil Redaktur : Indah Wulandari

No comments: