Snouck Hurgronje, Islam, dan Aceh

NOUCK Hurgronje (1857-1936) adalah seorang ilmuan Belanda yang hingga kini masih menimbulkan kontroversial. Di satu sisi bagaimana pun Snouck Hurgronje harus diakui sebagai pelaku dan pencatat sejarah yang telah memberikan sumbangan paling berharga dalam memahami lika-liku politik pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Di lain sisi, orang sampai hari ini masih mencaci-maki Snouck karena dianggap ia telah mempermainkan agama Islam untuk kepentingan politik Kolonial Belanda di Indonesia termasuk di Aceh.

Karena itulah Snouck Hurgronje dianggap sebagai biang dari munculnya konflik-konflik pemahaman Islam di Indonesia. Untuk membuka wacana kita tentang siapa sebenarnya Dr Christian Snouck Hurgronje, baik ia sebagai pengabdi politik kepentingan Belanda pada zamannya, maupun sebagai agamawan atas nama Syeh Abdoel Ghafar. Ataupun sebagai ilmuan yang ahli tentang Islam (Islamologi) dalam perspektif Islam dan sebagai ilmuan dalam perspektif akademik, ataupun sebagai sejarawan dan peranannya ketika ia bertugas di Aceh.

Dari beberapa catatan yang saya dapatkan, Snouck Hurgronje dilahirkan di Oosterhout pada 8 Februarl 1857 dan meninggal di Leiden 15 Juni 1936. la dibesarkan di tengah keluarga pendeta terkemuka Protestan yang sangat konvensional dan ortodok. Snouck belajar di Leiden yang lingkungannya saat itu sudah sangat liberal. Kala itu ilmu perbandingan agama dan perbandingan sejarah agama yang berkembang di Eropa sangat dipengaruhi oleh teori-teori evolusi Charles Darwin, yang melahirkan suatu teori kebudayaan, yang bahwa kebudayaan Eropa dan agama Kristen merupakan titik puncak dari proses perkembangan kebudayaan dunia.

Karena pengaruh itu, agama Islam dianggap sebagai suatu bentuk degenerasi kebudayaan yang oleh kalangan Kristiani di Leiden (tempat Snouck belajar) dianggap sebagai “hukuman Tuhan” atas segala dosa kaum Nasrani. Artinya, agama dan budaya Eropa dalam pemahaman mereka lebih unggul dari pada agama budaya yang berkembang di dunia Timur (oriental). Teori dan konsep kebudayaan inilah yang oleh van Koningsveld (penulis biografi Snouck) dikatakan sangat mempengaruhi sikap dan pandangan Snouck terhadap Islam.

Oleh karenanya, ketika Snouck masih mahasiswa di Leiden, dalam suatu pernyataannya pada 1876, seperti yang dikutip van Koningsveld, Snouck mengatakan: “Kita harus membantu bangsa pribumi (maksudnya bangsa di negara jajahan) untuk beremansipasi dari Islam”. Sejak itu, sikap dan pandangan Snouck dalam berfikir Islam tidak jauh beranjak dari pandangan dan sikapnya.

Pakar Islamologi
Hal itu terbukti ketika Snouck menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Laiden pada 1880, dengan mempertahankan disertasinya Het Makkaasehe Fest. Dalam disertasi yang membahas masalah ibadah haji umat Islam ini, menurut van Koningsveld, Snouck yang ahli Islamologi ini menilai bahwa Alquran bukanlah sebagai wahyu dari Tuhan. Tapi lebih sebagai “karya tulis” Nabi Muhammad yang mengandung gagasan-gagasannya tentang agama. “Saya menilai disertasi Snouck itu merupakan karya ilmiahnya yang terbaik, karena di situ Snouck bersikap sebagai ilmuan,” tulis van Koningsveld.

Sebagai sarjana dan pakar Islamologi, Snouck pada 1894 mendapatkan semacam tugas dari Kementerian Urusan Jajahan Negeri Belanda untuk belajar bahasa Melayu ke Arab. Karena Kementerian Negeri Belanda saat itu mengalami kesulitan untuk mengirimkan orang-orang konsultannya ke negeri jajahannya di Asia, terutama di Nusantara bagian Asia Tenggara. Snouck yang sudah dianggap sangat memahami soal-soal umat Islam dipandang cocok untuk ditugaskan ke negeri jajahannya di Nusantara, tapi Snouck waktu itu belum bisa berbahasa Melayu. Oleh kerenanya, ia harus belajar dulu bahasa Melayu ke Arab pada orang-orang Nusantara yang ada di Arab.

Selama di Arab, enam bulan pertama Snouck tinggal di Jeddah, la berhasil bergaul dengan ulama-ulama asal Nusantara (Indonesia) sambil terus belajar bahasa Melayu. Seorang ulama Nusantara yang paling dekat dengan Snouck di Jeddah waktu itu adalah Reden Aboe Bakar Djajadiningrat asal Priangan, Jawa Barat. Malah atas saran dan bujukan Aboe Bakar ini Snouck Hurgronjen kemudian masuk agama Islam di rumah Aboe Bakar di Jeddah pada 4 Januari 1885. Dan bahkan yang memberikan nama Abdul Ghafar untuk Snouck Hurgronje setelah masuk agama Islam ialah Raden Aboe Bakar itu.

Berita Snouck masuk Islam di Arab yang berganti nama Abdul Ghafar menjadi berita santer di kalangan orientalis dunia. Mereka seakan tak percaya kalau Snouck Hurgronje telah masuk Islam secara terang-terangan. Sebab mereka (para orientalis) ini belum menemukan dukumen resmi pengukuhan Snouck masuk Islam. Karena yang mereka tahu Snouck pergi ke Arab (Mekkah) bukan untuk masuk Islam, melainkan untuk belajar agama Islam.

Sebab, bagi Snouck, Islam adalah suatu kekuatan yang harus dipelajari secara sungguh-sungguh, dan harus diperlakukan dengan bijaksana oleh pihak Kolonial Belanda. Makanya tak heran, kalau selama di Arab Snouck bekerja keras menuntut ilmu pengetahuan agama Islam. Hampir semua kitab tafsir seperti Tafsir al-Baidhawi, Tafsir al-Bajuri, Al-Ikna’ dan kitab Tuhfah dipelajari sungguh-sungguh dan mendalam oleh Snouck, terutama setelah Snouck pindah ke Mekkah dari Jeddah pada enam bulan kedua ke datangannya ke Arab.

Selama tinggal di Mekkah, Snouck bergaul dengan ulama-ulama besar setempat, sampai kemudian ia kembali ke Belanda pada 1885. Tiga tahun setelah Snouck kembali ke negerinya itu, ia berhasil menerbitkan dua jilid buku dengan judul Mekkah. Ketika buku itu diedarkan, maka nama Snouck Hurgronje pun tersohor ke seluruh dunia. Buku itu dianggap sangat penting bagi tujuan politik kolonial di dunia.

Bertugas di Aceh
Mekkah memang tidak hanya telah memberikan inspirasi bagi lahirnya dua buku itu yang ditulis Snouck, tapi Mekkah juga telah membuat Snouck Hurgronje menjadi awal pemahamannya terhadap Aceh. Selama di Mekkah, Snouck menjalin hubungan akrab dengan seorang ulama asal Aceh bernama Habib Abdurrahman Az-Zahir. Ulama ini adalah bekas penasehat utama Sultan Aceh, yaitu Sultan Alaiddin Mahmudsyah (1870-1874 M). Namun karena diragukan integritasnya sebagai perantara dalam hubungan antara Sultan Aceh dengan pihak Belanda, maka Habib Abdulrahman dipecat oleh Sultan Aceh. Tetapi pemerintah Belanda memberikan pensiun kepada Habib Abdurrahman untuk hidup dan tinggal di Mekkah.

Dari dasar pemahamannya terhadap Aceh di Mekkah, maka ketika Snouck mengetahui berkecamuknya perang Aceh melawan Belanda, Snouck menawarkan diri pada Kementerian Urusan Jajahan Negeri Belanda agar ia dapat ditugaskan ke Aceh. Maka pada 1889, Snouck mendapat kesempatan pertama bertugas di Batavia (Jakarta sekarang). Gubernur Jenderal C Picnaeker Hordijk di Batavia waktu itu nnengangkat Snouck menjadi Penasehat Resmi Bahasa Timur dan Hukum Islam bagi Pemerintah Hindia Belanda di Nusantara.

Tahun 1893 Snouck ditugaskan ke Aceh dengan tugas utamanya untuk menyusun saran-sarannya terhadap penyelesaian perang Aceh dengan Belanda. Pertama sekali Snouck tinggal di Aceh adalah di Ulee Lheue sebagai tempat yang menjadi markas utama militer Belanda. Di Ulee Lheue inilah Snouck berhasif menyususun sebuah laporan pertamanya tentang Aceh, yaitu Atjeh Verslag sebagal laporan yang menjadi dasar kebijakan polilik dan militer Belanda dalam menghadapi Aceh.

Menurut van Koningsveld, bagian pertama laporan Snouck tentang Aceh berupa uraian antropologi masyarakat Aceh, pengaruh Islam sebagai dasar keyakinan orang Aceh, serta peranan ulama dan Uleebalang dalam masyarakat Aceh. Dalam laporan itu Snouck juga menguraikan bahwa perang Aceh dikobarkan oleh para ulama, Sedangkan Uleebalang menurut Snouck bisa diajak menjadi calon sekutu Belanda, karena kepentingannya adalah berniaga.

Snouck juga menulis bahwa Islam bagi masyarakat Aceh juga harus dinilai negatif, karena Islam bisa membangkitkan fanatisme anti Belanda di kalangan rakyat Aceh. Karenanya, para pemuka agama dalam masyarakat Aceh hendaknya dapat ditumpas agar pengaruh Islam menjadi tipis di Aceh. Dengan demikian para Uleebalang menurut Snouck akan mudah diajak bersekutu dengan Belanda.

Satu kegagalan pemerintah Belanda di Aceh, menurut Snouck adalah akibat tidak adanya pengetahuan Belanda terhadap Aceh sebagai wilayah Islam. Itu sebabnya, ketika Snouck bertugas di Aceh, di samping mempelajari karakter masyarakatnya secara antropologis (adat dan budaya Aceh), ia juga mengkaji kitab-kitab para ulama Aceh. Di antaranya kitab Umdatu al-Muhtajin karangan Syekh Abdul Rauf Syiah Kuala, sebagai kitab yang dianggap Snouck sangat berpengaruh bagi pengembangan Tarekat Syatariyah di Aceh.

Buku De Atjehers (dua jilid: 1893-1894) yang ditulis Snouck tentang Aceh, secara ilmu pengetahuan mungkin orang Aceh harus berterima kasih kepada Snouck. Namun di sisi lain, apakah Snouck Hurgronje benar-benar masuk Islam, atau sekadar berpura-pura ketika ia berada di Mekkah. Wallahu a’lam bissawab.

* Nab Bahany As, Pegiat Budaya, tinggal di Banda Aceh. Email: nabbahanyas@yahoo.co.id

No comments: